Pembayaran Digital: 'Jihad' Regulator & Industri Lawan Corona

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 September 2020 15:26
Infografis/Kartu Kredit dan Debit Ditinggal?pembayaran  digital sudah  jadi pilihan utama
Foto: Infografis/Kartu Kredit dan Debit Ditinggal?pembayaran digital sudah jadi pilihan utama

Jakarta, CNBC Indonesia - Uang fisik sempat dikhawatirkan menjadi sarana penyebaran virus Covid-19, sehingga memicu dorongan penggunaan transaksi digital. Namun di balik itu, ada hal yang lebih penting dari sekadar "menghindari virus di permukaan uang kertas."

Keberadaan virus dan bakteri di atas permukaan uang (kertas maupun koin) bukanlah merupakan temuan yang baru. Dalam jurnal Future Microbologi (2014), Emmanouil Angelakis dkk menyebutkan bahwa virus, bakteri, jamur, dan parasite bisa bertahan hidup di permukaan uang kertas dan koin.

Dalam laporan riset berjudul "Paper Money and Coins as Potential Vectors of Transmissible Disease", Angelakis mengonfirmasi temuan sebelumnya bahwa virus bisa bertahan hidup berjam-jam di permukaan uang, dan bahkan berhari-hari jika berada di dalam mucus/lendir.

Hal ini sempat memicu kekhawatiran akan penggunaan uang fisik dalam kegiatan transaksi sehari-hari, dan sedikit banyak memicu migrasi transaksi pembayaran dari aktivitas pembayaran fisik menjadi pembayaran digital (non-fisik) yang tak melibatkan uang tunai.

Bank for International Settlement (BIS), lembaga keuangan non-profit yang dimiliki 62 bank sentral sedunia, mencatat ada lonjakan kekhawatiran mengenai penggunaan uang fisik di bulan pertama pandemi, yakni pada Maret.

Dalam laporan berjudul "Covid-19, Cash, and The Future of Payments", BIS melaporkan bahwa intensitas pencarian informasi di mesin perambah Google dengan kata kunci 'Cash Covid', 'Coin Covid', 'Cash Virus', dan 'Cash Corona' melonjak pesat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

qSumber: BIS

Ini menunjukkan bahwa warga dunia sempat khawatir dengan isu keamanan penggunaan uang fisik, sehingga cenderung memicu mereka untuk bertransaksi secara digital. Hal ini menciptakan peluang dan tantangan baru bagi bankir dan juga otoritas moneter untuk mengantisipasi lonjakan transaksi digital baik dari sisi infrastruktur maupun keamanan.

"Dalam jangka menengah, wabah ini secara prinsip bisa memicu kenaikan kehati-hatian konsumen memegang uang tunai dan peningkatan penggunaan transaksi online, kartu, dan mobile secara structural," tulis BIS dalam laporan tersebut.

Di tengah pandemi, lanjut BIS, kebutuhan kurs digital di kalangan bank sentral menjadi fokus yang semakin perlu disasar, guna menyediakan akses masyarakat terhadap beragam jenis pembayaran dan kebutuhan untuk membuatnya aman dari berbagai ancaman.

Halaman Selanjutnya >> Kaum Tua Kian Adaptif

Di era pandemi, transaksi digital tidak semata terkait dengan upaya menghindari virus di uang kertas, melainkan lebih dari itu yakni mengurangi kerumunan dan kontak fisik di sektor keuangan. Ini merupakan hal penting untuk mencegah penyebaran virus.

Dalam laporan berjudul "Outlook 2020: Industry Trends and The Challenges Ahead" yang dirilis pada April 2020, firma riset dan konsultansi keuangan Bancography menilai virus corona memberikan dua pelajaran pentng terhadap pelaku industri jasa keuangan dan perbankan.

Pertama, pendapatan perbankan menurun akibat turunnya permintaan kredit dan perlambatan ekonomi, sehingga bank dan lembaga pembiayaan dipaksa untuk menjaga profitabilitas dengan mengurangi beban operasional. Pengurangan jaringan kantor menjadi jawaban.

Kedua, Covid-19 mengajari masyarakat untuk lebih menekuni migrasi layanan keuangan ke kanal digital. Sekalipun virus telah tertangani, preferensi penggunaan kantor kembali ke level sebelum krisis kemungkinan bakal menurun.

"Aggap saja krisis Covid-19 mengubah peralihan gradual (dari kantor cabang ke layanan mobile) menjadi peralihan yang tiba-tiba dan akut. Dalam kasus ini, para bankir perlu mempercepat pengurangan kantor cabang," tulis Bancography, dalam simpulan laporannya.

Tren migrasi digital dalam skala lebih kecil terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (B) mencatat transaksi digital atau Uang Elektronik (UE) selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada April melonjak 64,5%, sementara volume transaksi digital tumbuh 37,35% secara tahunan.

"Perkembangan ini mengindikasikan menguatnya kebutuhan transaksi Ekonomi dan Keuangan Digital (EKD), termasuk meningkatnya masyarakat terhadap digital payment di tengah penurunan aktivitas ekonomi selama masa PSBB," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam video konferensi, Kamis (18/6/2020).

Hal ini dikonfirmasi oleh pelaku industri financial tehnology (fintech) penyedia platform pembayaran digital milik Gojek dan Grab, serta e-wallet Dana. Pandemi Covid-19 yang berujung kebijakan menjaga jarak, tetap #dirumahAja, hingga PSBB mendongkrak transaksi digital.

Kalangan bankir juga melaporkan hal yang sama. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatat sepanjang Mei, layanan transaksi mobile banking BRImo naik 100% dibandingkan sebelum masa pandemi Covid-19 di awal Maret. Jumlah transaksi rata-rata hampir 6 juta setiap harinya.

PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mencatatkan pertumbuhan digital payment sebesar 20%-30% dengan pembukaan rekening melalui video banking mencapai 5.100 rekening per hari. Lalu PT Bank DBS Indonesia mencatat lonjakan transaksi online untuk fitur bayar-beli sebesar 75%.

Bagi konsumen, pandemi mengubah cara hidup, termasuk cara bertransaksi sebagaimana terlihat dalam tren global maupun nasional. Namun bagi perbankan dan regulator, kenaikan transaksi digital di kala pandemi memaksa mereka untuk fokus memperkuat keamanan digital.

Layanan digital kian relevan bagi bankir jika kita bicara mengenai fintech, yang menurut lembaga riset global Mckinsey (dalam laporan Panorama Fintech) memperkirakan bisa mengurangi pendapatan bank hingga 40% pada 1 dekade nanti.

Namun, McKinsey mengingatkan tantangan bagi perbankan untuk menggarap layanan yang selama ini digarap fintech, yakni terkait dengan kemampuan organisasi dan keahlian, serta komitmen untuk berinvestasi di lini teknologi. Belum lagi bicara regulasi, yang belum ideal.

Soal keamanan ini digital ini juga disorot oleh perusahaan pemeringkat global Moody's Investors Service dalam laporan berjudul "Cyber Risk Rises as Coronavirus Drives Increased Digital Banking and Remote Work" yang dirilis pada 8 Juli 2020.

Di era pandemi, setengah dari bos besar perusahaan dunia yang mengikuti survei World Economic Forum (WEF) memperkirakan bahwa serangan siber bakal menjadi ancaman terbesar, seiring dengan kian pentingnya layanan digital dalam aktivitas perusahaan.

qSumber: WEF

"Pelanggan digital di sektor perbankan menjadi target alamiah pelaku kejahatan siber melalui email phising atau penipuan berbasis rekayasa sosial. Dan, jika karyawan bank menggunakan alat di rumah untuk mengakses jaringan kantor, mereka berpeluang terinfeksi virus malware atau jadi korban spyware," tutur Senior Wakil Presiden Moody's Alessandro Roccati.

Menurut VMware Carbon Black, vektor serangan siber yang paling sering dijumpai adalah penipuan transfer digital (wire fraud transfer), yang membidik karyawan bank dana kliennya melalui rekayasa sosial ata mengeksploitasi celah dalam proses verifikasi transfer digital.

Sebagai contoh, pencurian data bisa terjadi dengan memanfaatkan buruknya kendali dan praktik keamanan perbankan yang menghubungkan jaringan data dan sistem bank dengan sistem pembayaran pihak ketiga.

Untuk itu, Moody's menilai bank perlu memperkuat lima hal dalam infrastuktur digitalnya. Pertama, pengelolaan keamanan infrastruktur; kedua, keamanan akses ke data pelanggan; ketiga, zonasi jaringan internet bank untuk mempersulit peretas; keempat, keamanan siber fasilitas komputasi awan; dan kelima penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Sejauh ini, menurut lembaga pemerngkat global tersebut, bank-bank konsisten memperbaiki aspek-aspek tersebut. Dengan kata lain, bankir telah memainkan perannya untuk berjihad melawan penyebaran Covid-19 dengan memperkuat layanan digital. Bola kini di tangan regulator untuk memastikan aspek pengawasan transaksi digital yang kian moncer.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pandemi virus corona Covid-19 telah menjadikan pembayaran digital sebagai kebiasaan baru. Masyarakat kian nyaman menggunakan pembayaran digital saat kondisi tidak leluasa untuk berpindah-pindah tempat.

Pembayaran digital memang tidak memang tidak menghadirkan senyuman manis teller dan customer service, namun menghadirkan kecepatan, kenyamanan dan keamanan (security) dalam bertransaksi melalui smartphone maupun gadget lainnya.

Sama seperti sistem dan teknologi, tentunya pembayaran digital akan terus berevolusi mengikuti zaman. Untuk pengembangan pembayaran digital di Indonesia bank dan fintech perlu melakukan perubahan pola pikir menjadi Digital First, di mana bank dan fintech menjadi lembaga yang sangat adaptif terhadap teknologi dengan memberikan solusi pada permasalahan nasabah dan meningkatkan pengalaman nasabah (customer experience) dalam layanan bank.

Pemikiran-pemikiran ini yang menjadi dasar dari CNBC Indonesia untuk menghadirkan Seminar digital atau Webinar bertajuk "Sistem Pembayaran Digital Jadi Jurus Ampuh Saat Pandemi Covid-19 & Masa Depan".


Event yang digelar pada Kamis (3/9/2020) mulai pukul 09.00 WIB ini akan menghadirkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate yang akan memaparkan soal dukung pemerintah pada pembayaran digital sebagai tulang punggung ekonomi digital dan cara pemerintah menjamin ketersediaan internet sebagai syarat mutlak pembayaran digital.

Selanjutnya, dalam event ini juga akan menghadirkan sejumlah CEO perbankan dan fintech, Perwakilan Bank Indonesia, dan perusahaan Solusi Informasi Teknologi keluar dunia. Mulai dari Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardy, Direktur Utama BTPN Ongki W. Dana, Presiden Direktur IBM Indonesia Tan Wijaya, dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta

Para pembicara akan beradu konsep tentang masa depan pembayaran digital. Selain itu, permasalahan-permasalahan dalam mewujudkan pembayaran digital yang aman dan nyaman menjadi bahan yang akan disampaikan dalam sesi para pembicara yang akan dipandu oleh Moderator Exist in Exist.

Para audience Webinar ini pun bisa berinteraksi dengan bertanya langsung kepada para pembicara. Tentunya terkait dengan tema event ini, yakni "Sistem Pembayaran Digital Jadi Jurus Ampuh Saat Pandemi Covid-19 & Masa Depan".

Tertarik untuk mengikuti event ini, ikuti streaming Webinar ini pada Kamis (3/9/2020) mulai pukul 09.00 WIB yang didukung oleh BTPN, Mandiri & OVO hanya di www.cnbcindonesia.com.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular