Ada Tantangan Keamanan, Digital Banking Tetap Melesat

dob & Yuni Astutik & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
24 August 2020 18:08
Infografis/Kartu Kredit dan Debit Ditinggal?pembayaran  digital sudah  jadi pilihan utama

Pandemi virus corona (Covid-19) telah meluluhlantakkan perekonomian dunia. Mayoritas ekonomi dunia harus menerima pil pahit ekonomi mengalami kontraksi atau pertumbuhan minus. Tak terkecuali Indonesia.

Namun selalu ada peluang di tengah himpitan masalah. Sebuah berkat terselubung atau bahasa kerennya blessing in disguise bersama digital banking di tengah pandemi Covid-19.

Seperti teknologi canggih lainnya, Indonesia cenderung ketinggalan dalam digital banking, dibandingkan negara maju. Satu hal yang menjadi tantangan tentunya menjadikan digital banking sebagai kebutuhan dan kebiasaan bagi masyarakat.

Apalagi beragam modus penipuan berbasis online bukanlah barang langka di era saat ini. Mulai dari pencurian data pribadi, pembobolan akun, hingga penipuan berkedok penjual online di media sosial.

Namun, dengan kebijakan menjaga jarak, tetap #dirumahAja, hingga pembatasan sosial berskala besar, aktivitas konvensional seperti ke bank maupun ke ATM menjadi terhambat. Secara instant dan massif transaksi digital banking melesat.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatat sepanjang Mei 2020, layanan transaksi mobile banking BRImo naik 100% dibandingkan sebelum Pemerintah mengumumkan masa pandemi Covid-19 di awal Maret 2020. Jumlah transaksi rata-rata hampir 6 juta setiap harinya.

Kemudian PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencatatkan pertumbuhan digital payment sebesar 20% hingga 30% dengan pembukaan rekening melalui video banking mencapai 5.100 rekening per hari. Lalu PT Bank DBS Indonesia mencatat adanya peningkatan transaksi online untuk fitur bayar beli sebesar 75%.

Sementara itu, Jenius, produk digital banking dari PT Bank BTPN Tbk, mencatatkan penambahan nasabah baru secara online dan organikc meningkat 25% dibandingkan sebelum pandemi.

Bukannya cuma di bank, payment system berbasis fintech pun kejatuhan durian runtuh selama pandemi. Pengguna baru OVO tercatat mengalami kenaikan 267% selama pandemi.

Selanjutnya DANA juga tak mau ketinggalan. Pertumbuhan transaksi di DANA mulai dari Januari hingga pertengahan Mei mencapai 50%. Berikutnya adalah Gopay, e-wallet milik Gojek mencatat peningkatan transaksi selama pandemi naik 103%.

Tak hanya e-wallet dan digital banking, sejumlah e-commerce juga mengaku mengalami peningkatan bahkan selama pandemi. Kebijakan tetap di rumah menjadi salah satu alasan kenapa belanja online menjadi semakin diminati.

VP of Marketplace Bukalapak, Kurnia Rosyada, mengatakan transaksi di Bukalapak meskipun di tengah situasi pandemi, tercatat ada kenaikan hingga 50% pada Juni tahun ini dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

"Jumlah transaksi oleh Mitra Bukalapak di bulan Juni tahun ini juga naik hingga sekitar 3 kali lipat dari bulan yang sama tahun lalu. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi yang pernah dicapai oleh Mitra Bukalapak," katanya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, belum lama ini.

Hal senada juga dikatakan oleh External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya. Penjualan di Tokopedia menembus 8,6 juta, atau bertambah 1,4 juta dibandingkan Januari 2020.

"Para penjual ini memasarkan lebih dari 300 juta produk dengan harga transparan, memudahkan lebih dari 90 juta pengguna aktif bulanan Tokopedia yang tersebar di lebih dari 98% kecamatan di Indonesia memenuhi kebutuhan hariannya selama pandemi," katanya menjelaskan.

Kemudian, Public Relations Lead Shopee Indonesia, Aditya Maulana Noverdi mengatakan Shopee juga mencatat kenaikan permintaan sebanyak 3X untuk kategori makanan dan bahan pokok di beberapa bulan terakhir.

Bahkan, Shopee juga melihat permintaan yang tinggi untuk makanan kaleng sebanyak 7 kali lipat di Shopee pada bulan Maret. Kecap asin, beras, gula kemasan, kopi instan, daging potongan, dan kebab frozen merupakan beberapa produk paling populer yang banyak dicari pengguna Shopee.

Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan bank digital serta transaksi secara digital memang sudah ada namun pergerakannya masih cukup lama, dan diperkirakan baru berkembang 5-10 tahun mendatang atau pada 2025.

"Ternyata dengan adanya pandemi ini era digital dipercepat, sehingga artinya pasca Covid-19 trennya akan terus naik. Ini sama dengan penjualan digital, tadinya orang berpikir masih lama (perkembangannya), karena tadinya ada pertumbuhan tetapi kecil," kata Aviliani kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Untuk itu meski Covid-19 akan berlalu, Aviliani menilai tren bank digital ini tidak akan surut bahkan justru akan semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Potensi inilah yang membuat bank-bank konvensional pun mulai mengembangkan lini digital.

"Itu suka tidak suka, mau tidak mau harus dilakukan. Kalau dia tetap dengan cara lama maka akan ditinggalkan nasabahnya dalam waktu yang tidak lama," katanya.

Meski demikian, Aviliani mengakui perkembangan bank digital ini tidak hanya melahirkan potensi tetapi juga risiko kejahatan siber hingga fraud teknologi. Untuk itu dia menegaskan, selain investasi pihak bank harus bisa melakukan deteksi risiko teknologi apalagi hukum kejahatan siber di Indonesia masih lemah.

"Sekarang kan kalau ada apa-apa yang harus ganti rugi kan bank. Risiko ini yang akan naik yakni cyber crime dan juga fraud berisiko terjadi dan berubah menjadi fraud teknologi. Makanya harus diamankan software dan hardwarenya," tegas Aviliani.

Dari tren bank digital yang ada saat ini, Aviliani menilai masih harus dikembangkan lagi. Pasalnya sistem keamanan yang ada saat ini belum mempertimbangkan ada lonjakan transaksi karena masyarakat harus tinggal di rumah. Selain itu, ke depannya akan terjadi perubahan kebutuhan sumber daya manusia di industri perbankan. Akan ada pertukaran kebutuhan karyawan sesuai dengan kebutuhannya.

"Memang sudah mulai tetapi masih harus dikembangkan karena sebelumnya transaksinya belum banyak, jadi sekarang harus ada pengawasan ke teknologi juga. Harus serius digarap, karena biasanya kita pasang saja tidak berpikir risikonya," katanya.

Sementara itu Anggota Dewan Komisioner OJK, Heru Kristiyana mengatakan pada dasanrnya otoritas mendukung digital banking yang memang dianggap sebuah keharusan.

OJK menyiapkan infrastruktur yang bersifat principle based atau berbasis prinsip sebagai bentuk dukungan ekosistem yang kondusif dalam menjalankan transformasi digital.

"Kalau rule based akan rigid dan memberikan ruang yang terbatas," ujarnya.

Heru menjelaskan dengan basis ini, OJK ingin ekosistem perkembangan digital bisa marak namun memperhatikan keamanan. Untuk itu, OJK sudah menyiapkan beberapa tembok aturan yang bisa melindungi nasabah. Hal itu untuk menjawab yang sering ditanyakan oleh pelaku digital, yakni apakah OJK sudah siap mendukung layanan digital.

"POJK layanan perbankan digital kita siapkan perangkat. Apa yang harus dilakukan perbankan yang ingin berikan layanan digital. Kita kasih aturan untuk bank, mana yang boleh," ujarnya.

Hal ini perlu dilakukan pengaturan karena apabila digital banking mengalami kendala, misalnya saja sistemnya offline. Maka nasabah bisa terganggu dan transaksi otomatis akan tertunda.

"Itu bisa timbulkan risiko sistemik dan merembet kemana-mana," ujarnya.
Apalagi kalau permasalahan tersebut bisa mempengaruhi kepercayaan nasabah. "Kalau nasabah tidak percaya maka dia tarik saja duitnya," tegasnya.

Momentum pandemi Covid-19 kemudian dimanfaatkan oleh perbankan untuk meluncurkan fitur baru dalam digital banking. Maklum, permintaan akan layanan baru saat ini cukup besar.

Salah satunya adalah Jenius dari Bank BTPN yang selama pandemi telah meluncurkan dua fitur baru, yaitu Moneytory untuk membantu nasabah mencatat cash flow keuangan secara otomatis dan Jenius QR.

Langkah ini dilakukan untuk melengkapi layanan dan fitur transaksional selama 4 tahun terakhir. Jenius QR sendiri dipercepat peluncurannya dari rencana awal pada September.

"Dengan pandemi orang lebih sadar akan kebersihan. Orang tidak mau pakai uang kertas dan kartu, maka QR menjadi alat yang relevan berdasarkan input nasabah. QR dirasa salah satu yang paling tepat," kata Head of Digital Banking BTPN, Irwan S. Tisnabudi kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Fitur Jenius QR ini juga menurutnya mendukung apa yang digalakkan oleh Bank Indonesia (BI) melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Melalui QRIS ini, setidaknya ada 500 ribu merchant yang nantinya bisa digunakan untuk pembayaran menggunakan fitur Jenius QR.

"Dulu sebelum 1 Januari 2020, pembayaran QR hanya dapat dilakukan secara close loop, maksudnya QR Gopay hanya bisa digunakan lewat aplikasi Gojek, QR OVO hanya bisa digunakan lewat aplikasi OVO. Namun saat ini dengan adanya QRIS maka pembayaran bisa dilakukan melalui aplikasi Jenius, karena QRIS dapat digunakan secara interoperability dan interkoneksi," katanya lagi.

Irwan mengatakan di awal kehadirannya Jenius sebagai pionir digital banking di Indonesia, lebih fokus pada nasabah usia muda yang familiar dengan teknologi. Dia juga mengakui hingga tahun lalu milenial menjadi segmen pangsa pasar terbesar, tetapi saat ini pangsa pasar sudah melebar usia lebih mature.

Bahkan nasabah segmen lebih mature merasa dimudahkan dengan dengan fitur Maxi Saver yang ditawarkan Jenius, dimana nasabah dapat membuat term deposit dengan sangat mudah dan cepat, dimana hanya membutuhkan waktu 20 detik.

"Nasabah di segmen yang lebih mature juga menyukai fitur Flexi Saver, dimana nasabah dapat memisahkan dana tabungan dari dana untuk bertransaksi dengan bunga yang kompetitif dan dapat membuat 3 Flexi Saver dalam satu akun," kata Irwan.

Irwan juga menambahkan, Jenius tidak hanya fokus kepada fitur transaksional, tetapi juga sedang mengembangkan fitur investasi dan asuransi untuk melengkapi layanannya. Irwan pun tidak menutup kemungkinan menggandeng partner dalam inovasi ke depannya.

"Sejak awal lahir kami tak pernah melihat harus melakukan semua sendiri. Mungkin kita yakin partner sendiri punya expertise lebih tinggi dengan bisnis beda, kolaborasi dan ko-kreasi menjadi option yang bisa ditelusuri lebih jauh," katanya.

Kedua, fitur ini nantinya diharapkan bisa menjangkau dan relevan untuk nasabah lebih mature, dan membuat generasi milenial lebih mengenal investasi serta asuransi.

Irwan mengatakan Jenius mulai masuk ke segmen 30-40 tahun yang lebih mature, bahkan nasabah Sinaya yang berusia 40 tahun ke atas sudah menggunakan Jenius.

Meski akan ada selalu tantangan dari sisi keamanan, namun ternyata masyarakat Indonesia semakin sadar akan kebutuhan digital banking.

"Kami percaya, peran industri layanan perbankan digital menjadi sangat penting saat ini dalam menjalani keseharian ataupun bisnis. Terkait tantangan sisi keamanan, kami selalu mengutamakan keamanan data dan dana nasabah, di mana Jenius menerapkan keamanan berlapis dengan menggunakan teknologi terkini serta secara berkala melakukan edukasi kepada nasabah untuk lebih waspada dan berhati-hati dalam bertransaksi serta mengganti PIN & password secara berkala," pungkas Irwan.

Berikutnya, bagaimana kebutuhan dari masyarakat ini bisa direspons menjadi sebuah akselerasi berbagai layanan digital banking.

Mumpung lagi hype!

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular