Ada Tantangan Keamanan, Digital Banking Tetap Melesat

dob & Yuni Astutik & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
24 August 2020 18:08
PERAMPOKAN UANG DIGITAL TERBESAR
Foto: Ilustrasi keamanan digital banking

Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan bank digital serta transaksi secara digital memang sudah ada namun pergerakannya masih cukup lama, dan diperkirakan baru berkembang 5-10 tahun mendatang atau pada 2025.

"Ternyata dengan adanya pandemi ini era digital dipercepat, sehingga artinya pasca Covid-19 trennya akan terus naik. Ini sama dengan penjualan digital, tadinya orang berpikir masih lama (perkembangannya), karena tadinya ada pertumbuhan tetapi kecil," kata Aviliani kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Untuk itu meski Covid-19 akan berlalu, Aviliani menilai tren bank digital ini tidak akan surut bahkan justru akan semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Potensi inilah yang membuat bank-bank konvensional pun mulai mengembangkan lini digital.

"Itu suka tidak suka, mau tidak mau harus dilakukan. Kalau dia tetap dengan cara lama maka akan ditinggalkan nasabahnya dalam waktu yang tidak lama," katanya.

Meski demikian, Aviliani mengakui perkembangan bank digital ini tidak hanya melahirkan potensi tetapi juga risiko kejahatan siber hingga fraud teknologi. Untuk itu dia menegaskan, selain investasi pihak bank harus bisa melakukan deteksi risiko teknologi apalagi hukum kejahatan siber di Indonesia masih lemah.

"Sekarang kan kalau ada apa-apa yang harus ganti rugi kan bank. Risiko ini yang akan naik yakni cyber crime dan juga fraud berisiko terjadi dan berubah menjadi fraud teknologi. Makanya harus diamankan software dan hardwarenya," tegas Aviliani.

Dari tren bank digital yang ada saat ini, Aviliani menilai masih harus dikembangkan lagi. Pasalnya sistem keamanan yang ada saat ini belum mempertimbangkan ada lonjakan transaksi karena masyarakat harus tinggal di rumah. Selain itu, ke depannya akan terjadi perubahan kebutuhan sumber daya manusia di industri perbankan. Akan ada pertukaran kebutuhan karyawan sesuai dengan kebutuhannya.

"Memang sudah mulai tetapi masih harus dikembangkan karena sebelumnya transaksinya belum banyak, jadi sekarang harus ada pengawasan ke teknologi juga. Harus serius digarap, karena biasanya kita pasang saja tidak berpikir risikonya," katanya.

Sementara itu Anggota Dewan Komisioner OJK, Heru Kristiyana mengatakan pada dasanrnya otoritas mendukung digital banking yang memang dianggap sebuah keharusan.

OJK menyiapkan infrastruktur yang bersifat principle based atau berbasis prinsip sebagai bentuk dukungan ekosistem yang kondusif dalam menjalankan transformasi digital.

"Kalau rule based akan rigid dan memberikan ruang yang terbatas," ujarnya.

Heru menjelaskan dengan basis ini, OJK ingin ekosistem perkembangan digital bisa marak namun memperhatikan keamanan. Untuk itu, OJK sudah menyiapkan beberapa tembok aturan yang bisa melindungi nasabah. Hal itu untuk menjawab yang sering ditanyakan oleh pelaku digital, yakni apakah OJK sudah siap mendukung layanan digital.

"POJK layanan perbankan digital kita siapkan perangkat. Apa yang harus dilakukan perbankan yang ingin berikan layanan digital. Kita kasih aturan untuk bank, mana yang boleh," ujarnya.

Hal ini perlu dilakukan pengaturan karena apabila digital banking mengalami kendala, misalnya saja sistemnya offline. Maka nasabah bisa terganggu dan transaksi otomatis akan tertunda.

"Itu bisa timbulkan risiko sistemik dan merembet kemana-mana," ujarnya.
Apalagi kalau permasalahan tersebut bisa mempengaruhi kepercayaan nasabah. "Kalau nasabah tidak percaya maka dia tarik saja duitnya," tegasnya.

(dob/dob)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular