
Viral Anji-Hadi Pranoto Soal Temuan Obat Corona, Ini Faktanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Jagad dunia maya kembali dihebohkan dengan informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya soal penemuan antibodi penyembuh Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) oleh seorang bernama Hadi Pranoto.
Semua berawal ketika seorang musisi Tanah Air bernama Erdian Aji Prihartanto (Anji) mengunggah video wawancaranya yang berjudul 'Bisa Kembali Normal? Obat COVID-19 Sudah Ditemukan! ke media sosial YouTube.
Apa yang membuat geger khalayak ramai adalah kehadiran seorang bernama Hadi Pranoto yang disebut sebagai Profesor yang telah menemukan cairan antibodi Covid-19 penyembuh ribuan pasien pengidap penyakit ganas tersebut.
Dalam wawancara tersebut, Hadi menyebutkan bahwa cairan tersebut telah diproduksi dan berhasil menyembuhkan ribuan pasien serta kini sudah diedarkan ke berbagai pulau Tanah Air seperti Jawa, Bali dan Kalimantan.
Hal ini tentu membuat video tersebut menjadi viral. Mengingat informasi dalam wawancara tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya, video berdurasi kurang lebih 30 menit yang diunggah 31 Juli lalu itu akhirnya kena take down dari YouTube.
Memang banyak pernyataan yang janggal dilontarkan oleh Pria bernama Hadi Pranoto yang mengaku profesor tersebut. Pertama adalah penemuannya soal cairan herbal yang mampu menyembuhkan Covid-19.
Jelas ini patut disangsikan. Pasalnya sampai dengan saat ini setiap obat atau vaksin yang dikembangkan terus dimonitor oleh berbagai otoritas kesehatan baik nasional maupun global.
Lagipula obat tersebut harus melalui serangkaian fase uji klinis yang jumlahnya ada tiga tahap dan panjang. Setiap tahap uji klinis harus merekrut jumlah sampel yang berbeda-beda dan semakin banyak.
Namun berdasarkan informasi yang beredar tidak jelas ramuan atau cairan yang dimaksud tersebut itu formulanya apa saja. Apakah sebuah ramuan herbal atau justru antibodi Covid-19.
Di sini informasi tersebut menjadi kabur. Pasalnya antibodi adalah sebuah protein yang hanya dihasilkan oleh seseorang atau hewan yang terserang penyakit (patogen) bukan dari herbal atau tanaman. Tidak ada publikasi spesifik di jurnal ilmiah tertentu yang juga disinggung oleh Hadi. Ini lah kecacatan pertama.
Soal antibodi Covid-19, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa seseorang yang terinfeksi virus corona atau patogen lain biasanya baru menghasilkan antibodi dalam kurun waktu 1-2 pekan setelah terpapar.
Lebih lanjut, WHO kemudian melakukan review dari berbagai penelitian seputar pembentukan antibodi Covid-19 yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional. Setidaknya ada 15 publikasi yang berhasil di review dan kebanyakan menunjukkan hasil yang sama. Orang yang sembuh dari Covid-19 mampu menghasilkan antibodi.
Namun, sampai saat ini antibodi yang mujarab menyembuhkan Covid-19 pun belum ada. Bahkan antibodi dari seseorang yang sudah sembuh dari Covid-19 pun tidak menjamin bisa memberikan proteksi terhadap serangan kedua virus tersebut.
Riset para ilmuwan China yang terdiri dari Wu F, Wang A, Liu M, dkk yang dipublikasikan di jurnal medRxiv dengan judul Neutralizing antibody responses to SARS-CoV-2 in a COVID-19 recovered patient cohort and their implications menjadi rujukan WHO bahwa beberapa orang memiliki antibodi penetral yang sangat rendah dalam darahnya.
Hal ini semakin membuktikan bahwa informasi yang disampaikan oleh Hadi Pranoto tersebut semakin meragukan. Seharusnya jika memang benar antibodi yang bisa menetralkan Covid-19 secara ampuh ditemukan, hasil penelitiannya sudah dimuat di jurnal internasional yang tentunya melalui review ketat.
Kecacatan lain dari pernyataan seorang Hadi Pranoto dalam video tersebut adalah ketika ia menyebutkan virus SARS-CoV-2 baru bisa mati dengan suhu 350 derajat celcius yang merupakan suhu di mana baja pun mencair.
Ada dua poin yang cacat di sini. Baja dibentuk dari komponen logam terutama besi. Menurut data British Stainless Steel Association, titik lebur unsur murni besi mencapai 1.535°C, chromium (Cr) 1.890°C dan nickel (Ni) 1.453°C. Sementara untuk besi baja titik leburnya di kisaran 1.400-1.450 °C. Ini merupakan kesalahan informasi yang lain.
Poin kedua adalah seputar suhu di mana virus corona 'mati'. Sebenarnya kata mati kurang tepat disematkan untuk virus mengingat agen penginfeksi ini tidak bisa diklasifikasikan sebagai makhluk hidup.
Namun kata 'mati' di sini lebih merujuk pada rusaknya struktur dan juga fungsi molekul virus yang menyebabkan patogen ini kehilangan kemampuannya untuk menginfeksi.
Berdasarkan berbagai publikasi ilmiah yang ada, tingkat suhu yang mampu untuk 'membunuh' virus tidaklah sampai setinggi yang disampaikan Hadi Pranoto.
Penelitian yang dilakukan oleh Shrikant Pawar dkk yang dipublikasikan di medRxiv dengan judul Effects of temperature on COVID-19 transmission menyebutkan suhu 56 derajat celcius sudah mampu 'membunuh' 10.000 unit per 15 menit.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesintasan (kemampuan bertahan hidup) virus tidak hanya soal temperatur saja, tetapi juga kelembaban udara.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti yaitu Jose-Luis Sagripanti dan C. David Lytle mengkaji tentang inaktivasi virus Corona dengan radiasi sinar matahari dan peran kelembaban udara.
Hasilnya menunjukkan, dalam kondisi ruangan ber-AC di mana suhu berada di kisaran 20-25 derajat selsius dan tingkat kelembaban relatifnya berada di rentang 40-50%, virus corona mampu bertahan hingga 5 hari pada permukaan yang bertekstur lembut.
Namun dalam kondisi ketika virus terpapar pada sinar matahari 11-34 menit di AS pada waktu musim panas akan menyebabkan 90% dari virus bakal terinaktivasi. Jika dipikir secara logika, suhu 350 derajat memang belum bisa meleburkan baja, tetapi sudah sangat ampuh membunuh tak hanya virus tetapi juga inangnya (baca: manusia).
Dalam wawancara tersebut, Hadi Pranoto juga menyebutkan bahwa sebagai ahli mikrobiologi, ia telah melakukan penelitian terhadap berbagai virus berbahaya selama puluhan tahun.
Hal ini juga perlu mendapat perhatian. Pasalnya, untuk melakukan penelitian terhadap virus terutama yang termasuk patogen tidak bisa sembarangan dilakukan. Laboratoriumnya pun harus bersertifikasi dan memiliki tingkat keamanan yang tinggi.
Untuk kasus Covid-19, WHO merekomendasikan pengerjaan spesimen untuk keperluan diagnostik dan deteksi menggunakan metode reaksi polimerisasi berantai (PCR) dilakukan di laboratorium dengan standard keamanan level 2/ Biosafety level-2 (BSL-2).
Jadi dari semua informasi yang diberikan, pembaca dan penonton harus lebih kritis dalam menanggapinya. Jadi jangan ditelan mentah-mentah ya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hadi Pranoto Jadi Trending Topic Twitter, Soal Apa?