Ancaman Baru Bagi Ekonomi AS, Korsel & Jepang: Resesi Seks

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
14 December 2019 08:24
Ancaman Baru Bagi Ekonomi AS, Korsel & Jepang: Resesi Seks
Foto: REUTERS / Mike Segar
Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi adalah suatu kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) menurun selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Tapi bagaimana kalau 'resesi seks'?

Jurnalis senior CNBC International AS Jake Novak menggunakan kata resesi seks untuk menggambarkan bagaimana mood untuk melakukan hubungan seksual dan menikah turun tajam di Amerika Serikat (AS).

Fenomena ini semakin menurun di kalangan anak muda AS. Bahkan, ini menjadi ancaman bagi PDB negara tersebut.

"Ini menjadi hal serius yang menyebar ke sejumlah sektor bisnis mulai dari real estate, pakaian hingga kontrasepsi dan berujung pada menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB)," tulisnya sebagaimana dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (14/12/2019).

Ada beberapa alasan mengapa ini bisa terjadi. Pertama, ketakutan akan runtuhnya stabilitas ekonomi karena memiliki pasangan.

Kedua, banyaknya pinjaman anak muda AS untuk membiayai gaya hidup mereka yang tinggi. Ketiga, munculnya situs porno, video game, media sosial bahkan robot seks yang membuat lelaki tidak tertarik pada wanita untuk berhubungan serius.

Terakhir, kecenderungan perempuan mencari lelaki yang mapan untuk berumah tangga. Ini membuat perempuan sangat selektif memilih pasangan.

Resesi seks tentu berbahaya bagi ekonomi AS. Pasalnya, semakin sedikitnya pertumbuhan penduduk maka konsumsi semakin turun dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

[Gambas:Video CNBC]



Mirisnya, tak hanya AS yang dilanda resesi sex. Korea Selatan dan Jepang juga menyusul. Korsel misalnya, muncul kelompok feminis radikal bernama "4B" atau "Four Nos" yang mendukung hal tersebut.

Menurut laporan AFP, Four Nos sendiri merupakan kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing', yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak.

Kelompok tersebut berisikan kumpulan wanita yang menolak norma patriarkal yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak atau bahkan berkencan dan berhubungan seks.

Bonnie Lee, seorang profesional berusia 40-an yang hanya tinggal bersama anjingnya di dekat Seoul menyatakan bergabung dengan kelompok tersebut.

"Aku wanita normal (straight) yang tidak lagi tertarik menjalin hubungan dengan pria," kata Lee, sebagaimana dilaporkan AFP.

Dia menambahkan, "Saya selalu merasa bahwa sebagai seorang wanita ada lebih banyak kerugian daripada keuntungan dari menikah,".

Lee yang memiliki dua gelar master juga mengatakan bahwa menikah bisa membuat gelar pendidikan dan karir menjadi tidak ada artinya. Sebab, yang diharapkan dalam pernikahan adalah seorang wanita harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah, membesarkan anak-anak, dan merawat mertua yang menua.

"Di pasar pernikahan, kehidupan dan pengalaman kerja Anda sebelumnya tidak penting," kata Lee.

"Untuk alasan yang konyol, menjadi wanita berpendidikan tinggi juga menjadi poin minus. Yang paling penting sebagai calon istri adalah apakah Anda mampu merawat suami dan mertua Anda."



Selain di Korea Selatan, Jepang sudah lebih dulu terindikasi resesi sex. Di Jepang, bahkan semakin banyak yang menggunakan robot untuk melakukan berbagai tugas, dan bahkan memberikan layanan seksual, sebagai alternatif dari pengganti manusia sesungguhnya. Ada berbagai alasan mereka menggunakan robot seks itu, salah satunya adalah trauma.

"Boneka seks adalah ruang yang aman bagi pria untuk mempraktikkan interaksi seksual yang sehat tanpa adanya kompleksitas hubungan manusia yang normal." Kata pedagang robot sex.

Salah satu dampak dari perubahan kebiasaan ini adalah penurunan jumlah kelahiran. 
Apalagi saat ini tingkat kesuburan Jepang sudah sangat rendah. Akibat dua hal itu, populasi Jepang dapat berkurang setengahnya jika tren berlanjut selama 100 tahun ke depan.

Menurunnya jumlah kelahiran di Jepang pun telah berdampak pada ketidakseimbangan yang tumbuh antara penduduk usia muda dan tua, yang akhirnya menjurus pada langkanya tenaga kerja muda di negara ini. Seperti halnya yang terjadi di sektor manufaktur.

Sebuah survei pemerintah mengutip Asia Nikkei, tenaga kerja manufaktur Jepang telah menyusut 9% dari 11,7 juta menjadi 10,6 juta antara 2008 hingga 2018.

Sementara jumlah pekerja di atas usia 65 tahun dalam sektor manufaktur telah naik dari 6,5% pada 2008 menjadi 8,9% pada 2018. Sementara itu, jumlah kelompok pekerja usia kurang dari 35 turun 29% menjadi 25,1% pada kurun waktu yang sama.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular