Startup Makin Marak Bak Tsunami, Ancaman atau Peluang?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
18 March 2019 13:20
Startup Makin Marak Bak Tsunami, Ancaman atau Peluang?
Foto: Pedagang menjajakan dagangannya dengan sistem pembayaran cashless di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perhelatan debat calon Wakil Presiden yang berlangsung pada hari Minggu (17/3/2019) malam, isu tenaga kerja menjadi salah satu topik yang cukup intensif diperbincangkan.

Ma'ruf Amin selaku calon wakil presiden nomor urut 1 mengungkapkan bahwa Indonesia harus menyiapkan tenaga kerja seiring dengan pesatnya perkembangan startup digital.

"Unicorn, bahkan juga kemungkinan sebentar lagi akan ada Decacorn. Dengan demikian maka tenaga kerja kita harus kita siapkan ke depan supaya lebih siap menghadapi tantangan," ujar Ma'ruf Amin semalam.

Sebagai informasi, istilah Unicorcn mengacu pada suatu perusahaan berbasis teknologi yang sudah memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar. Di Indonesia, sudah terdapat beberapa perusahaan rintisan baru (startup) yang telah menyandang status Unicorn, diantaranya adalah Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Gojek.



Sedangkan Decacorn adalah mereka yang telah memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar. Belum lama ini Grab disebut-sebut telah berstatus Decacorn.

Namun seperti apa sebenarnya potensi tenaga kerja yang diciptakan dari keberadaan perusahaan teknologi tersebut?

Berdasarkan penelitian konsultan McKinsey & Co. yang dipublikasikan pada Agustus 2018, perkembangan dunia online yang digerakkan oleh perkembangan internet memang akan menciptakan sejumlah lapangan kerja baru.

McKinsey memperkirakan pada tahun 2022, akan ada 26 juta pekerjaan yang menopang industri perdagangan online. Baik secara langsung, maupun secara tidak langsung. Jumlah tersebut jauh meningkat dari yang hanya sebesar 4 juta per Agustus 2018.

Artinya, selama empat tahun (2018-2022), akan ada pertumbuhan pekerjaan sebesar 5,5 juta/tahun. Sebagai catatan, pertumbuhan jumlah pekerjaan tersebut mengasumsikan pertumbuhan yang linear setiap tahunnya.



Dalam hal perkembangan perusahaan berbasis teknologi, Google bersama Temasek mengatakan bahwa sektor e-commerce dan online travel merupakan jenis usaha digital yang akan memiliki ukuran pasar (market size) paling besar.

Diprediksi pada tahun 2025, market size e-commerce kan mencapai US$ 102 miliar, meningkat pesat dibanding tahun 2018 yang hanya sebesar US$ 23 miliar

McKinsey juga memprediksi akan ada sebanyak 65 juta penduduk Indonesia yang melakukan pembelian barang-barang konsumsi secara online. Jauh meningkat dibanding tahun 2017 yang hanya 20 juta.



Menurut Bank Dunia (World Bank), konektivitas yang semakin baik akibat berkembangnya internet menyebabkan ketimpangan sosial akan semakin berkurang.

Pasalnya, teknologi informasi digital dapat memperluas jangkauan penjual dan pembeli. Dengan begitu, jarak antara masyarakat perkotaan dan pedesaan seakan-akan dapat dipersempit.

Terlebih lagi, pada tahun 2030, Bank Dunia memperkirakan 50% penduduk Indonesia akan hidup di perkotaan. Artinya, arus rantai pasokan akan semakin deras antara perkotaan dan pedesaan.

Penduduk yang tinggal di pedesaan dapat memasarkan produk-produk seperti hasil alam dan kerajinan tangan dengan lebih baik. Alhasil, gairah perekonomian di pedesaan dapat ditingkatkan.

Tapi akankah benar akan berjalan mulus seperti demikian?

(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA)

Hal ini sejatinya menciptakan tantangan yang tidak bisa dibilang mudah bagi Indonesia.

Pasalnya, pertumbuhan pekerjaan tidak dapat terlepas dari dukungan dari lingkungan.

Sebagai contoh, pada laporan data kemudahan melakukan usaha (Ease of Doing Business) terakhir tahun 2018, Indonesia masih menduduki peringkat ke-73 dari 190 negara.

Salah satu parameternya adalah waktu yang dibutuhkan sesorang untuk memulai usaha, dimana di Indonesai mencapai 20 hari. Sangat jauh dibanding negara tetangga, Thailand yang hanya membutuhkan waktu 4,5 hari. Juga lebih lama ketimbang Malalsia dan Vietnam yang masing-masing hanya memerlukan waktu 13 dan 17 hari.





Bila hal ini terus berlanjut, maka penciptaan tenaga kerja juga akan terhambat. Sebab, penciptaan lapangan pekerjaan baru hanya akan tercipta jika lapangan usaha juga tumbuh.

Selain itu, secara rata-rata, hanya sebesar 8% dari perusahaan Indonesia yang memberikan pelatihan formal kepada pekerjanya. Terutama pada perusaan kecil, dimana hanya 4% yang memberikan pelatihan. Sangat jauh ketimbang rata-rata perusahaan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, dimana sebanyak 57% memberikan pelatihan kepada karyawannya.

Dampaknya, perusahaan-perusahaan di Indonesia akan menjadi sulit untuk menciptakan produk yang memiliki daya saing yang tinggi.

Pasalnya, aset paling berharga dari sebuah badan usaha adalah orang-orang di dalamnya. Kala sumber daya manusianya kurang kompeten, sudah hampir pasti outputnya juga akan tak maksimal.

Bahayanya, Indonesia akan semakin kebanjiran barang-barang konsumsi asal luar negeri, alias impor. Jelas saja, masyarakat sudah pasti lebih senang dengan barang yang lebih berkualitas tinggi, sukur-sukur lebih murah.

Sepanjang 2015-2018, Badan Pusat Statistik mencatatkan impor barang konsumsi sedang berada dalam tren peningkatan.

Lihat saja porsi impor barang konsumsi yang mencapai 9,11% terhadap total impor pada tahun 2018. Meningkat dari tahun 2015 yang hanya sebesar 7,62%.



Ini merupakan satu indikasi bahwa kebutuhan masyarakat kurang bisa dipenuhi oleh produk-produk dalam negeri.

Alhasil di kemudian hari bukan tidak mungkin tanaga kerja Indonesia yang jumlahnya semakin banyak tersebut hanya akan memperlancar arus impor. Barang-barang yang tersedia di online marketplace online seperti Tokopedia dan Bukalapak akan banjir barang impor.

Alih-alih mengangkat produk-produk pedesaan, yang ada malah membuatnya sulit untuk berkembang.


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular