
Fintech
Kisruh Fintech: Pakai yang Legal dan Kelola Utang dengan Baik
Iswari Anggit, CNBC Indonesia
13 December 2018 09:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Bisa mencairkan dana dengan cepat dan prosesnya mudah, membuat penyedia jasa layanan finansial teknologi atau fintech dibutuhkan masyarakat sehingga cepat berkembang di Indonesia.
Pasalnya, meminjam dana di bank mengharuskan peminjam memerlukan jaminan dan memiliki beragam ketentuan yang tidak semua orang mampu memenuhinya. Belum lagi prosedurnya yang dapat dikatakan tidak praktis dan membutuhkan waktu relatif lama.
Hal ini dijelaskan oleh Direktur Perizinan, Pengaturan, dan Pengawasan Fintech, Hendrikus Passagi, dalam konferensi pers Rabu, (12/12/2018).
"Fintech P2P [Peer to Peer Lending] itu jadi kebutuhan di Indonesia, bagi mereka yang unbank dan underserve. Dari sini kita bisa melihat, tidak mengherankan [kalau] industri fintech P2P berkembang pesat, [dari total sekitar] tiga juta penduduk, sekarang jumlah transaksinya [layanan fintech mencapai] sembilan juta."
Maraknya penyedia jasa fintech, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus lebih aktif dalam melakukan pengawasan dan edukasi masyarakat.
Guna menghindari hal yang merugikan terjadi, OJK berulang kali menegaskan, agar masyarakat menggunakan jasa layanan fintech yang legal, dengan melihat apakah penyedia jasa layanan fintec tersebut terdaftar di OJK.
Hingga saat ini, terdapat 78 penyedia jasa layanan fintech yang terdaftar di OJK, sementara yang ilegal dan sudah diblokir, jumlahnya mencapai 404.
Diakui Hendrikus, OJK masih sering menerima keluhan, baik dari masyarakat sebagai peminjam dana, maupun penyedia jasa layanan fintech sebagai pemberi dana.
"Di OJK konsumen itu ada dua; lender [pemberi dana, dalam hal ini penyedia jasa layanan fintech] dan borrower [peminjam dana]. Fintech di Tiongkok heboh karena disalahgunakan penyelenggara, kalau di Indonesia terbalik, karena yang meminjam tidak membayar utangnya," ujar Hendrikus pada awak media.
Bahkan, dalam kesempatan yang sama, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengungkapkan, kalau banyak masyarakat yang melakukan pinjaman dana tidak disertai dengan pemikiran yang matang, terkait kesanggupan membayar hutang dan bunganya, sesuai kesepakatan awal.
Tidak sedikit masyarakat yang melakukan "gali lubang, tutup lubang" untuk melunasi hutang mereka.
"Rata-rata masyarakat meminjam bukan untuk hal produktif, untuk gaya hidup, dan lain-lain. Masyarakat tidak membayar sesuai janji. Jadi, kami himbau gunakan fintech legal dan kelola utang dengan baik, sesuai kewajiban membayar."
"Malah ada yang sampai meminjam di 30 fintech, setelah ditagih, mengadu ke OJK karena bunganya tinggi, nagihnya tidak beretika, ternyata setelah diselidiki tidak mampu membayar. Jadi ya yang kami bisa bantu sistemnya," sambung Tongam.
Dari sisi keluhan masyarakat sebagai peminjam dana, OJK mengatakan bahwa rata-rata berkaitan dengan bunga tinggi dan penagihan oleh debt collector yang tidak beretika.
"Untuk kelas fintech kelas tiga, bunga maksimum yamg diizinkan dalam POJK 77 [peraturan OJK tentang fintech] 0,8% per hari, dan hanya boleh penagihan sampai hari ke-90," kata Hendrikus.
"Misalnya masyarakat berhutang 1 juta, lalu tidak bisa bayar sampai 90 hari, ya [masyarakat] maksimal bayar 2 juta. Sampai 10 tahun dia tidak bayar, ya hutangnya tetap 2 juta. Tapi, dia akan masuk database peminjam berkarakter buruk [masyarakat yang masuk database ini akan kesulitan melakukan pinjaman dana di bank maupun non bank manapun]," sambungnya.
Melengkapi penjelasan Hendrikus, Direktur Pelayanan Konsumen Agus Fajri mengingatkan sekali lagi akan pentingnya menggunakan penyedia jasa layanan fintech ilegal. Agus menegaskan, penyedia jasa layanan fintech ilegal akan taat pada aturan POJK 77, termasuk urusan debt collector dan prosedur penagihannya.
"Terkait debt collector yang boleh dihire yang sudah bersertifikasi. Kalau preman jalanan dijadikan debt collector ya salah. Kerugian yang ditimbulkan pihak lembaga, dibebankan ke lembaga. Tidak bisa sembarangan yang jadi debt collector," tegas Agus
(ray) Next Article Pengumuman, OJK Setop Pendaftaran Fintech Pinjol Baru
Pasalnya, meminjam dana di bank mengharuskan peminjam memerlukan jaminan dan memiliki beragam ketentuan yang tidak semua orang mampu memenuhinya. Belum lagi prosedurnya yang dapat dikatakan tidak praktis dan membutuhkan waktu relatif lama.
Hal ini dijelaskan oleh Direktur Perizinan, Pengaturan, dan Pengawasan Fintech, Hendrikus Passagi, dalam konferensi pers Rabu, (12/12/2018).
Maraknya penyedia jasa fintech, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus lebih aktif dalam melakukan pengawasan dan edukasi masyarakat.
Guna menghindari hal yang merugikan terjadi, OJK berulang kali menegaskan, agar masyarakat menggunakan jasa layanan fintech yang legal, dengan melihat apakah penyedia jasa layanan fintec tersebut terdaftar di OJK.
Hingga saat ini, terdapat 78 penyedia jasa layanan fintech yang terdaftar di OJK, sementara yang ilegal dan sudah diblokir, jumlahnya mencapai 404.
Diakui Hendrikus, OJK masih sering menerima keluhan, baik dari masyarakat sebagai peminjam dana, maupun penyedia jasa layanan fintech sebagai pemberi dana.
"Di OJK konsumen itu ada dua; lender [pemberi dana, dalam hal ini penyedia jasa layanan fintech] dan borrower [peminjam dana]. Fintech di Tiongkok heboh karena disalahgunakan penyelenggara, kalau di Indonesia terbalik, karena yang meminjam tidak membayar utangnya," ujar Hendrikus pada awak media.
Bahkan, dalam kesempatan yang sama, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengungkapkan, kalau banyak masyarakat yang melakukan pinjaman dana tidak disertai dengan pemikiran yang matang, terkait kesanggupan membayar hutang dan bunganya, sesuai kesepakatan awal.
Tidak sedikit masyarakat yang melakukan "gali lubang, tutup lubang" untuk melunasi hutang mereka.
"Rata-rata masyarakat meminjam bukan untuk hal produktif, untuk gaya hidup, dan lain-lain. Masyarakat tidak membayar sesuai janji. Jadi, kami himbau gunakan fintech legal dan kelola utang dengan baik, sesuai kewajiban membayar."
"Malah ada yang sampai meminjam di 30 fintech, setelah ditagih, mengadu ke OJK karena bunganya tinggi, nagihnya tidak beretika, ternyata setelah diselidiki tidak mampu membayar. Jadi ya yang kami bisa bantu sistemnya," sambung Tongam.
Dari sisi keluhan masyarakat sebagai peminjam dana, OJK mengatakan bahwa rata-rata berkaitan dengan bunga tinggi dan penagihan oleh debt collector yang tidak beretika.
"Untuk kelas fintech kelas tiga, bunga maksimum yamg diizinkan dalam POJK 77 [peraturan OJK tentang fintech] 0,8% per hari, dan hanya boleh penagihan sampai hari ke-90," kata Hendrikus.
"Misalnya masyarakat berhutang 1 juta, lalu tidak bisa bayar sampai 90 hari, ya [masyarakat] maksimal bayar 2 juta. Sampai 10 tahun dia tidak bayar, ya hutangnya tetap 2 juta. Tapi, dia akan masuk database peminjam berkarakter buruk [masyarakat yang masuk database ini akan kesulitan melakukan pinjaman dana di bank maupun non bank manapun]," sambungnya.
Melengkapi penjelasan Hendrikus, Direktur Pelayanan Konsumen Agus Fajri mengingatkan sekali lagi akan pentingnya menggunakan penyedia jasa layanan fintech ilegal. Agus menegaskan, penyedia jasa layanan fintech ilegal akan taat pada aturan POJK 77, termasuk urusan debt collector dan prosedur penagihannya.
"Terkait debt collector yang boleh dihire yang sudah bersertifikasi. Kalau preman jalanan dijadikan debt collector ya salah. Kerugian yang ditimbulkan pihak lembaga, dibebankan ke lembaga. Tidak bisa sembarangan yang jadi debt collector," tegas Agus
(ray) Next Article Pengumuman, OJK Setop Pendaftaran Fintech Pinjol Baru
Most Popular