
Jangan Salah Kaprah, Bunga Pindar Diatur untuk Lindungi Masyarakat

Jakarta, CNBC Indonesia - Keberadaan financial technology atau fintech telah ada selama beberapa dekade dan telah berevolusi ke berbagai pasar, terutama industri perbankan, perdagangan, asuransi serta manajemen risiko. Keunggulannya jelas, dengan memanfaatkan teknologi layanan keuangan lebih mudah diakses dan efisien.
Tidak heran, jika perkembangan fintech di Indonesia sekarang ini semakin berkembang, salah satunya pinjaman daring (Pindar). Apalagi di Indonesia juga hadir Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang memiliki tugas dan fungsi mengawasi fintech peer to peer lending agar tetap berjalan sesuai prosedur.
Keberadaan Pindar dengan yang terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini memiliki perbedaan dengan pinjaman online (pinjol) ilegal yang kerap meresahkan masyarakat karena menetapkan bunga di luar ketentuan dan batas wajar.
Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah mengatakan, pada dasarnya para pelaku usaha Pindar memiliki kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunga. Asalkan dengan syarat tidak melampaui batas maksimum yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai cara perlindungan konsumen.
Sebelumnya, pembatasan bunga diberlakukan mulai dari 0,8% dan telah diturunkan menjadi 0,4%. Pada akhirnya, OJK terus memangkas dan memutuskan untuk di batas maksimal 0,3% per hari melalui SEOJK 19/2023.
"Batas maksimum manfaat ekonomi atau suku bunga adalah arahan dari regulator, yakni OJK. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari praktik predatory lending dan suku bunga yang mencekik," ungkap Kuseryansyah dikutip Jumat (29/8/2025).
Kuseryansyah juga menjelaskan bahwa AFPI sendiri memiliki yang namanya Code of Conduct, sebagai pedoman perilaku. Adapun sejak 2018, tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi suku bunga antar platform.
AFPI pun menegaskan bahwa asosiasi tidak ingin adanya predatory lending atau pinjaman yang tidak ada patokan harga dan kesepakatan. Dia mencontohkan praktik ilegal yang ingin dihindari kala itu adalah saat ada orang yang meminjam Rp 3 juta ditagih Rp 60 juta dalam waktu 2 hingga 3 bulan. Oleh karena itu ditetapkanlah sealing atas.
"Namun, pada praktiknya, semua platform bisa menentukan harga yang disesuaikan dengan produk, segmentasi, risiko dan tingkat efisiensi operasional platform dengan tetap berpedoman pada aturan OJK," tegas Kuseryansyah.
Sebagai informasi, code of conduct tidak dapat diposisikan sebagai bukti adanya kesepakatan antar platform untuk membatasi persaingan. Penerapan code of conduct pada dasarnya dimaksudkan untuk mengatur standar operasional atau perilaku sesuai nilai dan prinsip tertentu.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Gak Cuma Biaya, Ini Penghambat Adopsi AI-Big Data di Fintech