Fintech
Resahkan Masyarakat, Ini Ciri Fintech Lending Ilegal
06 November 2018 20:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Fintech Pendanaaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku ramainya pemberitaan media mengenai proses penagihan di luar norma dari layanan jasa pinjaman online berbasis teknologi atau financial technology (fintech) telah membuat rugi pihaknya.
"Yang dilakukan oleh pinjaman online ilegal ini merusak image. Yang muncul diberitakan di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) itu, saya belum dengar itu adalah anggota kami. Tapi yang saya tahu itu merugikan kami dari pihak industri," kata Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Menurut Sunu, banyaknya kasus yang beredar di pemberitaan ataupun media sosial setelah ia telusuri ternyata berasal dari peminjam yang diketahui memiliki akun pinjaman di lebih dari satu fintech.
"Dari awal kan ada kesepakatan dan harus paham berapa bunga yang dikenakan. Kalau sudah menerima uangnya, kemudian disampaikan tidak manusiawi, artinya mereka itu memang niatnya mengemplang," kata Sunu dengan tegas.
Sementara dari sisi penyelenggara, Sunu mengklaim jika para penyelenggara ini juga tidak memiliki itikad baik untuk membangun industri fintech yang sehat di Indonesia. Ia berdalih, bukti tidak terdaftarnya mereka di OJK justru semakin memperkuat fakta bahwa penyelenggara di sini memanfaatkan fintech sebagai ladang investasi dengan bunga cepat.
"Saya mempertanyakan, mereka niatnya tidak benar. Mereka cuma mau mendapat uang cepat terus kabur. Mereka tidak mengikuti aturan OJK, artinya melanggar hukum," kata Sunu.
Oleh karena itu, Sunu pun mengimbau kepada masyarakat untuk lebih paham dan berhati-hati dalam menggunakan jasa pinjaman online.
Fintech Legal
Sejauh ini, AFPI mengaku telah mengagendakan para anggotanya untuk memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 demi melindungi nasabah dari praktik pencurian data.
Anggota yang dimaksud di sini merupakan semua fintech yang terdaftar di OJK, di mana per Oktober 2018, OJK mencatat ada 73 fintech yang sudah terdaftar dan legal beroperasi di Indonesia.
Wakil Ketua Bidang Fintech Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli mengatakan pemberlakuan sertifikasi ini sesuai dengan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.4 tahun 2016 terkait sistem manajemen penanganan informasi.
"Mewajibkan fintech mendapat ISO 27001 itu agar tidak diperkenankan untuk mengakses foto galeri. Artinya, kami mengikuti regulasi. Namun, ini untuk fintech terdaftar," kata Aidil.
Selain sertifikasi ISO, AFPI juga sedang menyusun standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan anggota kepada nasabah, baik menggunakan penagih internal maupun eksternal. Standarisasi dan sertifikasi ini akan disesuaikan dengan kode etik penagihan yang disepakati bersama oleh seluruh anggota AFPI dan akan dilaporkan ke OJK.
"Niatnya untuk akuntabilitas kalau anggota tidak menggunakan penagih yang tersertifikasi ini berarti anggota menyalahi aturan," kata Aidil.
Di samping itu, fintech legal juga diwajibkan memiliki batasan atau pagu biaya agar nasabah tidak merasa terbebani dan tetap bisa menunaikan kewajiban pembayarannya.
Pagu biaya tersebut dibatasi maksimal tidak lebih dari 100% dari nilai pokok atau prinsipal dan berlaku jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 hari dari tenggat waktu pembayaran.
"Ada yang mengeluhkan jika nasabah akan membayar tiga sampai empat kali lipat. Itu memang mencekik. Maka dari itu sebagai industri yang masih muda ini, kami menetapkan nasabah ke depan tidak akan bayar lebih dari dua kali lipat dari prinsipal (pinjaman)," kata Aidil.
Kabar mengenai maraknya keluhan nasabah fintech pinjaman online mengenai proses penagihan muncul setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membuka pos pengaduan bagi peminjam online.
Berdasarkan data LBH, sejak Mei lalu ada 283 korban pinjaman online dengan berbagai bentuk pelanggaran hukum yang tercatat di pos pengaduan LBH.
Namun, AFPI mengklaim tidak ada satupun dari seluuruh keluhan yang diterima LBH berasal dari perusahaan fintech di bawah naungan asosiasinya.
(roy/roy)
"Yang dilakukan oleh pinjaman online ilegal ini merusak image. Yang muncul diberitakan di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) itu, saya belum dengar itu adalah anggota kami. Tapi yang saya tahu itu merugikan kami dari pihak industri," kata Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Menurut Sunu, banyaknya kasus yang beredar di pemberitaan ataupun media sosial setelah ia telusuri ternyata berasal dari peminjam yang diketahui memiliki akun pinjaman di lebih dari satu fintech.
"Dari awal kan ada kesepakatan dan harus paham berapa bunga yang dikenakan. Kalau sudah menerima uangnya, kemudian disampaikan tidak manusiawi, artinya mereka itu memang niatnya mengemplang," kata Sunu dengan tegas.
"Saya mempertanyakan, mereka niatnya tidak benar. Mereka cuma mau mendapat uang cepat terus kabur. Mereka tidak mengikuti aturan OJK, artinya melanggar hukum," kata Sunu.
Oleh karena itu, Sunu pun mengimbau kepada masyarakat untuk lebih paham dan berhati-hati dalam menggunakan jasa pinjaman online.
Fintech Legal
Sejauh ini, AFPI mengaku telah mengagendakan para anggotanya untuk memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 demi melindungi nasabah dari praktik pencurian data.
Anggota yang dimaksud di sini merupakan semua fintech yang terdaftar di OJK, di mana per Oktober 2018, OJK mencatat ada 73 fintech yang sudah terdaftar dan legal beroperasi di Indonesia.
Wakil Ketua Bidang Fintech Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli mengatakan pemberlakuan sertifikasi ini sesuai dengan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.4 tahun 2016 terkait sistem manajemen penanganan informasi.
"Mewajibkan fintech mendapat ISO 27001 itu agar tidak diperkenankan untuk mengakses foto galeri. Artinya, kami mengikuti regulasi. Namun, ini untuk fintech terdaftar," kata Aidil.
Selain sertifikasi ISO, AFPI juga sedang menyusun standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan anggota kepada nasabah, baik menggunakan penagih internal maupun eksternal. Standarisasi dan sertifikasi ini akan disesuaikan dengan kode etik penagihan yang disepakati bersama oleh seluruh anggota AFPI dan akan dilaporkan ke OJK.
"Niatnya untuk akuntabilitas kalau anggota tidak menggunakan penagih yang tersertifikasi ini berarti anggota menyalahi aturan," kata Aidil.
Di samping itu, fintech legal juga diwajibkan memiliki batasan atau pagu biaya agar nasabah tidak merasa terbebani dan tetap bisa menunaikan kewajiban pembayarannya.
Pagu biaya tersebut dibatasi maksimal tidak lebih dari 100% dari nilai pokok atau prinsipal dan berlaku jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 hari dari tenggat waktu pembayaran.
"Ada yang mengeluhkan jika nasabah akan membayar tiga sampai empat kali lipat. Itu memang mencekik. Maka dari itu sebagai industri yang masih muda ini, kami menetapkan nasabah ke depan tidak akan bayar lebih dari dua kali lipat dari prinsipal (pinjaman)," kata Aidil.
Kabar mengenai maraknya keluhan nasabah fintech pinjaman online mengenai proses penagihan muncul setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membuka pos pengaduan bagi peminjam online.
Berdasarkan data LBH, sejak Mei lalu ada 283 korban pinjaman online dengan berbagai bentuk pelanggaran hukum yang tercatat di pos pengaduan LBH.
Namun, AFPI mengklaim tidak ada satupun dari seluuruh keluhan yang diterima LBH berasal dari perusahaan fintech di bawah naungan asosiasinya.
Artikel Selanjutnya
Fintech Sudah Salurkan Kredit Rp 7,05 T, Meroket 605%
(roy/roy)