Sri Mulyani & Dunia yang Saat Ini Bingung Karena Digitalisasi

Arys Aditya, CNBC Indonesia
18 July 2018 12:02
Terjadi kebingungan menghadapi ekonomi digital yang terus melesat dengan masif secara nasional, regional dan global.
Foto: CNBC Indonesia/Shalini
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sekian lama sejak berakhirnya Perang Dunia II, akhirnya ada yang 'menyatukan' mayoritas negara-negara di dunia, baik miskin maupun kaya, menengah maupun maju.

Persatuan tersebut adalah kebingungan menghadapi ekonomi digital yang terus berderak dengan masif secara nasional, regional dan global.

Dalam sebuah kertas kerja yang dilansir pada 5 April 2018 atau kurang dari 4 bulan lalu, International Monetary Fund (IMF) bahkan menyebut belum ada kesepakatan di antara pembuat kebijakan mengenai definisi 'ekonomi digital' atau 'sektor digital'.

Dalam kertas kerja berjudul 'Measuring Digital Economy' tersebut, IMF hanya sampai pada klasifikasi sektor digital, yang mencakup inti dari aktivitas digitalisasi, barang dan jasa telekomunikasi dan informatika (TI), platform digital, dan aktivitas berbasis platfrom seperti sharing economy.

Bagaimana mungkin Pemerintah memberi respons melalui kebijakan apabila mereka tidak mengerti dengan persis 'setan' apa yang mereka hadapi?

Belum lagi, barang ini begitu cepat bergerak. Presiden Joko Widodo kerap menyebut ini dalam pidatonya. "Dunia sangat cepat berubah. Tidak lagi dalam hitungan tahun atau bulan, tetapi sekarang hitungannya detik atau menit."

Mengelola perubahan yang sangat cepat memang betul tidak mudah. Bahkan, dalam Frankenstein, penulis Mary Wollstonecraft Shelley mengungkapkan keresahannya. "Nothing is so painful to the human mind as a great and sudden change."

Ketika memberikan kuliah umum 'APBN Menjawab Tantangan Era Digital Economy' di hadapan 800-an peserta pasca sarjana UGM di Jakarta, Selasa (17/7/2018) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kesulitan Pemerintah Indonesia (dan negara-negara lain) dalam menghadapi persoalan satu ini.

Menkeu menceritakan, negara-negara maju yang terhimpun di The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga masih meraba-raba dalam merumuskan kebijakan fiskal ketika dihadapkan pada fenomena yang kerap disebut 'revolusi industri keempat' ini.

"Kami sama bingungnya. Seperti ketika memajaki Google, Australia, Inggris, Prancis dan lainnya saling intip. Ketika akhirnya Australia memajaki Google, yang lain nanya, 'bagaimana kamu menghitungnya?' Oh seperti itu," kata mantan Direktur Pelaksana World Bank itu.

Nampaknya pemerintah negara-negara di dunia memang harus cermat dan ekstra hati-hati dalam menghadapi persoalan ini. Ratusan juta, kalau bukan miliaran orang, telah terkoneksi dengan internet bahkan sebelum otoritas melahirkan aturan yang lengkap mengenai tata cara aturan main, termasuk dalam soal ekonomi digital.

Dalam konteks Indonesia, e-Marketeer melaporkan sebanyak 100 juta orang 'telanjur' menjadi pengguna smartphone yang terkoneksi internet pada 2018, naik dari 45 juta orang hanya dalam waktu 3 tahun.

Sementara, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan menyebut angka yang lebih mengerikan. Sebanyak 142 juta orang atau lebih dari setengah manusia Indonesia adalah warganet yang sehari-hari menjadi pengguna dan terpapar internet.

Seperti diungkapkan Sri Mulyani, masih banyak lubang dalam tata aturan pemerintah. Singkatnya, perubahan yang terjadi begitu cepat hingga birokrasi dan birokrat di seluruh dunia pun tidak tahu bagaimana cara mengejarnya.

Satu peristiwa merefleksikan dengan baik hal ini, yakni ketika ramai-ramai kasus Cambridge Analytica yang membuat bos Facebook Mark Zuckerberg disidang di hadapan Senat AS.

Dalam persidangan itu, alih-alih membuat Zuck menusukkan pertanyaan tajam dan membongkar secara rinci plus detil kasus pelanggaran privasi itu, para senator dari negara yang sering mengklaim paling hebat sedunia itu justru menyorongkan pertanyaan yang kemudian menjadi tertawaan kaum milenial-yang ketika pertama kali dilahirkan mungkin sudah punya akun media sosial-di seluruh dunia.

"Bagaimana Anda terus mencetak keuntungan ketika para pengguna Anda tidak membayar sepeserpun dari layanan Anda?" kata Senator Orrin Hatch, dikutip dari vox.com, Selasa (10/4/2018).

Zuck menjawab singkat. "Senator, kami menjalankan ads."

Potongan adegan persidangan yang merepresentasikan antara negara dan ekonomi digital tersebut menunjukkan dua sisi mata uang secara sekaligus.

Di satu sisi, ekonomi digital memang memberikan peluang yang barangkali tanpa batas. Atau setidaknya, hanya langit lah batasnya. Sekalipun dari sisi kapasitas masih mini, Pemerintah menyebut laju pertumbuhannya tidak terbendung.

Sri Mulyani mencontohkan, perusahaan ekspedisi yang 'hanya' menjadi pendukung e-commerce seperti bisa mencetak 16 juta pengantaran paket per bulan, dengan pertumbuhan konstan 70%. Nilai transaksi di salah satu platform, seperti Tokopedia, bahkan menembus Rp 1 triliun per bulan.

Dari perspektif negara, adanya e-commerce berupa salah satunya marketplace juga memberikan keuntungan secara makro. Ketika konsumen dapat membandingkan secara realtime harga barang yang ia inginkan, dalam seketika transaksi akan semakin efisien.

Dalam skala besar, efisiensi ini pada gilirannya akan menarik harga barang turun yang juga menyebabkan inflasi semakin rendah. "Dalam e-commerce dan ekonomi digital, komparasi bisa memungkinkan untuk dilakukan. Ini disebut kompetisi nyaris sempurna," ujar Sri Mulyani.

Namun di sisi lain, perlu ada kesadaran bahwa peluang besar itu sekaligus diiringi oleh intaian ancaman yang tidak kalah besar. Sudah banyak orang yang meramalkan akan terjadi satu gelombang besar perubahan yang telah mulai terlihat gejalanya.

Perubahan itu ada otomatisasi dan robotisasi yang berjalan beriringan dengan ekonomi digital. Masih belum cukup? Maka perkenalkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Tidak percaya?

Pada akhir tahun lalu, McKinsey Global Institute mengestimasi akan ada 800 juta orang kehilangan pekerjaan hingga 2030 karena satu faktor: digantikan oleh robot dan AI. Riset bertajuk lengkap 'Jobs lost, jobs gained: What the future of work will mean for jobs, skills, and wages' itu juga memperkirakan sekitar sedikitnya 50% dari total pekerjaan yang tersedia saat ini bakal dibabat habis oleh otomatisasi mesin, robot dan atau AI.

Kampus ternama MIT Sloan School of Management melansir penelitian bahwa pada 2025, 5 robot akan mampu menggantikan hingga 1.000 orang yang melakukan pekerjaan secara teknis dan repetitif.

Seperti riset World Economic Forum yang tidak dikutip tapi mirip yang dikatakan Sri Mulyani dalam kuliah itu, pekerjaan seperti akuntan menjadi salah satu yang paling terancam. Menkeu menambahkan: pengacara.

"Nanti bisa saja, robot akan menjadi buruh, sehingga harus membayar pajak penghasilan. Pajaknya buat apa? Ya mungkin akan dipakai manusia yang menganggur untuk bersenang-senang," kata Menkeu dalam humornya yang agak ironis dan gelap itu.

Mungkin kebingungan itu adalah awal untuk mengupayakan persatuan yang lain, sebuah kerja sama alias gotong royong. OECD, kata Menkeu Sri Mulyani, adalah awal yang menjanjikan.

"Dalam soal perpajakan, ketika saya masih menkeu tahun 2006, dulu begitu susah antar negara untuk saling berbagi informasi. Setiap negara harus mencari tahu sendiri caranya. Kini lebih mudah karena ada OECD."

Pemerintah negara-negara di dunia harus lebih banyak bekerja sama, ketimbang saling melukai seperti gejolak perang dagang yang tengah bergulir belakangan.

Karena apabila sampai pemerintah di seluruh dunia gagal mengantisipasi dan merespons dengan tepat zaman yang tengah bergerak ini, akan ada kesengsaraan dan luka yang jauh lebih hebat ketimbang statistik pertumbuhan laju ekonomi digital. Mungkin benar akan ada ratusan juta orang kehilangan pekerjaan dan jatuh ke dalam palung ketertinggalan. Sebab, robot dan AI akan mengerjakan semuanya.

Untuk menambah kesuraman jaman robot yang nampaknya kian dekat ini, George Orwell menampilkannya dengan satu kalimat dalam 1984. "In the face of pain there are no heroes." Tidak ada pahlawan dalam kesengsaraan, entah itu pemerintah, rakyat, pengusaha atau robot itu sendiri.


(dru) Next Article Sri Mulyani: Kalau Dengar Pajak Kepala Orang Langsung Korslet

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular