Pekan Lalu Melemah, Riyal Arab Saudi Turun Lagi ke Rp 3.826

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 July 2020 20:04
A Saudi man shows Saudi riyal banknotes at a money exchange shop, in Riyadh, Saudi Arabia January 20, 2016. REUTERS/Faisal Al Nasser
Foto: Riyal Arab Saudi (REUTERS/Faisal Al Nasser)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar riyal Arab Saudi (SAR) melemah tipis melawan rupiah pada perdagangan Senin (13/7/2020). Sentimen pelaku pasar yang membaik membuat rupiah mampu kembali menguat.

Berdasarkan data Refinitiv, riyal melemah 0,05% ke Rp 3.826/SAR di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sentimen positif datang dari Gilead yang pada hari Jumat lalu mengumumkan data terbaru hasil obat virus corona, redemsivir, mampu menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 hingga 62% jika dibandingkan dengan pengobatan standar.

Kabar tersebut membuat saham Gilead menguat 2% di hari Jumat, sekaligus mengangkat sentimen pelaku pasar sehingga Wall Street mencatat penguatan. Pasar Asia pun merespon kabar tersebut awal pekan kemarin.

Gilead mengatakan menganalisa data dari 312 pasien dalam uji klinis fase tiga, dibandingkan dengan 818 pasien dengan karakteristik dan tingkat keparahan penyakit yang sama, tetapi menggunakan pengobatan standar. Meski demikian, Gilead mengatakan masih perlu lebih banyak penelitian untuk obat redemsivir yang dibuat.

Selain obat, perusahaan bahkan negara-negara sedang berlomba membuat vaksin virus corona. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) kini ada 21 calon vaksin yang sedang diuji ke sukarelawan. Tiga diantaranya masuk fase tiga yakni vaksin milik Moderna, mlik farmasi Inggris AstraZeneca, dan milik China Sinovac Biotech. 

Sebelum pengumuman dari Gilead tersebut, pada pekan lalu rupiah mampu menguat 4 hari beruntun melawan riyal, sebelum terkoreksi di hari Jumat. Sehingga sepanjang pekan lalu, rupiah berhasil menguat 0,62% melawan riyal.

Sentimen positif dari dalam negeri datang sejak Senin (6/7/2020) sore setelah perdagangan dalam negeri ditutup. Saat itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengadakan konferensi per bersama.

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan untuk skema public goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.

"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo rate-nya atau ditanggung 100%," kata dia.

Sebelumnya muncul kecemasan kebijakan yang disebut "burden sharing" tersebut akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia, sehingga real return investasi menjadi menurun.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga ke seluruh dunia," katanya.

Tetapi, Gubernur Perry saat itu mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar. Perry juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI menjalankan operasi moneter.

Alhasil, rupiah langsung melesat di hari Selasa dan seterusnya hingga membukukan penguatan 4 hari beruntun, sebelum terkoreksi di hari Jumat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 10 Pekan Berlalu, Rupiah Akhirnya Menguat Melawan Riyal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular