Newsletter

Waspada! 7 Isu Penting Bisa Bikin IHSG & Rupiah 'Keringetan' Pekan Ini

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
29 September 2025 06:02
10 Saham Market Cap Terbesar, Adu Kuat Hartono Vs Prajogo
Foto: Infografis/10 Saham Market Cap Terbesar, Adu Kuat Hartono Vs Prajogo/Aristya Rahadian
  • Pasar keuangan Indonesia kompak menguat pada akhir pekan lalu, rupiah dan IHSG ada di zona positif
  • Wall kompak menghijau pada akhir pekan lalu
  • Data ekonomi dari dalam dan negeri akan menjadi penggerak pasar pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air siap kembali diperdagangan hari ini, jelang pergantian bulan. Pasar keuangan bersiap menghadapi banyak tantangan pekan ini karena akan banyak data ekonomi yang rilis, baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun rupiah.

IHSG masih mencatatkan kinerja cukup positif di sepanjang pekan kemarin, namun hal itu memberikan ruang konsolidasi atau penurunan sejenak sebelum melanjutkan bullishnya. Akan tetapi, rupiah diperkirakan masih akan mengalami tekanan di sepanjang pekan ini.

Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman empat.

Pada perdagangan Jumat (26/9/2025), IHSG ditutup menguat 0,73% di level 8.099,3. Sepanjang pekan kemarin, IHSG berhasil naik 0,60%. Dan sempat menyentuh rekor tertingginya pada penutupan perdagangan 24 September 2025 di level 8.126,56.

Sebanyak 337 saham naik, 310 turun, dan 152 lainnya tidak bergerak. Nilai transaksi hingga penutupan mencapai Rp 21,97 triliun. Sebanyak 41,41 miliar saham berpindah tangan dalam 2,16 juta kali transaksi.

Mayoritas sektor perdagangan menguat dengan hanya energi dan teknologi yang terkoreksi. Sementara itu, sektor utilitas konsumer primer dan barang baku mencatatkan kenaikan paling tinggi.

Saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) tercatat sebagai penggerak utama kinerja IHSG pada perdagangan Jumat kemarin, dengan saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi pemberat utama kinerja indeks.

Pasar domestik kemarin mengalami pukulan berat, IHSG terjun dalam koreksi signifikan dan rupiah mencatatkan level terlemah dalam rentang panjang.

Korelasi negatif antara sentimen global dan kelemahan struktur domestik terlihat makin jelas apa yang sebelumnya menjadi daya tarik pasar modal kini diuji oleh realitas tekanan valuta asing dan arus modal keluar yang agresif.

Fokus pasar akhir pekan kemarin tertuju ke data inflasi AS (PCE) dan perkembangan ekonomi AS sebagai ujung tombak ekspektasi moneter global.

Beralih ke rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Jumat (26/9/2025) berhasil menguat ke posisi Rp16.725/US$ atau terapresiasi 0,06%. Hal ini sekaligus mematahkan tren pelemahan rupiah dalam enam hari beruntun.


Penguatan rupiah pada akhir pekan kemarin tak lepas dari peran Bank Indonesia yang terus berupaya untuk menjaga nilai tukar rupiah untuk tetap stabil.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo telah membuka suara soal pelemahan rupiah yang terjadi beberapa hari terakhir. Perry menegaskan bahwa bank sentral telah mengeluarkan seluruh instrumennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF," menurut Perry dalam pernyataannya, Jumat (26/9/2025).

Dia pun mengungkapkan BI yakin bahwa seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai nilai fundamentalnya.

Sementara itu, faktor pelemahan Dolar Index (DXY) turut menjadi salah satu penopang penguatan rupiah pada perdagangan Jumat kemarin.

DXY berbalik melemah setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan putaran baru tarif, termasuk tarif 100% untuk obat-obatan dari perusahaan yang tidak membangun pabrik di AS, serta bea masuk untuk truk besar dan produk rumah tangga yang akan berlaku mulai 1 Oktober 2025 mendatang.

Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Jumat (26/9/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik tipis di level 6,2402%.

Sebagai informasi, imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan Surat Berharga Negara (SBN).

Pasar saham Amerika Serikat (AS) Wall Street kompak menguat berjamaah pada perdagangan akhir pekan kemarin. Kini investor akan mencermati data ketenagakerjaan untuk mendukung penurunan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

Pada perdagangan Jumat (26/9/2025), Dow Jones menguat 0,65% di level 46.247,29. Sementara itu, S&P 500 naik 0,59% di level 6.643,70 dan Nasdaq terapresiasi 0,44% 22.484,07.

Data ketenagakerjaan AS pekan ini mungkin perlu menjadi perhatian utama bagi Wall Street, menunjukkan pasar tenaga kerja yang mendingin yang mendukung penurunan suku bunga lebih lanjut tanpa memicu kekhawatiran akan resesi.

Meskipun saham dominan sedikit melemah pada pekan kemarin, namun indeks ekuitas AS tetap mendekati rekor tertinggi setelah reli tanpa henti yang menempatkan indeks acuan S&P 500 (SPX) di jalur untuk mencapai kinerja kuartal ketiga terbaiknya sejak 2020.

Beberapa investor mengatakan kenaikan pasar membuat saham rentan terhadap kekecewaan. Yang mempersulit rilis data ketenagakerjaan adalah potensi penutupan pemerintah AS pekan depan yang, jika terjadi, dapat berarti laporan ketenagakerjaan tidak dirilis sesuai jadwal Jumat depan.

Data ketenagakerjaan akan membantu menunjukkan apakah pasar tenaga kerja "hanya mengalami masa-masa sulit," menurut Mark Luschini, kepala strategi investasi di Janney Montgomery Scott, kepada CNBC International.

"Tidak ada yang mengharapkan angka yang luar biasa di sini," ujar Luschini. "Di saat yang sama, jika hasilnya negatif, itu akan mengonfirmasi kecurigaan bahwa pasar tenaga kerja mungkin memburuk dengan cepat, yang tentu saja menimbulkan pertanyaan, mungkinkah kita benar-benar berada di ambang potensi resesi?"

Laporan tersebut diperkirakan menunjukkan jumlah tenaga kerja non-pertanian naik sebesar 39.000 pada bulan September, menurut jajak pendapat Reuters terhadap para ekonom, setelah kenaikan sebesar 22.000 pada bulan sebelumnya. Tingkat pengangguran diperkirakan mencapai 4,3%.

The Fed bulan ini memangkas suku bunga untuk pertama kalinya tahun ini setelah menunjukkan tanda-tanda kesulitan di pasar tenaga kerja. Bank sentral diperkirakan akan memberlakukan penurunan suku bunga standar seperempat poin persentase lagi pada pertemuan berikutnya di akhir Oktober dan mungkin satu lagi pada pertemuan terakhirnya tahun ini di bulan Desember.

Ekspektasi pelonggaran moneter tersebut, termasuk pemangkasan lebih lanjut pada tahun 2026, telah mendorong reli terbaru di mana S&P 500 telah mencatat 25 rekor penutupan tertinggi selama tiga bulan terakhir.

Namun, dengan inflasi yang masih tinggi, investor khawatir bahwa laporan ketenagakerjaan yang kuat dapat mendorong The Fed untuk memperlambat laju pemangkasannya. The Fed menaikkan suku bunga dari Maret 2022 hingga Juli 2023 untuk mengendalikan inflasi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, minggu ini mengatakan risiko inflasi jangka pendek cenderung ke atas karena ia mencatat situasi yang menantang yang dihadapi bank sentral.

"Yang diharapkan orang-orang adalah jika lapangan kerja datang jauh lebih ringan, apakah kita hanya akan melihat satu pemangkasan atau tidak ada pemangkasan sama sekali selama sisa tahun ini?" ujar Marta Norton, kepala strategi investasi di penyedia layanan pensiun dan kekayaan, Empower.

Menjelang data ketenagakerjaan minggu depan adalah tenggat waktu bagi anggota Kongres dari Partai Demokrat dan Republik untuk mencapai kesepakatan pendanaan pemerintah dan menghindari penutupan sebagian. Meskipun investor cenderung mengabaikan penutupan sebelumnya, peristiwa serupa kali ini dapat menyebabkan lebih banyak kekhawatiran di pasar.

Salah satu faktornya adalah valuasi saham yang tinggi, dengan S&P 500 kini berada di jalur untuk meraih keuntungan persentase dua digit selama tiga tahun berturut-turut.

Menurut LSEG Datastream, indeks terakhir diperdagangkan pada 22,8 kali lipat dari perkiraan pendapatan 12 bulan untuk konstituennya. Angka tersebut berada di sekitar level tertinggi dalam lima tahun dan jauh di atas rata-rata 10 tahun sebesar 18,7.

"Valuasi berada pada titik ekstrem," menurut Norton. "Ini berarti sistem kekebalan tubuh yang lemah terhadap segala jenis risiko yang ada."

Pasar keuangan Tanah Air bersiap menghadapi perdagangan yang cukup berat pekan ini, terutama pada rupiah yang masih menghadapi tantangan.

Pada pekan ini data-data ekonomi baik dari dalam dan luar negeri cukup ramai, sehingga bisa mendorong volatitas perdagangan di sepanjang pekan ini.

1. PMI Manufaktur RI

S&P akan mengumumkan data PMI Manufaktur Indonesia edisi September pada Rabu (1/10/2025). Seperti diketahui, aktivitas manufaktur Indonesia akhirnya masuk fase ekspansi di Agustus setelah terkontraksi empat bulan sebelumnya.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (1/9/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,5 pada Agustus 2025 atau mengalami ekspansi. Laju ekspansi ini adalah yang pertama dalam lima bulan setelah PMI terkontraksi empat bulan beruntun sebelumnya.

Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei, berlanjut di Juni (46,9), dan Juli (49,2).

2. Inflasi RI September

Pada Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Indonesia periode September 2025. Sebelumnya, BPS mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau deflasi pada Agustus 2025 sebesar 0,08%. Secara tahunan atau year on year (YoY), inflasi terjadi 2,31%.

Penyumbang deflasi bulanan terbesar pada periode Agustus berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,29% dan andil deflasi 0,08%.

Komponen harga yang diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,08%, dengan andil deflasi sebesar 0,02%. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah tarif angkutan udara dan bensin.

Kemudian, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 0,61%, dengan andil deflasi 0,10%. Komoditas penyumbang adalah tomat, cabai rawit dan bawang putih.

BPS mencatat 27 provinsi di Indonesia mengalami deflasi, sementara 11 provinsi mengalami inflasi. Adapun total provinsi Indonesia saat ini ada 38 provinsi.

3. Neraca Dagang RI Agustus

Masih di hari yang sama Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data neraca dagang RI periode Agustus beserta pertumbuhan ekspor dan impor. Sebelumnya, BPS menuturkan neraca perdagangan Indonesia Januari-Juli 2025 mengalami surplus US$23,65 miliar yang berasal dari surplus sektor nonmigas US$34,06 miliar, sementara sektor migas defisit senilai US$10,41 miliar.

Surplus US$23,65 miliar yang dipicu oleh surplus pada sektor nonmigas US$34,06 miliar sementara sektor migas defisit US$10,41 miliar.

BPS menuturkan 3 negara penyumbang surplus terbesar yakni Amerika Serikat (AS) US$ 10,49 miliar; India sebesar US$ 8,09 miliar dan Filipina US$ 5,11 miliar. Sebagai catatan, AS masih menduduki peringkat pertama penyumbang surplus neraca perdagangan RI jelang penerapan tarif 19% yang dimulai 5 Agustus 2025.

Adapun, AS memang menduduki posisi ketiga sebagai negara tujuan ekspor terbesar RI. Total ekspor AS pada Januari-Juli 2025 mencapai US$17,89 miliar. Ke depan,

Indonesia akan tetap menggenjot ekspor ke AS, meski Negeri Paman Sam menetapkan tarif impor sebesar 19%. Tarif itu tercatat menjadi yang terendah bagi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, pemerintah akan fokus meningkatkan ekspor sejumlah komoditas unggulan ke pasar AS, mulai dari tekstil hingga elektronik. Dia yakin ekspor RI ke AS tetap akan meningkat.

BPS pun mencatat nilai ekspor Indonesia US$ 24,75 miliar pada Juli 2025, atau naik 9,86% dibandingkan Juli 2024

Sementara impor mencapai US$ 20,57 miliar atau turun 5,96% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Maka dari itu, neraca dagang surplus US$ 4,18 miliar per Juli 2025.

4. PMI China September

Pada Selasa (30/2/2025), negeri tirai bambu akan merilis sejumlah data PMI untuk periode September 2025. Sebelumnya, aktivitas manufaktur China menyusut selama lima bulan berturut-turut di bulan Agustus, menunjukkan bahwa para produsen masih menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kesepakatan perdagangan dengan AS sementara permintaan domestik masih lesu.

Indeks manajer pembelian (PMI) resmi naik menjadi 49,4 pada bulan Agustus dibandingkan 49,3 pada bulan Juli, tetap di bawah angka 50 yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi dan meleset dari perkiraan median 49,5 dalam jajak pendapat Reuters.

Perekonomian China menghadapi melemahnya ekspor akibat tarif AS, penurunan sektor properti, meningkatnya ketidakpastian pekerjaan, pemerintah daerah yang terlilit utang besar, dan cuaca ekstrem. Tekanan-tekanan ini mengancam akan menggagalkan target pertumbuhan ambisius Beijing pada tahun 2025 sebesar "sekitar 5%," menurut para ekonom.

Indeks PMI non-manufaktur, yang mencakup sektor jasa dan konstruksi, tumbuh lebih cepat, naik menjadi 50,3 dari 50,1 pada bulan Agustus, menurut Biro Statistik Nasional (NBS).

PMI komposit NBS untuk manufaktur dan non-manufaktur mencapai 50,5 pada bulan Agustus, dibandingkan dengan 50,2 pada bulan Juli.

5. Data Tenaga Kerja Amerika

Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan beberapa data tenaga kerja pada pekan ini.

Laporan JOLTS (Job Openings and Labor Turnover Survey) Amerika Serikat (AS) periode Agustus 2025, akan dirilis pada Selasa (30/9/2025), data pengangguran September dan non-farm payroll Agustus di Jumat (3/10/2025).

Sebelumnya, lowongan pekerjaan di AS turun pada bulan Juli ke level terendah dalam 10 bulan, menambah data lain yang menunjukkan minat terhadap pekerja secara bertahap menurun di tengah meningkatnya ketidakpastian kebijakan.

Lowongan pekerjaan yang tersedia turun menjadi 7,18 juta dari 7,36 juta yang direvisi turun pada bulan Juni, menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja. Estimasi median dalam survei ekonom Bloomberg memperkirakan 7,38 juta lowongan.

Penurunan lowongan pekerjaan didorong oleh sektor perawatan kesehatan, perdagangan ritel, serta pariwisata dan perhotelan. Lowongan di sektor perawatan kesehatan, yang telah menjadi pendorong utama pertumbuhan lapangan kerja tahun ini, turun ke level terendah sejak 2021. Imbal hasil obligasi pemerintah AS turun dan S&P 500 tetap menguat setelah laporan tersebut.

Penurunan lowongan kerja menunjukkan perusahaan menjadi lebih berhati-hati dan selektif dalam perekrutan mereka karena mereka mencoba mengukur dampak kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump terhadap perekonomian. Selain data lowongan kerja, laju perekrutan telah melambat dan membutuhkan waktu lebih lama bagi para penganggur untuk menemukan posisi lain.

Sementara itu, tingkat pengangguran di AS naik menjadi 4,3% pada Agustus 2025 dari 4,2% pada bulan sebelumnya, sejalan dengan ekspektasi pasar dan mencerminkan tingkat pengangguran tertinggi sejak Oktober 2021.

6. Pertemuan OPEC

Pada Rabu (1/10/2025), terdapat pertemuan OPEC yang akan dihadiri oleh beberapa negara-negara anggota komite seperti Aljazair, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Nigeria, dan Venezuela (dari negara-negara OPEC), serta Kazakhstan dan Rusia (dari negara-negara non-OPEC).

Sebelumnya pada pertemuan bulan Juli 2025, diskusi berfokus pada penilaian sejauh mana negara-negara penandatangan perjanjian OPEC+ mematuhi komitmen mereka untuk mengurangi produksi selama Mei dan Juni 2025. Komite mencatat dengan puas bahwa sebagian besar negara peserta terus menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap keputusan yang diambil, tambah sumber tersebut.

Komite memuji upaya berkelanjutan untuk memastikan implementasi ketat penyesuaian produksi dan kompensasi atas kelebihan produksi, menekankan pentingnya kepatuhan penuh terhadap komitmen yang disepakati. Komite juga menekankan bahwa menjaga keseimbangan dan stabilitas pasar minyak internasional bergantung pada kepatuhan dan kohesi kolektif negara-negara OPEC+.

Sebelumnya, OPEC+ telah membalikkan strategi pemangkasan produksi yang dilakukan sejak April dan telah menaikkan kuota sekitar 2,5 juta barel per hari, sekitar 2,4% dari permintaan dunia, untuk meningkatkan pangsa pasar dan di bawah tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan harga minyak.

Namun, kenaikan tersebut gagal menurunkan harga minyak, yang diperdagangkan mendekati $68 per barel akibat sanksi Barat terhadap Rusia dan Iran, sehingga mendorong peningkatan produksi lebih lanjut di negara-negara pesaing seperti Amerika Serikat.

Peningkatan produksi lainnya berarti OPEC+, yang memproduksi sekitar setengah dari minyak dunia, akan mulai mengurangi pemangkasan tahap kedua sekitar 1,65 juta barel per hari, atau 1,6% dari permintaan dunia, lebih dari setahun lebih cepat dari jadwal.

7. PMI AS September

Pada Rabu (1/10/2025), Amerika Serikat (AS) akan merilis PMI Manufaktur AS Global S&P dan PMI Manufaktur AS ISM periode September 2025.

Sebelumnya, PMI Manufaktur AS Global S&P turun ke 52 pada September 2025 dari level tertinggi lebih dari tiga tahun di 53 pada Agustus, sejalan dengan prakiraan pasar, menurut estimasi awal.

Output meningkat selama empat bulan, namun peningkatannya jauh lebih rendah dibandingkan level tertinggi 39 bulan di bulan Agustus.

Kemudian, PMI Manufaktur AS ISM meningkat menjadi 48,7 pada Agustus 2025 dari 48,0 pada Juli, meskipun lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 49,0.

Indeks tersebut menandakan kontraksi selama enam bulan berturut-turut, karena penurunan tajam dalam produksi (47,8 vs. 51,4) hanya sebagian diimbangi oleh rebound dalam pesanan baru (51,4 vs. 47,1).

Ketenagakerjaan terus menurun, meskipun dengan laju yang sedikit lebih lambat (43,8 vs. 43,4). Persediaan pelanggan (44,6 vs. 45,7) dan antrean pesanan (44,7 vs. 46,8) menyusut lebih cepat, menunjukkan kondisi permintaan yang lebih lemah.

Pengukur inflasi harga input turun menjadi 63,7 dari 64,8 tetapi secara keseluruhan tetap tinggi. Responden survei sebagian besar menunjuk tarif sebagai penghambat kondisi bisnis, dengan menyebutkan biaya yang lebih tinggi, gangguan rantai pasokan, dan daya saing yang berkurang.

Berikut sejumlah agenda ekonomi dalam dan luar negeri pada hari ini:

  • Menteri Perdagangan menghadiri Strategic Forum bertajuk "Perluasan Pasar Ekspor ke Kanada dan Uni Eropa: Peluang dan Tantangan ICA-CEPA dan I-EU CEPA" di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat.

  • Menteri Koordinator Bidang Pangan memimpin Rapat Koordinasi Satuan Tugas Nasional Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Ruang Rapat Utama Kemenko Pangan, Jakarta Pusat. Turut hadir antara lain Menteri Koperasi.

  • Menteri Koordinator Bidang Pangan memimpin Rapat Koordinasi Terbatas Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional Wilayah Wanam Papua Selatan bertempat di Ruang Rapat Utama Kemenko Pangan, Jakarta Pusat. Turut hadir antara lain Menteri BUMN.

  • Diskusi dengan tema "Quo Vadis Perlindungan Industri Hasil Tembakau" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular