Newsletter

Waspada! 7 Isu Penting Bisa Bikin IHSG & Rupiah 'Keringetan' Pekan Ini

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
29 September 2025 06:02
Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa, BPS, Pudji Ismartini saat menyampaikan rilis BPS, Jumat (1/8/2025).
Foto: Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa, BPS, Pudji Ismartini saat menyampaikan rilis BPS, Jumat (1/8/2025). (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)

Pasar keuangan Tanah Air bersiap menghadapi perdagangan yang cukup berat pekan ini, terutama pada rupiah yang masih menghadapi tantangan.

Pada pekan ini data-data ekonomi baik dari dalam dan luar negeri cukup ramai, sehingga bisa mendorong volatitas perdagangan di sepanjang pekan ini.

1. PMI Manufaktur RI

S&P akan mengumumkan data PMI Manufaktur Indonesia edisi September pada Rabu (1/10/2025). Seperti diketahui, aktivitas manufaktur Indonesia akhirnya masuk fase ekspansi di Agustus setelah terkontraksi empat bulan sebelumnya.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (1/9/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,5 pada Agustus 2025 atau mengalami ekspansi. Laju ekspansi ini adalah yang pertama dalam lima bulan setelah PMI terkontraksi empat bulan beruntun sebelumnya.

Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei, berlanjut di Juni (46,9), dan Juli (49,2).

2. Inflasi RI September

Pada Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Indonesia periode September 2025. Sebelumnya, BPS mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau deflasi pada Agustus 2025 sebesar 0,08%. Secara tahunan atau year on year (YoY), inflasi terjadi 2,31%.

Penyumbang deflasi bulanan terbesar pada periode Agustus berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,29% dan andil deflasi 0,08%.

Komponen harga yang diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,08%, dengan andil deflasi sebesar 0,02%. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah tarif angkutan udara dan bensin.

Kemudian, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 0,61%, dengan andil deflasi 0,10%. Komoditas penyumbang adalah tomat, cabai rawit dan bawang putih.

BPS mencatat 27 provinsi di Indonesia mengalami deflasi, sementara 11 provinsi mengalami inflasi. Adapun total provinsi Indonesia saat ini ada 38 provinsi.

3. Neraca Dagang RI Agustus

Masih di hari yang sama Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data neraca dagang RI periode Agustus beserta pertumbuhan ekspor dan impor. Sebelumnya, BPS menuturkan neraca perdagangan Indonesia Januari-Juli 2025 mengalami surplus US$23,65 miliar yang berasal dari surplus sektor nonmigas US$34,06 miliar, sementara sektor migas defisit senilai US$10,41 miliar.

Surplus US$23,65 miliar yang dipicu oleh surplus pada sektor nonmigas US$34,06 miliar sementara sektor migas defisit US$10,41 miliar.

BPS menuturkan 3 negara penyumbang surplus terbesar yakni Amerika Serikat (AS) US$ 10,49 miliar; India sebesar US$ 8,09 miliar dan Filipina US$ 5,11 miliar. Sebagai catatan, AS masih menduduki peringkat pertama penyumbang surplus neraca perdagangan RI jelang penerapan tarif 19% yang dimulai 5 Agustus 2025.

Adapun, AS memang menduduki posisi ketiga sebagai negara tujuan ekspor terbesar RI. Total ekspor AS pada Januari-Juli 2025 mencapai US$17,89 miliar. Ke depan,

Indonesia akan tetap menggenjot ekspor ke AS, meski Negeri Paman Sam menetapkan tarif impor sebesar 19%. Tarif itu tercatat menjadi yang terendah bagi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, pemerintah akan fokus meningkatkan ekspor sejumlah komoditas unggulan ke pasar AS, mulai dari tekstil hingga elektronik. Dia yakin ekspor RI ke AS tetap akan meningkat.

BPS pun mencatat nilai ekspor Indonesia US$ 24,75 miliar pada Juli 2025, atau naik 9,86% dibandingkan Juli 2024

Sementara impor mencapai US$ 20,57 miliar atau turun 5,96% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Maka dari itu, neraca dagang surplus US$ 4,18 miliar per Juli 2025.

4. PMI China September

Pada Selasa (30/2/2025), negeri tirai bambu akan merilis sejumlah data PMI untuk periode September 2025. Sebelumnya, aktivitas manufaktur China menyusut selama lima bulan berturut-turut di bulan Agustus, menunjukkan bahwa para produsen masih menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kesepakatan perdagangan dengan AS sementara permintaan domestik masih lesu.

Indeks manajer pembelian (PMI) resmi naik menjadi 49,4 pada bulan Agustus dibandingkan 49,3 pada bulan Juli, tetap di bawah angka 50 yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi dan meleset dari perkiraan median 49,5 dalam jajak pendapat Reuters.

Perekonomian China menghadapi melemahnya ekspor akibat tarif AS, penurunan sektor properti, meningkatnya ketidakpastian pekerjaan, pemerintah daerah yang terlilit utang besar, dan cuaca ekstrem. Tekanan-tekanan ini mengancam akan menggagalkan target pertumbuhan ambisius Beijing pada tahun 2025 sebesar "sekitar 5%," menurut para ekonom.

Indeks PMI non-manufaktur, yang mencakup sektor jasa dan konstruksi, tumbuh lebih cepat, naik menjadi 50,3 dari 50,1 pada bulan Agustus, menurut Biro Statistik Nasional (NBS).

PMI komposit NBS untuk manufaktur dan non-manufaktur mencapai 50,5 pada bulan Agustus, dibandingkan dengan 50,2 pada bulan Juli.

5. Data Tenaga Kerja Amerika

Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan beberapa data tenaga kerja pada pekan ini.

Laporan JOLTS (Job Openings and Labor Turnover Survey) Amerika Serikat (AS) periode Agustus 2025, akan dirilis pada Selasa (30/9/2025), data pengangguran September dan non-farm payroll Agustus di Jumat (3/10/2025).

Sebelumnya, lowongan pekerjaan di AS turun pada bulan Juli ke level terendah dalam 10 bulan, menambah data lain yang menunjukkan minat terhadap pekerja secara bertahap menurun di tengah meningkatnya ketidakpastian kebijakan.

Lowongan pekerjaan yang tersedia turun menjadi 7,18 juta dari 7,36 juta yang direvisi turun pada bulan Juni, menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja. Estimasi median dalam survei ekonom Bloomberg memperkirakan 7,38 juta lowongan.

Penurunan lowongan pekerjaan didorong oleh sektor perawatan kesehatan, perdagangan ritel, serta pariwisata dan perhotelan. Lowongan di sektor perawatan kesehatan, yang telah menjadi pendorong utama pertumbuhan lapangan kerja tahun ini, turun ke level terendah sejak 2021. Imbal hasil obligasi pemerintah AS turun dan S&P 500 tetap menguat setelah laporan tersebut.

Penurunan lowongan kerja menunjukkan perusahaan menjadi lebih berhati-hati dan selektif dalam perekrutan mereka karena mereka mencoba mengukur dampak kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump terhadap perekonomian. Selain data lowongan kerja, laju perekrutan telah melambat dan membutuhkan waktu lebih lama bagi para penganggur untuk menemukan posisi lain.

Sementara itu, tingkat pengangguran di AS naik menjadi 4,3% pada Agustus 2025 dari 4,2% pada bulan sebelumnya, sejalan dengan ekspektasi pasar dan mencerminkan tingkat pengangguran tertinggi sejak Oktober 2021.

6. Pertemuan OPEC

Pada Rabu (1/10/2025), terdapat pertemuan OPEC yang akan dihadiri oleh beberapa negara-negara anggota komite seperti Aljazair, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Nigeria, dan Venezuela (dari negara-negara OPEC), serta Kazakhstan dan Rusia (dari negara-negara non-OPEC).

Sebelumnya pada pertemuan bulan Juli 2025, diskusi berfokus pada penilaian sejauh mana negara-negara penandatangan perjanjian OPEC+ mematuhi komitmen mereka untuk mengurangi produksi selama Mei dan Juni 2025. Komite mencatat dengan puas bahwa sebagian besar negara peserta terus menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap keputusan yang diambil, tambah sumber tersebut.

Komite memuji upaya berkelanjutan untuk memastikan implementasi ketat penyesuaian produksi dan kompensasi atas kelebihan produksi, menekankan pentingnya kepatuhan penuh terhadap komitmen yang disepakati. Komite juga menekankan bahwa menjaga keseimbangan dan stabilitas pasar minyak internasional bergantung pada kepatuhan dan kohesi kolektif negara-negara OPEC+.

Sebelumnya, OPEC+ telah membalikkan strategi pemangkasan produksi yang dilakukan sejak April dan telah menaikkan kuota sekitar 2,5 juta barel per hari, sekitar 2,4% dari permintaan dunia, untuk meningkatkan pangsa pasar dan di bawah tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan harga minyak.

Namun, kenaikan tersebut gagal menurunkan harga minyak, yang diperdagangkan mendekati $68 per barel akibat sanksi Barat terhadap Rusia dan Iran, sehingga mendorong peningkatan produksi lebih lanjut di negara-negara pesaing seperti Amerika Serikat.

Peningkatan produksi lainnya berarti OPEC+, yang memproduksi sekitar setengah dari minyak dunia, akan mulai mengurangi pemangkasan tahap kedua sekitar 1,65 juta barel per hari, atau 1,6% dari permintaan dunia, lebih dari setahun lebih cepat dari jadwal.

7. PMI AS September

Pada Rabu (1/10/2025), Amerika Serikat (AS) akan merilis PMI Manufaktur AS Global S&P dan PMI Manufaktur AS ISM periode September 2025.

Sebelumnya, PMI Manufaktur AS Global S&P turun ke 52 pada September 2025 dari level tertinggi lebih dari tiga tahun di 53 pada Agustus, sejalan dengan prakiraan pasar, menurut estimasi awal.

Output meningkat selama empat bulan, namun peningkatannya jauh lebih rendah dibandingkan level tertinggi 39 bulan di bulan Agustus.

Kemudian, PMI Manufaktur AS ISM meningkat menjadi 48,7 pada Agustus 2025 dari 48,0 pada Juli, meskipun lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 49,0.

Indeks tersebut menandakan kontraksi selama enam bulan berturut-turut, karena penurunan tajam dalam produksi (47,8 vs. 51,4) hanya sebagian diimbangi oleh rebound dalam pesanan baru (51,4 vs. 47,1).

Ketenagakerjaan terus menurun, meskipun dengan laju yang sedikit lebih lambat (43,8 vs. 43,4). Persediaan pelanggan (44,6 vs. 45,7) dan antrean pesanan (44,7 vs. 46,8) menyusut lebih cepat, menunjukkan kondisi permintaan yang lebih lemah.

Pengukur inflasi harga input turun menjadi 63,7 dari 64,8 tetapi secara keseluruhan tetap tinggi. Responden survei sebagian besar menunjuk tarif sebagai penghambat kondisi bisnis, dengan menyebutkan biaya yang lebih tinggi, gangguan rantai pasokan, dan daya saing yang berkurang.

(saw/saw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular