Newsletter

Pertumbuhan Ekonomi Bikin Kaget: Saatnya IHSG-Rupiah Ikut Tancap Gas?

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
06 August 2025 06:15
Indonesia Kalah Saing, Boleh Iri Dulu Gak Sama Vietnam?
Foto: Infografis/ Indonesia Kalah Saing, Boleh Iri Dulu Gak Sama Vietnam?/ Ilham Restu

Pasar keuangan Tanah Air baik IHSG maupun rupiah terhadap dolar AS diharapkan akan kembali melaju di zona positif usai kabar-kabar baik yang terus menyelimuti pasar keuangan. Usai pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5%, melebihi ekspektasi pasar.

Kabar baik juga datang dari mitra dagang terbesar Indonesia yakni China yang mencatatkan aktivitas sektor jasanya meningkat pada laju tercepat dalam 14 bulan. Adapun data-data ekonomi dari negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS) yang juga akan menghiasi pasar keuangan RI hari ini.

Ekonomi RI Mampu Tumbuh 5,12%

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 menunjukkan peningkatan dan di luar ekspektasi pasar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,12% secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2025. 

Pertumbuhan (yoy) ini adalah yang tertinggi sejak kuartal II-2023 atau delapan kuartal atau dua tahun. Pada periode tersebut ekonomi tumbuh 5,17% (yoy).

Di sisi per kuartal, pertumbuhan kuartal II-2025 yang mencapai 4,04% (qtq) Adalah yang tertinggi sejak kuartal III-2020 (5,03%).

Pertumbuhan ini lebih tinggi dari pada kuartal I-2025, yakni 4,87%. Pertumbuhan ini berada di atas rata-rata, angka psikologi RI, 5%.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud melaporkan ekonomi RI berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 atas dasar harga berlaku adalah Rp5.947 triliun dan atas dasar harga konstan Rp3.396,3 triliun.

"Pertumbuhan triwulan II-2025 bila dibandingkan triwulan II-2024 secara year on year tumbuh 5,12%, bila dibandingkan triwulan 1-2025 qtq tumbuh 4,04%," kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud, dalam rilis BPS, Selasa (5/8/2025).

Adapun, realisasi PDB kuartal II-2025 ini jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi. Konsensus pasar memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal- II 2025 mencapai 4,78% (yoy) dan 3,69% dibandingkan kuartal sebelumnya (qtq).

Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,87% (yoy) dan mengalami kontraksi sebesar 0,98% dibandingkan kuartal sebelumnya (qtq) pada kuartal I-2025.

Pertumbuhan Ekonomi RI Diragukan

Namun sayangnya, kabar baik pertumbuhan ekonomi RI tersebut justru membuat sebagian kalangan ragu atas data yang BPS sajikan.

Kalangan ekonom kompak menyebut angka pertumbuhan itu di luar dugaan dan bahkan ada yang menyebut janggal.

Ekonom yang mengaku terkejut dengan angka itu ialah Kepala Ekonom BCA David Sumual. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis BPS hari ini memang jauh di atas ekspektasi nya yang memperkirakan hanya di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.

"Cukup suprising, tidak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%," kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).

David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021.

"Investasi angkanya sangat akseleratif. Angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi dan investasi memang kami juga expect akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS," ucap David.

Dia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.

Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.

"Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%," tegas Faisal.

Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.

"Cenderung enggak banyak spill over ke domestik pada semester I-2025 ini," ucap Hosianna.

Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.

"Suprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%," tutur Myrdal.

Sementara itu, sejumlah ekonomi dari lembaga think tank, menganggap ada kejanggalan dari data ekonomi kuartal II-2025 ini. Misalnya, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.

Sama seperti David Sumual yang turut mempertanyakan cepatnya pertumbuhan kinerja industri manufaktur, Bhima menyebut angka janggal pertumbuhan itu berlainan dengan data PMI Manufaktur yang malah kini tengah dalam zona pesimis.

Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2, yang berarti berada di zona kontraksi. Ini menjadi bulan keempat berturut-turut PMI berada di bawah ambang ekspansi (50,0), menandakan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.

Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun angka pada Juli menunjukkan sedikit perbaikan, posisi yang masih berada di bawah 50 menandakan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.

"Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI Manufaktur. Ini ada yang janggal," tegas Bhima.

Sementara itu, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% (yoy) pada kuartal II 2025 patut dicermati secara lebih kritis.

Dia menyebut, secara nominal, angka pertumbuhan ini memang di luar ekspektasi karena di kisaran 4,7-5,0%. Bahkan, mampu tumbuh tinggi di atas periode yang memiliki dorongan faktor musiman seperti pada kuartal I-2025 dengan capaian hanya 4,87%.

"Sangat mengejutkan, di luar ekspektasi," tegas Rizal.

Namun, Rizal mengingatkan, jika dilihat dalam konteks historis, capaian ini sebenarnya masih merefleksikan pola pertumbuhan yang masih stagnan sejak pasca-pandemi.

"Artinya, kita tidak menyaksikan lonjakan pertumbuhan struktural, melainkan repetisi siklus musiman yang seringkali terdorong oleh momen Lebaran dan pola konsumsi jangka pendek, tanpa transformasi signifikan di sisi produktif," paparnya.

"Ini menandakan bahwa struktur ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dalam kualitas, meskipun terlihat stabil dalam kuantitas," tegas Rizal.

Pemerintah Sambut Positif Data Ekonomi, Siapkan Stimulus


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto dengan tegas menampik adanya permainan data, terkait dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,12% pada kuartal II-2025 ini.
Mulanya, sejumlah ekonom dari lembaga think tank, menganggap ada kejanggalan dari data ekonomi kuartal II-2025 ini. Bahkan tak sedikit yang menduga, ada permainan data dalam hasil pertumbuhan ekonomi ini.

"Mana ada (permainan data)," ujar Airlangga kepada wartawan saat ditanya adanya dugaan permainan data di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Selasa (5/8/2025).

Airlangga juga mengungkap sederet kebijakan pemerintah yang akan terus diakselerasi implementasinya, untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi 5% tetap terjaga.
Ia mengatakan, berbagai program itu akan direalisasikan untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 yang sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (yoy) bisa berlanjut pada kuartal III maupun kuartal IV-2025.

"Dan memang rencana kita di semester kedua kita targetkan 5,2% bisa tercapai," kata Airlangga saat konferensi pers pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2025 di kantornya, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

PMI Jasa China Capai Tertinggi 14 Bulan

Aktivitas jasa China berekspansi pada laju tercepatnya dalam 14 bulan pada bulan Juli, didorong oleh permintaan yang lebih kuat, termasuk peningkatan pesanan ekspor baru, menurut survei sektor swasta pada hari Selasa (5/8/2025).

PMI Jasa Umum S&P Global China naik menjadi 52,6 pada bulan Juli dari 50,6 pada bulan sebelumnya, menandai laju tercepat sejak Mei tahun lalu. Angka 50 memisahkan ekspansi dari kontraksi.

Hasil survei ini berbeda dengan survei resmi China, yang menunjukkan aktivitas jasa sedikit menurun menjadi 50,0 pada bulan Juli dari 50,1 pada bulan Juni.

PMI S&P dianggap sebagai pembacaan tren yang lebih baik di antara perusahaan-perusahaan kecil yang berorientasi ekspor, terutama di sepanjang pantai timur, sementara PMI resmi terutama melacak perusahaan-perusahaan besar dan menengah, termasuk perusahaan milik negara.

Sementara itu, PMI Komposit Umum China dari S&P turun menjadi 50,8 pada bulan Juli dari 51,3 pada bulan sebelumnya.

Perekonomian China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, melambat lebih lambat dari perkiraan pada kuartal kedua, didorong oleh langkah-langkah kebijakan dan pabrik-pabrik yang memanfaatkan gencatan senjata perdagangan Amerika Serikat (AS)-China untuk mempercepat pengiriman.

Namun, kekhawatiran tetap ada mengenai paruh kedua tahun ini karena momentum ekspor melemah, harga menurun, dan kepercayaan konsumen tetap rendah, sebagian dipengaruhi oleh penurunan pasar properti yang berkepanjangan.

Menurut survei S&P Global, pertumbuhan bisnis baru tercepat dalam setahun terakhir mendukung peningkatan aktivitas menjelang paruh kedua tahun ini. Subindeks pesanan ekspor baru naik untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, didorong oleh aktivitas pariwisata yang lebih kuat dan kondisi perdagangan yang lebih stabil.

Pekan lalu, para pejabat AS dan China sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata tarif 90 hari mereka setelah dua hari perundingan konstruktif di Stockholm.

Survei menunjukkan bahwa setelah mengurangi jumlah staf pada  Juni, penyedia layanan meningkatkan lapangan kerja pada tingkat tercepat sejak Juli 2024, didorong oleh beban kerja yang lebih tinggi dan peningkatan kepercayaan diri. Hal ini menyebabkan akumulasi pekerjaan yang tertunda lebih lambat.

Kenaikan biaya bahan baku, bahan bakar, dan gaji membuat harga input rata-rata berada di wilayah ekspansi pada bulan Juli. Akibatnya, penyedia layanan menaikkan harga jual mereka untuk pertama kalinya dalam enam bulan.

AS Kembali Defisit

Defisit perdagangan Amerika Serikat menyempit menjadi US$ 60,2 miliar pada Juni 2025, merupakan yang terendah sejak September 2023. Angka ini lebih kecil dibandingkan revisi defisit Mei sebesar US$ 71,7 miliar dan juga lebih rendah dari perkiraan pasar sebesar US$ 61,6 miliar.
Ekspor barang dan jasa dari Amerika Serikat turun 0,5% menjadi US$ 277,3 miliar pada Juni 2025, yang merupakan level terendah dalam lima bulan terakhir.

Impor barang dan jasa ke AS turun tajam pada Juni 2025, dengan penurunan sebesar US$ 12,8 miliar atau 3,7% menjadi US$ 337,5 miliar, yang merupakan level terendah sejak Maret 2024. Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya impor barang sebesar US$ 12,6 miliar, menjadi US$ 265,0 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan impor produk farmasi, mobil penumpang, minyak mentah, dan bahan bakar nuklir.

Minggu lalu, Trump, menjelang tenggat waktu yang ditetapkan sendiri pada 1 Agustus, mengeluarkan serangkaian pemberitahuan yang menginformasikan sejumlah mitra dagang tentang pajak impor yang lebih tinggi yang akan dikenakan pada ekspor barang mereka ke AS.

Dengan tarif berkisar antara 10% hingga 41% untuk impor ke AS yang akan mulai berlaku pada 7 Agustus, Laboratorium Anggaran di Yale kini memperkirakan rata-rata tarif AS secara keseluruhan telah melonjak menjadi 18,3%, tertinggi sejak 1934, dari antara 2% dan 3% sebelum Trump kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari.

PMI Komposit Global S&P AS Juli Naik

PMI Komposit Global S&P AS naik menjadi 55,1 pada Juli 2025, melampaui estimasi awal 54,6 dan pembacaan Juni 52,9. Angka terbaru ini menandakan ekspansi bulanan yang kuat dalam aktivitas bisnis, menandai laju pertumbuhan tercepat sejak Desember 2024, terutama didorong oleh sektor jasa, sementara output manufaktur meningkat pada tingkat yang lebih moderat. Pesanan baru tumbuh lebih cepat, mendukung peningkatan moderat dalam lapangan kerja.

Di sisi inflasi, harga jual naik pada tingkat tercepat sejak Agustus 2022, mencerminkan tekanan permintaan yang lebih kuat. Meskipun optimisme berkelanjutan tentang output masa depan, kepercayaan bisnis sedikit melemah, turun ke level terendah dalam tiga bulan.

PMI Jasa AS Stagnan

Aktivitas sektor jasa AS secara tak terduga stagnan di bulan Juli dengan sedikit perubahan dalam pesanan dan pelemahan lebih lanjut dalam ketenagakerjaan, meskipun biaya input naik paling tinggi dalam hampir tiga tahun. Hal ini menggarisbawahi ketidakpastian yang berkelanjutan atas kebijakan tarif pemerintahan Trump terhadap bisnis.

Institute for Supply Management (ISM) pada hari Selasa (5/8/2025), mengatakan indeks manajer pembelian (PMI) non-manufakturnya turun menjadi 50,1 bulan lalu dari 50,8 pada Juni.

Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PMI jasa akan naik menjadi 51,5. Angka PMI di atas 50 menunjukkan pertumbuhan di sektor jasa, yang menyumbang lebih dari dua pertiga perekonomian.

Ekonom mengatakan bisnis terus berjuang untuk menerima tarif agresif yang diberlakukan Presiden Donald Trump terhadap barang-barang impor dari luar negeri. Minggu lalu, Trump, menjelang tenggat waktu yang ditetapkan sendiri pada 1 Agustus, mengeluarkan serangkaian pemberitahuan yang menginformasikan sejumlah mitra dagang tentang pajak impor yang lebih tinggi yang akan dikenakan pada ekspor mereka ke AS.

Dengan tarif berkisar antara 10% hingga 41% untuk impor ke AS yang akan berlaku mulai 7 Agustus, Lab Anggaran di Yale kini memperkirakan rata-rata tarif AS secara keseluruhan telah melonjak menjadi 18,3%, tertinggi sejak 1934, dari antara 2% dan 3% sebelum Trump kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari.

Indeks pesanan baru survei ISM turun menjadi 50,3 bulan lalu dari 51,3 pada bulan Juni, dengan pesanan ekspor kembali mengalami kontraksi untuk keempat kalinya dalam lima bulan.

(saw/saw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular