
OECD & Trump Beri Kabar Pahit Buat RI, Mampukah IHSG - Rupiah Bangkit?

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih bergerak volatile hari ini, seiring dengan rilis data ekonomi yang mengindikasikan pelemahan domestik semakin nyata.
Dari sisi internal, deflasi dalam indeks harga konsumen (IHK), surplus neraca perdagangan yang sangat tipis hingga hampir defisit, serta kontraksi yang masih berlanjut dalam aktivitas manufaktur menjadi sinyal bahwa fundamental ekonomi nasional belum cukup kuat untuk dikatakan pulih sepenuhnya. Adanya insentif ekonomi diharapkan bisa menjadi pendobrak ekonomi.
Sementara dari sisi eksternal, ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali membuat kekhawatiran pelaku pasar secara umum. OECD juga memangkas proyeksi ekonomi global. Satu sentimen positif yang ditunggu pasar adalah pembicaraan
Deflasi April 2025 Secara Bulanan
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk Mei 2025, menunjukkan deflasi sebesar 0,37% secara bulanan (month-on-month/mom).
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, mengonfirmasi bahwa terjadi deflasi di bulan Mei, setelah dua bulan sebelumnya mengalami inflasi. Secara historis, periode Mei 2021-2023 mencatat inflasi karena bertepatan dengan momen Lebaran dan pasca Lebaran, sementara pada Mei 2024 dan Mei 2025 justru mengalami deflasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan deflasi 0,37% secara month to month (mtm) pada Mei 2025 bukan menandakan daya beli masyarakat Indonesia turun.
Menurutnya ini justru efek dari kebijakan pemerintah yang berhasil menjaga harga barang dan jasa.
"Kalau deflasi ini kan kaya kita melakukan diskon transport, ini pasti menimbulkan deflasi, bukan karena masyarakat daya belinya turun, karena pemerintah melalui administered price, pemerintah melalukan intervensi," jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/6/2025).
Deflasi pada Mei adalah yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).
Deflasi ini bisa menjadi kabar buruk ataupun baik. Deflasi pada Mei bisa disebabkan oleh turunnya harga-harga pangan serta hilangnya efek lonjakan pembayaran tarif listrik setelah diskon 50%.
Namun, deflasi juga bisa menjadi kabar buruk karena bisa mencerminkan pelemahan daya beli. Terlebih, Indonesia sudah kerap mencatatkan deflasi pada tahun ini.
Melandainya harga barang bisa dipicu oleh melemahnya permintaan bukan lagi karena harga kembali normal atau pasokan yang mencukupi.
Aktivitas Manufaktur RI Masih Sulit
Aktivitas manufaktur Indonesia kembali menunjukkan kontraksi pada Mei 2025, memperpanjang tren penurunan selama dua bulan berturut-turut.
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis oleh S&P Global pada Senin (2/6/2025) mencatat angka 47,4, menandakan berlanjutnya pelemahan sektor manufaktur. S&P Global mengungkapkan bahwa aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan yang bahkan lebih tajam dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
Lemahnya permintaan pasar dan lebih sedikit permintaan barang sebagai faktor utama dari jebloknya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri juga kembali melemah, meskipun dengan laju yang lebih lambat, terutama ekspor ke Amerika Serikat.
Kondisi permintaan yang lemah ini turut mendorong penurunan lanjutan produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun masih dalam kategori solid, laju penurunan produksi lebih lambat dibanding bulan sebelumnya.
Insentif Tol
Pemerintah mengumumkan lima insentif baru yang akan digelontorkan selama Juni-Juli 2025. Lima paket insentif ini diberikan untuk menopang daya beli masyarakat sekaligus melindungi mereka dari efek guncangan ekonomi global.
Diskon tarif tol 20% akan diberlakukan selama 10 hari saat momen liburan sekolah di bulan Juni-Juli.
"Itu ada 10 hari, kita kasih 20%. Saya nggak hapal detilnya, nanti coba ditanyakan Kepala BPJT," ungkap Dody saat ditemui di Gedung Kementerian PU, Jakarta, Selasa (2/6/2025).
Menurut Hanggodo diskon tarif tol sebesar 20% akan diberikan salah satunya saat libur Idul Adha yaitu pada tanggal 6 Juni 2025.
"Satu di Idul Adha (6 Juni 2025)," imbuhnya.
Kemudian diskon akan diberikan lagi saat awal libur dan di akhir libur sekolah.
"Satunya lagi di awal libur sekolah, dan terakhir saat mau kembali ke sekolah. Jadi total 10 hari, Juni - Juli," sebutnya.
Rusia-Ukraina Makin Memanas
Pada 3 Juni 2025, Dinas Keamanan Ukraina (SBU) melancarkan serangan bawah air terhadap Jembatan Krimea, yang menghubungkan Rusia dengan semenanjung Krimea yang dianeksasi. Dalam operasi yang direncanakan selama beberapa bulan, sekitar 1.100 kilogram bahan peledak diledakkan di bawah permukaan air untuk merusak pilar-pilar penyangga jembatan di Selat Kerch. Ini merupakan serangan ketiga Ukraina terhadap jembatan tersebut sejak perang dimulai pada 2022.
Serangan ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat antara Rusia dan Ukraina, termasuk serangan roket Rusia di kota Sumy yang menewaskan setidaknya tiga warga sipil. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, mengecam serangan tersebut sebagai bukti bahwa Rusia tidak berniat mengakhiri perang.
Sementara itu, dalam perundingan damai di Istanbul, Rusia mengajukan syarat-syarat yang dianggap Ukraina sebagai bentuk penyerahan, termasuk pengakuan atas aneksasi wilayah dan pembatasan kekuatan militer Ukraina. Ukraina menolak syarat-syarat tersebut, menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan dan integritas wilayahnya.
OECD Pangkas Pertumbuhan Global dan Indonesia
Laporan Economic Outlook terbaru dari OECD mengingatkan prospek ekonomi global semakin melemah, dengan hambatan perdagangan yang substansial, kondisi keuangan yang lebih ketat, menurunnya kepercayaan, dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan.
Laporan tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,9% pada 2025 dan tetap di 2,9% pada 2026. Perlambatan ini diperkirakan akan paling terasa di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan China, dengan penyesuaian penurunan yang lebih kecil di negara-negara lain.
Pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat diperkirakan akan turun dari 2,8% pada 2024 menjadi 1,6% pada 2025 dan 1,5% pada 2026. Di kawasan euro, pertumbuhan diperkirakan akan meningkat secara moderat dari 0,8% pada 2024 menjadi 1,0% pada 2025 dan 1,2% pada 2026. Pertumbuhan Tiongkok diproyeksikan melambat dari 5,0% pada 2024 menjadi 4,7% pada 2025 dan 4,3% pada 2026.
Tekanan inflasi telah kembali muncul di beberapa negara. Biaya perdagangan yang lebih tinggi akibat kenaikan tarif di sejumlah negara diperkirakan akan mendorong inflasi lebih tinggi, meskipun dampaknya akan sebagian tertahan oleh melemahnya harga komoditas.
Inflasi utama tahunan di negara-negara G20 secara keseluruhan diperkirakan akan melambat dari 6,2% menjadi 3,6% pada 2025 dan 3,2% pada 2026.
![]() Proyeksi OECD |
OECD juga memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi hanya 4,7% pada tahun ini dan 4,8% pada 2026.
Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan Maret 2025 yakni 4,9% pada 2025 dan 5,0% pada 2026.
Menurut OECD, melemahnya sentimen dunia usaha dan konsumen baru-baru ini akibat ketidakpastian kebijakan fiskal dan tingginya biaya pinjaman akan menekan konsumsi swasta dan investasi pada paruh pertama tahun 2025.
Seiring dengan pelonggaran bertahap kondisi keuangan, inflasi yang tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia, serta mulai meningkatnya belanja investasi publik dari lembaga pengelola dana kekayaan negara yang baru (Danantara), permintaan domestik diperkirakan akan meningkat secara bertahap pada paruh kedua 2025 dan sepanjang 2026.
Namun, meningkatnya ketegangan perdagangan global dan penurunan harga komoditas diperkirakan akan menekan permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.
Inflasi diperkirakan akan meningkat secara bertahap hingga mencapai titik tengah dari kisaran target Bank Indonesia, seiring berakhirnya dampak dari diskon tarif listrik sementara pada awal 2025 dan depresiasi nilai tukar yang mulai berdampak pada harga-harga domestik.
Risiko utama yang bisa men-downrisk ekonomi Indoensia.
- Arus keluar modal yang terus berlanjut, baik akibat ketidakpastian kebijakan global maupun domestik, dapat kembali menekan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya dapat memperlebar defisit transaksi berjalan secara sementara dan memicu inflasi melalui peningkatan biaya impor.
- Perlambatan ekonomi Tiongkok yang lebih besar dari perkiraan - sebagai mitra dagang terbesar Indonesia - juga berpotensi semakin menekan kinerja ekspor, terutama di sektor-sektor komoditas.
Harga Minyak Memanas
Serangan terhadap Jembatan Krimea ini mencerminkan strategi Ukraina untuk melemahkan infrastruktur militer Rusia dan menunjukkan kemampuan operasionalnya dalam menghadapi agresi.
Bersamaan dengan tensi geopolitik yang meningkat, harga minyak dunia juga mengalami kenaikan, baik Brent maupun WTI.
Kenaikan harga minyak dunia cenderung memberikan dampak positif bagi emiten minyak yang tergabung dalam IHSG. Emiten yang berhubungan dengan industri minyak berpotensi meraih peningkatan pendapatan dan keuntungan seiring kenaikan harga jual rata-rata (average selling price/ASP). Selain itu, optimisme investor terhadap sektor energi biasanya mendorong pergerakan saham-saham terkait. Namun, lonjakan harga minyak juga bisa meningkatkan biaya operasional, yang berpotensi menjadi tantangan dalam menjaga profitabilitas.
Survei Lowongan Kerja dan Perputaran Tenaga Kerja (JOLTS) AS Meningkat
Jumlah lowongan pekerjaan pada hari kerja terakhir bulan April tercatat sebesar 7,39 juta, menurut laporan Survei Lowongan Kerja dan Perputaran Tenaga Kerja (JOLTS) yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) pada hari Selasa. Angka ini naik dari 7,2 juta pada bulan Maret dan melebihi ekspektasi pasar yang berada di angka 7,1 juta.
"Selama bulan tersebut, jumlah perekrutan dan total pemisahan tenaga kerja tidak banyak berubah, masing-masing sebesar 5,6 juta dan 5,3 juta. Dalam kategori pemisahan, pengunduran diri (3,2 juta) dan pemutusan hubungan kerja serta pemberhentian (1,8 juta) juga tidak mengalami perubahan signifikan," ungkap BLS dalam siaran persnya.
Usai perilisan data tersebut, indeks dolar AS (DXY) melonjak 0,56% pada 4 Juni 2025 pukul 04:26 WIB ke angka 99,26. Hal ini cukup negatif bagi nilai tukar rupiah yang berpotensi kembali tertekan bahkan berpeluang menyentuh level Rp16.300/US$.
Trump Akan Bertemu dengan Jinping
Presiden Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping kemungkinan akan melakukan pembicaraan pekan ini.
Diskusi yang diharapkan ini muncul setelah serangkaian ketegangan antara Washington dan Beijing yang mengancam akan menggagalkan kesepakatan dagang sementara yang baru saja dicapai oleh dua kekuatan ekonomi besar tersebut beberapa minggu sebelumnya.
Kedua pemimpin tersebut dapat melakukan percakapan langsung "dalam waktu dekat," meskipun kemungkinan tidak hari ini, kata pejabat tersebut dengan syarat anonim.
Indeks pasar saham AS dibuka lebih rendah pada Senin pagi, karena para investor bereaksi terhadap nada pernyataan publik yang semakin konfrontatif antara AS dan Tiongkok.
Perdagangan antara kedua negara - yang sangat bergantung satu sama lain - praktis terhenti pada bulan April, ketika Trump menaikkan tarif menyeluruh atas impor dari Tiongkok hingga 145%, dan Beijing membalas dengan bea masuk balasan yang tinggi. Kedua pihak kemudian sepakat untuk mengurangi sebagian besar tarif tersebut selama 90 hari setelah putaran awal negosiasi dagang di Swiss pada pertengahan Mei.
Namun sejak saat itu, masing-masing negara menuduh pihak lain merusak kesepakatan yang dicapai di Jenewa.
Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Trump menuduh Tiongkok memperlambat ekspor kembali mineral-mineral penting ke Amerika Serikat, sementara Beijing mengecam Washington karena mengeluarkan peringatan agar tidak menggunakan chip buatan Tiongkok.
Trump Kerek Tarif Impor Baja
Presiden Donald J. Trump menandatangani dekrit untuk menaikkan tarif menjadi 50% atas baja dan aluminium. Kebijakan ini diperkirakan akan menimbulkan ketidakpastian global hingga memicu perang tarif berikutnya. Indonesia pun bisa terkena imbas negatif dari ketidakpastian ini.
Dikutip dari laman resmi White house.gov, Presiden Trump mengambil langkah untuk melindungi industri baja dan aluminium yang krusial bagi Amerika, yang telah dirugikan oleh praktik perdagangan yang tidak adil dan kelebihan kapasitas global.
Presiden Trump menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari 25% menjadi 50%, dengan tarif baru tersebut akan berlaku mulai 4 Juni 2025.
Tarif atas impor baja dan aluminium dari Inggris akan tetap sebesar 25%, dengan kemungkinan perubahan atau penetapan kuota mulai 9 Juli 2025, tergantung pada status Kesepakatan Kemakmuran Ekonomi AS-Inggris.
Tarif baja dan aluminium hanya akan berlaku untuk kandungan baja dan aluminium dari produk impor, sementara kandungan produk yang bukan baja dan bukan aluminium akan dikenakan tarif lain yang sesuai.
Presiden Trump menindak tegas deklarasi impor palsu dengan mewajibkan pelaporan yang ketat atas kandungan baja dan aluminium, disertai hukuman berat seperti denda atau pencabutan hak impor bagi pelanggar.
Presiden Trump menjalankan wewenangnya berdasarkan Pasal 232 dari Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962 untuk menyesuaikan impor baja dan aluminium guna melindungi keamanan nasional Amerika Serikat.
Undang-undang ini memberikan wewenang kepada Presiden untuk menyesuaikan impor yang masuk ke Amerika Serikat dalam jumlah atau keadaan yang dapat mengancam atau merusak keamanan nasional.
(rev/rev)