Newsletter

Inflasi Rendah Masih Membayangi, Pasar RI Rawan Terguncang?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
03 January 2025 06:00
Layar menampilkan pergerakan perdagangan saham saat Pembukaan Perdagangan Tahun di Gedunh Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Foto: Layar menampilkan pergerakan perdagangan saham saat Pembukaan Perdagangan Tahun di Gedunh Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (2/1/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak tidak sejalan pada perdagangan di awal tahun 2025. Pasar saham mampu membuka tahun dengan penguatan, tetapi rupiah keok di hadapan dolar Amerika Serikat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup cerah pada akhir perdagangan perdana di 2025 atau perdagangan Kamis (2/1/2025), di tengah sentimen positif yang mulai masuk ke pasar keuangan Indonesia.

IHSG ditutup melesat 1,18% ke posisi 7.163,20. IHSG pun berhasil menyentuh level psikologis 7.100 pada perdagangan perdana di 2025.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 19,8 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 316 saham menguat, 270 saham melemah, dan 210 saham stagnan

Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan hari ini yakni mencapai 1,78%.

Sementara dari sisi saham, emiten perbankan raksasa mendominasi penopang IHSG, dengan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi penopang terbesar dari emiten perbankan raksasa yakni mencapai 19 indeks poin.

Selain itu, adapula emiten energi baru terbarukan (EBT) konglomerasi Prajogo Pangestu yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang juga menopang IHSG sebesar 7,7 indeks poin.

IHSG bergairah di tengah cukup banyaknya sentimen positif dari dalam negeri pada hari ini, mulai dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang hanya berlaku pada barang dan jasa mewah, kemudian data manufaktur yang mulai pulih.

Pemerintah akhirnya mengumumkan penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% hanya untuk barang mewah dan untuk barang sehari-hari yang menjadi kebutuhan masyarakat umum dipastikan tidak terdampak PPN 12%.

Kategori barang mewah yang dimaksud tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 15 tahun 2023. Selain dari item-item yang tercantum dalam PMK nomor 15 tahun 2025, PPN yang berlaku tetap 11% mengacu pada penetapan sejak 2021.

Rincian mengenai jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting (Bapokting) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 (Perubahan Perpres 71 Taun 2015) tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Sebagian besar jenis barang Bapokting telah diberikan fasilitas PPN, perlu perluasan fasilitas untuk yang masih terutang PPN.

Hal ini juga menjadi kabar baik bagi para pelaku usaha karena daya beli masyarakat tidak jadi terbebani oleh kenaikan PPN 12%.

Sementara itu, aktivitas manufaktur Indonesia akhirnya bangkit setelah lima bulan terpuruk.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2 pada Desember 2024. Angka ini memastikan PMI Indonesia kembali ke jalur ekspansif setelah terkontraksi selama lima bulan. Angka PMI ini juga menjadi yang tertinggi sejak tujuh bulan terakhir.

Namun, ada sedikit kabar kurang menggembirakan, di mana Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami inflasi sebesar 1,57% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada 2024. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi terendah sepanjang masa.

Sentimen tersebut juga memengaruhi gerak mata uang Garuda. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami koreksi di awal Januari 2025.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah melemah 0,62% terhadap dolar AS ke posisi Rp 16.190/US$1 pada penutupan perdagangan 2 Januari 2025. Hal ini berbanding terbalik dengan posisi perdagangan hari terakhir 2024, Selasa (31/1/2024) yang menguat sebesar 0,25%.

Jika dilihat secara historis selama 10 tahun terakhir, 80% atau sebanyak delapan kali kejadian rupiah terpantau mengalami pelemahan di awal perdagangan Januari. Bahkan ini keempat kalinya rupiah terdepresiasi di awal tahun yakni pada 2022, 2023, 2024, dan 2025.

Pasar saham mengalami penurunan pada Kamis dalam sesi perdagangan pertama tahun baru yang penuh gejolak, melanjutkan tren negatif dari akhir 2024 ke Januari.

Dow Jones Industrial Average turun 151,95 poin (0,36%) menjadi 42.392,27. S&P 500 melemah 0,22% menjadi 5.868,55. Nasdaq Composite turun 0,16% ke posisi 19.280,79.

S&P 500 dan Nasdaq kini mencatat penurunan lima sesi berturut-turut, tren terburuk sejak April.

Pasar sebenarnya sempat menguat pada awal sesi Kamis, dengan Dow naik lebih dari 300 poin di puncaknya. Namun, penguatan ini berbalik arah pada pertengahan pagi, menyebabkan ayunan intraday Dow lebih dari 700 poin dari tertinggi ke terendah.

Saham Apple turun 2,6%, membebani pasar. Tesla anjlok 6% setelah melaporkan penurunan pengiriman tahunan di 2024. Di sisi lain, Nvidia naik 3%, sedikit menahan dampak penurunan saham teknologi besar lainnya.

Meskipun pasar mencatat kenaikan kuat sepanjang 2024 dengan S&P 500 melonjak 23%, tahun ini diakhiri dengan penurunan selama empat hari berturut-turut, pertama kali terjadi sejak 1966.

"Jika melihat pasar bergerak dua langkah maju, satu langkah mundur, kita sedang berada di fase langkah mundur itu setelah tahun 2024 yang luar biasa. Valuasi dan sentimen cenderung terlalu optimis, jadi pasar sedang mencoba menyesuaikan kondisi ini dalam jangka pendek," ujar Angelo Kourkafas, ahli strategi investasi senior dari Edward Jones, kepada CNBC Internasional.

Penurunan ini juga mengancam potensi "Santa Claus rally", indikator pasar terkenal yang biasanya ditandai dengan kenaikan saham selama lima hari terakhir tahun kalender dan dua hari perdagangan pertama Januari. Secara historis, indeks ini naik rata-rata 1,3% dalam periode tersebut, dengan hasil positif hampir 80% sejak 1950 menurut data Dow Jones.

Imbal hasil obligasi 10-tahun sempat mencapai hampir 4,6% sebelum turun kembali, menambah volatilitas pasar. Suku bunga yang lebih tinggi bisa membuat obligasi menjadi alternatif menarik bagi investor yang khawatir dengan valuasi pasar saham.

"Kalau kita tidak ingin membeli di harga tertinggi sepanjang masa, sekarang kita bisa tetap menghasilkan uang yang baik di instrumen kas. Biarkan di sana, tunggu titik masuk yang lebih baik, dan alokasikan ke saham tertentu," kata Liz Young Thomas, kepala strategi investasi di SoFi, pada program "Halftime Report."

Pasar saham Indonesia mengawali 2025 dengan optimis dan berkahir di zona hijau. Hal ini memberikan harapan bahwa akan terjadai January Effect setelah Santa Claus Rally yang tidak terlaksana pada Desember.

Meskipun pada 2016 - 2020 silam, IHSG pada perdagangan perdana selalu ditutup merah. Namun, selama historis sepuluh tahun terakhir peluang ditutup hijau masih lebih unggul.


Kenaikan pasar saham juga didorong oleh kondisi manufaktur Indonesia yang membaik setelah lima bulan sebelumnya berada di zona kontraksi.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Kamis (2/1/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2 pada Desember 2024. Angka ini memastikan PMI Indonesia kembali ke jalur ekspansif setelah terkontraksi selama lima bulan. Angka PMI ini juga menjadi yang tertinggi sejak tujuh bulan terakhir.

Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).

Terakhir kali Indonesia mencatat kontraksi manufaktur selama lima bulan beruntun adalah pada awal pandemi Covid-19 2020 di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P menjelaskan PMI Indonesia akhirnya kembali ekspansif ditopang oleh produksi dan pesanan baru yang lebih tinggi.

Kenaikan pesanan ini terjadi di tengah laporan mengenai kondisi permintaan yang lebih positif dan optimisme terhadap masa depan. Tak hanya itu, perusahaan juga kini menambah staf serta meningkatkan aktivitas pembelian mereka.

Kenaikan inventaris juga terlihat karena para produsen memandang adanya perbaikan pertumbuhan di masa datang pada 2025.

Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, mengatakan kembali ekspansifnya PMI Indonesia pada Desember adalah kabar baik.

Permintaan pasar secara umum dilaporkan lebih kuat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, volume pesanan ekspor baru akhinya naik untuk pertama kalinya dalam hampir setahun meskipun sedikit.

Para produsen memenuhi kebutuhan produksi dan pesanan baru yang lebih tinggi dengan meningkatkan aktivitas pembelian mereka untuk bulan kedua berturut-turut.

Pertumbuhan produksi solid bahkan menjadi yang terbaik sejak Mei dan digunakan tidak hanya untuk mendukung kebutuhan saat ini tetapi juga untuk membangun stok.

Di sisi lain, pergerakan pasar hari ini juga masih akan dipengaruhi oleh rilis inflasi yang telah diumumkan kemarin. 

Inflasi Indonesia tercatat sebesar 1,57% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2024. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi terendah sepanjang masa.

Secara bulanan, angka inflasi Desember 2024 tercatat melonjak mencapai 0,44% (month on month/mtm). Inflasi ini disebabkan oleh peningkatan permintaan barang dan jasa menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Data aktual yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini tak jauh berbeda dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi yang memperkirakan IHK akan naik atau mengalami inflasi secara bulanan sebesar 0,47%. Sementara secara tahunan inflasi diproyeksi akan menembus 1,61%.

Meskipun rendah, inflasi di Indonesia menunjukkan sinyal kurang baik. Sebab terjadi penurunan daya beli sehingga menjadi alasan rendahnya angka inflasi bahkan menjadi yang terendah sejak BPS merilis angka inflasi padahal tidak terdapat pandemi yang membuat kelumpuhan ekonomi domestik.

Tingkat daya beli yang melemah juga menjadi faktor rendahnya angka inflasi Indonesia di 2024.

Hal ini diindikasikan dengan angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI bahwa rata-rata IKK Januari-November 2024 yakni sebesar 124,2. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2023 yang sebesar 124,4.

Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengutarakan bahwa dampak Natal dan Tahun Baru/Nataru & libur sekolah ke konsumsi masyarakat & pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih terbatas dibandingkan tahun lalu.

Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan beruntun (mtm) pada Mei-September 2024, sebuah kondisi yang belum pernah dialami Indonesia sejak 1999. Panjangnya deflasi bahkan melebihi pada periode awal pandemi 2020 (tiga bulan beruntun).

Deflasi ini menjadi salah satu faktor utama dari rendahnya inflasi tahunan di akhir 2024.

Selain karena terjaganya harga bahan pangan, melemahnya daya beli disinyalir menjadi salah satu alasan rendahnya inflasi pada 2024.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus mengalami lonjakan bulan demi bulan. Banyaknya PHK ini membuat pendapatan sebagian orang berkurang bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, kemampuan untuk membeli barang semakin berkurang sehingga konsumsi berkurang. Dengan permintaan yang turun maka harga barang pun ikut turun.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena PHK selama periode Januari hingga awal Desember 2024.

Selain itu, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 atau setara 21,45% dari total penduduk menjadi 48,27 juta jiwa pada 2023 atau setara 17,13%.

Penurunan sebesar 18,8% atau sekitar 9,06 juta jiwa ini memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional, khususnya dalam penyerapan produk atau konsumsi.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular