Newsletter

Inflasi Rendah Masih Membayangi, Pasar RI Rawan Terguncang?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
03 January 2025 06:00
Harga cabai masih menjadi komoditas yang mengalami kenaikan pada Jumat (1/12). Harga cabai merah dan cabe rawit telah mengalami kenaikan dari beberapa minggu lalu.
Foto: Harga cabai masih menjadi komoditas yang mengalami kenaikan pada Jumat (1/12). Harga cabai merah dan cabe rawit telah mengalami kenaikan dari beberapa minggu lalu. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pasar saham Indonesia mengawali 2025 dengan optimis dan berkahir di zona hijau. Hal ini memberikan harapan bahwa akan terjadai January Effect setelah Santa Claus Rally yang tidak terlaksana pada Desember.

Meskipun pada 2016 - 2020 silam, IHSG pada perdagangan perdana selalu ditutup merah. Namun, selama historis sepuluh tahun terakhir peluang ditutup hijau masih lebih unggul.


Kenaikan pasar saham juga didorong oleh kondisi manufaktur Indonesia yang membaik setelah lima bulan sebelumnya berada di zona kontraksi.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Kamis (2/1/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2 pada Desember 2024. Angka ini memastikan PMI Indonesia kembali ke jalur ekspansif setelah terkontraksi selama lima bulan. Angka PMI ini juga menjadi yang tertinggi sejak tujuh bulan terakhir.

Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).

Terakhir kali Indonesia mencatat kontraksi manufaktur selama lima bulan beruntun adalah pada awal pandemi Covid-19 2020 di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P menjelaskan PMI Indonesia akhirnya kembali ekspansif ditopang oleh produksi dan pesanan baru yang lebih tinggi.

Kenaikan pesanan ini terjadi di tengah laporan mengenai kondisi permintaan yang lebih positif dan optimisme terhadap masa depan. Tak hanya itu, perusahaan juga kini menambah staf serta meningkatkan aktivitas pembelian mereka.

Kenaikan inventaris juga terlihat karena para produsen memandang adanya perbaikan pertumbuhan di masa datang pada 2025.

Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, mengatakan kembali ekspansifnya PMI Indonesia pada Desember adalah kabar baik.

Permintaan pasar secara umum dilaporkan lebih kuat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, volume pesanan ekspor baru akhinya naik untuk pertama kalinya dalam hampir setahun meskipun sedikit.

Para produsen memenuhi kebutuhan produksi dan pesanan baru yang lebih tinggi dengan meningkatkan aktivitas pembelian mereka untuk bulan kedua berturut-turut.

Pertumbuhan produksi solid bahkan menjadi yang terbaik sejak Mei dan digunakan tidak hanya untuk mendukung kebutuhan saat ini tetapi juga untuk membangun stok.

Di sisi lain, pergerakan pasar hari ini juga masih akan dipengaruhi oleh rilis inflasi yang telah diumumkan kemarin. 

Inflasi Indonesia tercatat sebesar 1,57% secara tahunan (year on year/yoy) pada 2024. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi terendah sepanjang masa.

Secara bulanan, angka inflasi Desember 2024 tercatat melonjak mencapai 0,44% (month on month/mtm). Inflasi ini disebabkan oleh peningkatan permintaan barang dan jasa menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Data aktual yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini tak jauh berbeda dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi yang memperkirakan IHK akan naik atau mengalami inflasi secara bulanan sebesar 0,47%. Sementara secara tahunan inflasi diproyeksi akan menembus 1,61%.

Meskipun rendah, inflasi di Indonesia menunjukkan sinyal kurang baik. Sebab terjadi penurunan daya beli sehingga menjadi alasan rendahnya angka inflasi bahkan menjadi yang terendah sejak BPS merilis angka inflasi padahal tidak terdapat pandemi yang membuat kelumpuhan ekonomi domestik.

Tingkat daya beli yang melemah juga menjadi faktor rendahnya angka inflasi Indonesia di 2024.

Hal ini diindikasikan dengan angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI bahwa rata-rata IKK Januari-November 2024 yakni sebesar 124,2. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2023 yang sebesar 124,4.

Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana mengutarakan bahwa dampak Natal dan Tahun Baru/Nataru & libur sekolah ke konsumsi masyarakat & pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih terbatas dibandingkan tahun lalu.

Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan beruntun (mtm) pada Mei-September 2024, sebuah kondisi yang belum pernah dialami Indonesia sejak 1999. Panjangnya deflasi bahkan melebihi pada periode awal pandemi 2020 (tiga bulan beruntun).

Deflasi ini menjadi salah satu faktor utama dari rendahnya inflasi tahunan di akhir 2024.

Selain karena terjaganya harga bahan pangan, melemahnya daya beli disinyalir menjadi salah satu alasan rendahnya inflasi pada 2024.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus mengalami lonjakan bulan demi bulan. Banyaknya PHK ini membuat pendapatan sebagian orang berkurang bahkan hilang sama sekali. Dengan demikian, kemampuan untuk membeli barang semakin berkurang sehingga konsumsi berkurang. Dengan permintaan yang turun maka harga barang pun ikut turun.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena PHK selama periode Januari hingga awal Desember 2024.

Selain itu, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 atau setara 21,45% dari total penduduk menjadi 48,27 juta jiwa pada 2023 atau setara 17,13%.

Penurunan sebesar 18,8% atau sekitar 9,06 juta jiwa ini memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional, khususnya dalam penyerapan produk atau konsumsi.

(ras/ras)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular