
Penuh Tantangan, Selamat Berjuang Mati-matian di 2025

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2024 menghadapi berbagai tekanan khususnya pada kuartal IV. Tekanan terhadap rupiah tampak masih akan hadir di 2025 di tengah ketidakpastian global yang masih akan menjadi sentimen disepanjang tahun ini.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah secara year to date/ytd (akhir Desember 2023 hingga akhir Desember 2024) sebesar 4,51% di angka Rp16.090/US$. Depresiasi ini terjadi mengingat performa rupiah secara bulanan yakni pada Oktober, November, dan Desember 2024 terpantau melemah secara konsisten masing-masing sebesar 3,67%, 0,96%, dan 1,58%.
Anjloknya rupiah ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan rencana Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2024 yang memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp15.510/US$.
Sementara jika dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, asumsi makro nilai tukar rupiah yang ditetapkan pemerintah yakni sebesar Rp15.000/US$.
Hantaman Terhadap Rupiah di 2024
Rupiah secara umum tertekan disepanjang semester I-2024 dan kuartal IV-2024. Hal ini terjadi bersamaan dengan indeks dolar AS (DXY) yang melonjak di momen tersebut.
Di awal Januari 2024, rupiah terkoreksi akibat dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Dari eksternal, faktor terkuat adalah masih kencangnya data ekonomi AS mulai dari inflasi hingga ketenagakerjaan yang di atas ekspektasi pasar.
Sebagai catatan, AS melaporkan ekonomi mereka tumbuh sebesar 3,3% (year on year/yoy)pada kuartal IV-2023. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi 2% dari para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang menggarisbawahi berlanjutnya ketahanan ekonomi meskipun ada kenaikan suku bunga dari bank sentral AS (The Fed).
Lebih lanjut, data PMI Manufaktur Flash AS yang naik lebih tinggi dari konsensus dan periode satu bulan sebelumnya, yakni dari 47,9 menjadi 50,3.
Sedangkan, PMI Composite AS pada Januari 2024 secara flash menunjukkan ada kenaikan PMI dari 50,9 menjadi 52,3 dan lebih tinggi dari perkiraan yang proyeksi turun ke posisi 50,3.
Nilai PMI manufaktur di atas 50, menunjukkan kondisi manufaktur AS di fase ekspansif.
Data PMI menjadi hal yang penting karena semakin tingginya PMI, maka aktivitas manufaktur AS akan bergerak cukup panas dan berpotensi membuat inflasi semakin sulit dikendalikan.
Kemudian pada April, rupiah mengalami overshoot khususnya pasca libur Lebaran 2024 karena inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% yoy pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti di luar makanan dan energi tercatat stagnan di angka 3,8%. Selain itu data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.
Depresiasi rupiah terjadi setelah Presiden Terpilih Donald Trump memenangkan kontestasi politik melawan Kamala Harris.
Hal ini memicu potensi inflasi yang lebih tinggi mengingat Trump berupaya akan mengenakan tarif kepada barang impor yang masuk ke AS. Hal ini berujung pada potensi pemangkasan suku bunga The Fed di 2025 yang semakin sulit dilakukan.
Ketua Pengurus/Direktur Utama Dana Pensiun BI Iuran Pasti (DAPENBI IP), Nanang Hendarsah menyebutkan empat kebijakan Trump terkait pengetatan aturan perdagangan yang bisa memicu perang tarif impor, kebijakan fiskal yang longgar, kebijakan durasi pertambangan, dan kebijakan imigrasi diwaspadai pasar karena bisa menimbulkan ketidakpastian dan mengancam ekonomi dunia.
Ketika hal ini terjadi, maka DXY berpotensi kembali menanjak dan rupiah terus tertekan.
Peluang The Fed Pangkas Suku Bunga di 2025 Berkurang, Rupiah Sulit Bangkit?
Dalam rilis laporan The Fed pada Summary of Economic Projections (SEP) Desember 2024 menunjukkan bahwa The Fed diproyeksikan hanya memangkas suku bunga sebanyak 50 basis poin/bps dari yang sebelumnya diperkirakan sebanyak 100 bps. Istilah ini yang dikenal sebagai 'hawkish cut'.
![]() Sumber: The Fed |
survei CME FedWatch Tool menunjukkan ekspektasi pelaku pasar terhadap suku bunga The Fed tahun ini terjadi dua kali pemangkasan dengan rincian satu kali terjadi pada semester I dan satu kali terjadi pada semester II-2025.
Sebagai informasi, suku bunga The Fed saat ini berada direntang 4,25-4,50%. Artinya jika benar terjadi pemangkasan suku bunga sebanyak dua kali, maka suku bunga The Fed akan berada di angka 3,75-4,00%.
![]() Sumber: CME FedWatch Tool |
Trump Picu Outflow & Strong Dolar?
Kebijakan Trump yang pro ekonomi dalam negeri diperkirakan akan kembali menarik modal yang ditanam investor di Emerging Markets dan dibawa kembali ke AS. Kondisi ini bisa memicu outflow dari Indonesia sehingga rupiah pun terancam melemah.
Kondisi ini bahkan sudah diwanti-wanti oleh Gubernur BI Perry Warjiyo. Dalam berbagai kesempatab, Perry mengkhawatirkan adanya outflow setelah Trump dilantik. Perry juga mengingatkan adanya potensi strong dolar. Kenaikan dolar serta meningkatnya US Treasury memicu derasnya aliran modal asing ke AS.
"Itulah preferensi yang berkembang di investor global . Akibatnya, pelarian dari Emerging Markets ke AS karena kuatnya dolar," papar Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) pada hari ini,29 November 2024.
Fenomena strong dollar ini sudah sangat terasa sejak Trump menang pilpres pada 5 November 2024. Indeks dolar (DXY) pada hari ini, Senin (13/1/2025) bahkan kini ada di level 109,64 atau tertingginya dalam setahun terakhir.
Kenaikan Tarif China Ancam Rupiah
Asia menjadi salah satu wilayah yang bisa dirugikan oleh kebijakan tarif Trump. Khususnya kenaikan tarif impor barang China ke wilayah AS.
Perang dagang di sektor teknologi antara AS dan China terus berlanjut dan memanas jelang akhir pemerintahan Presiden Joe Biden.
Saat berkampanye, Trump kerap mengatakan akan menaikkan 60% tarif impor ke barang China dan 10-20% ke negara-negara lainnya.
Tarif impor sendiri merujuk ke pajak atas barang impor tetapi tidak dibayarkan oleh negara pengekspor. Tarif AS akan dibayarkan oleh perusahaan yang ingin mengimpor produk ke negara tersebut, sehingga meningkatkan biaya mereka.
MengutipAl-Jazeera, Oxford Economics, sebuah firma konsultan, memperkirakan bahwa Asia non-China akan mengalami penurunan ekspor dan impor masing-masing sebesar 8% dan 3% berdasarkan versi paling konservatif dari rencana Trump.
Analis di London School of Economics and Political Science telah memperkirakan bahwa tarif Trump akan menyebabkan penurunan PDB China sebesar 0,68%, di mana ini juga akan berimbas ke kerugian PDB masing-masing sebesar 0,03% dan 0,06% untuk India dan Indonesia.
Kenaikan tarif barang-barang impor yang masuk ke AS ini berdampak pada devaluasi mata uang yuan agar dapat bersaing di pasar ekspor internasional.
Hal ini dapat berdampak bagi Indonesia yang juga merupakan negara eksportir untuk melemahkan mata uangnya. Ada tendensi ketika rupiah dipaksa untuk menguat, maka secara cost-benefit analysis, hal ini cenderung akan lebih merugikan banyak pihak.
Proyeksi Rupiah 2025, Ada Harapan Menguat?
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi (average) memperkirakan rupiah berada di angka Rp15.928/US$. Sementara secara median, 12 institusi memperkirakan rupiah berada di angka Rp16.027/US$ pada 2025.
Hal tersebut bukan tanpa alasan karena kondisi global masih cukup sulit bersamaan dengan ketidakpastian yang menyelimuti.
Maka dari itu, pemeritah dan Bank Indonesia (BI) perlu turut serta untuk saling berkolaborasi agar dapat memitigasi risiko dan mengurangi potensi terjadinya volatilitas yang tinggi rupiah disepanjang 2025.
(mae)