Newsletter

Kabar Genting dari AS 'Hantui' Pasar RI, Awas IHSG-Rupiah Rungkad

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
Selasa, 13/08/2024 06:00 WIB
Foto: Pegawai berjalan dibawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (6/8/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Akan rilis inflasi produsen AS yang dapat menentukan arah kebijakan moneter The Fed
  • Ketegangan geopolitik di timur tengah buat pasar masih dibayangi ketidakpastian dan risiko
  • Harga batu bar ayang menguat dapat jadi booster bagi harga saham emiten batu bara

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia beda arah pada perdagangan pertama pekan yang penuh dengan agenda dan sentimen penting. Saat pasar saham menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah.

Pekan ini pasar keuangan dibanjiri oleh berbagai sentimen penting. Dimulai dari hari ini akan ada pengumuman inflasi produsen Amerika Serikat. Bagaimana proyeksi inflasi produsen AS dan bagaimana dapat memengaruhi pasar akan diulas di halaman ketiga.

Kembali ke performa pasar keuangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,56% ke posisi 7.297,62 pada akhir sesi perdagangan Senin (12/8/2024). IHSG masih bertahan di level psikologis 7.200. Namun, indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut sudah mendekati level psikologis 7.300.

IHSG menempati peringkat empat dengan performa terbaik di kawasan Asia Tenggara pada perdagangan Senin (11/8/2024). Kinerja bursa saham Indonesia lebih baik ketimbang hasil indeks saham Singapura Straits Times Index STI yang nelangsa, tepatnya turun 0,81%. Sementara juara di kawasan adalah VN-Index Vietnam yang melompat 1,27% dalam sehari.

Nilai transaksi indeks pada akhir perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 6,8 triliun dengan melibatkan 16 miliar lembar saham yang diperdagangkan sebanyak 933.779 kali. Sebanyak 337 saham terapresiasi, 206 saham terdepresiasi, dan 249 saham cenderung stagnan.

Terpantau ada lima sektor yang penguatannya cukup kencang, yakni sektor energi menjadi yang teratas dan juga menjadi penopang terbesar IHSG yakni mencapai 3,23%. Kemudian sektor teknologi sebesar 2,26%, konsumer non-primer sebesar 1,23%, bahan baku sebesar 1,13%, dan industri sebesar 1,05%.

Sektor energi yang melompat disokong oleh harga saham emiten produsen batu bara. Ada 11 emiten batu bara dengan nilai kapitalisasi pasar jumbo yang bertengger di zona positif.

Kenaikan harga saham emiten batu bara terjadi di tengah terbangnya harga batu bara pada akhir pekan lalu. Harga batu bara melesat 3,26% sepanjang pekan lalu dan menyentuh harga tertinggi dalam delapan bulan terakhir atau sejak Desember 2023.

Sementara pada akhir pekan lalau, melansir Refinitiv, harga batu bara ICE Newscastle kontrak September berakhir di posisi US$ 150,5 per ton, melesat 1,01%, sekaligus melanjutkan penguatan selama delapan hari beruntun.

Penguatan akhir pekan lalu juga membuat harga batu bara mencetak dua rekor sekaligus. Rekor pertama adalah harga tertinggi sepanjang tahun ini. Bilai dilihat lebih jauh, harga batu bara kemarin menjadi yang tertinggi sejak 7 Desember 2023.

Sedangkan rekor kedua adalah penguatan tujuh hari beruntun. Ini adalah pencapaian terbaik sejak awal Maret 2024 di mana harga batu bara menguat 11 hari beruntun.

Harga batu bara yang melesat seiring dengan harga gas Eropa yang tetap tinggi ditengarai para pelaku pasar tengah mempertimbangkan implikasi serangan Ukraina ke Rusia barat daya.

Di sisi lain, Mata Uang Garuda ditutup melemah pada perdagangan kemarin (12/8/2024). Hal ini terjadi karena adanya prediksi indeks harga konsumen (IHK) AS secara bulanan (month on month/MoM) mengalami kenaikan.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di harga Rp15.950/US$ melemah 0,19% dari harga closing pekan lalu (9/8/2024). Pelemahan ini merupakan rekor terbesar setidaknya sejak 26 Juli 2024.

Pelemahan rupiah ini merupakan dampak dari tekanan DXY yang menguat akibat prediksi kenaikan inflasi bulanan AS.

Dilansir dari Trading Economics, prediksi konsensus inflasi bulanan AS akan naik menjadi 0,2% setelah sebelumnya mengalami deflasi 0,1% MoM. Sedangkan untuk inflasi intinya naik dari 0,1% menjadi 0,2% MoM.

Inflasi tahunan AS berbanding terbalik dengan inflasi bulanannya. Inflasi tahunan AS diprediksi melandai menjadi 2,9% setelah sebelumnya berada di 3% year on year/YoY. Untuk inflasi intinya juga melandai dari 3,3% menjadi 3,2% YoY.

Hal tersebut penting diperhatikan karena akan memengaruhi probabilitas pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed). Semakin landai pergerakan inflasi AS maka akan semakin besar kemungkinan terjadi pemangkasan suku bunga pada pertemuan September nanti.


(ras/ras)
Pages