Banyak Kabar Buruk dari AS: Hati-Hati! IHSG & Rupiah Bisa Rontok Lagi
- Pasar keuangan Tanah Air terpantau merana pada perdagangan Rabu kemarin, cenderung mengikuti pasar keuangan Asia-Pasifik yang juga terpantau merana kemarin.
- Wall Street anjlok berjamaah karena ambruknya saham-saham teknologi
- Sentimen hari ini masih relatif sepi baik dari dalam ataupun luar negeri
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air ditutup merana pada perdagangan kemarin Rabu (29/5/2024) kemarin cenderung mengikuti pasar keuangan Asia-Pasifik yang juga terpantau merana kemarin.
Pasar keuangan hari ini diperkirakan masih akan tertekan karena banyaknya sentimen negatif dari Amerika Serikat (AS). Selengkapnya mengenai sentimen hari ini bisa dibaca pada halaman 4 artikel ini. Kami juga memberikan analisa mendalam mengenai faktor ambruknya saham dan rupiah pada perdagangan kemarin pada halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin ditutup ambruk 1,56% ke posisi 7.140,23. IHSG pun kembali menyentuh level psikologis 7.100, setelah pada Selasa lalu berhasil bangkit ke level psikologis 7.200.
Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 13 triliun dengan melibatkan 16miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak186saham naik,364 saham turun, dan 235 saham cenderung stagnan.
Aksi jual (net sell)investor asing pada perdagangan kemarin kembali meningkat yakni mencapai Rp Rp 1,65 triliun di pasar reguler. Padahal pada Selasa lalu, net sell asing sempat berkurang menjadi 569,12 miliar di pasar reguler.
Secara sektoral, sektor infrastruktur dan teknologi menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan kemarin, yakni masing-masing mencapai 2,28% dan 2,19%.
Sedangkan di bursa Asia-Pasifik kemarin, secara mayoritas juga melemah. Hanya Shanghai Composite China dan Taiwan Weighted Index (TAIEX) yang berhasil ditutup di zona hijau kemarin.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 16.155/US$ di pasar spot, melemah 0,44%.
Rupiah tidak sendirian, semua mata uang utama Asia terpantau melemah di hadapan The Greenback kemarin, di mana peso Filipina menjadi yang paling parah koreksinya.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Rabu kemarin.
Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali mengalami kenaikan.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 3,6 basis poin (bp) menjadi 6,932%. Yield SBN 10 tahun makin mendekati level 7% kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.
Salah satu penyebab ambruknya pasar keuangan Indonesia kemarin yakni melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury), di mana yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik 5,6 basis poin (bp) menjadi 4,598%.
Kenaikan yield Treasury ini terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam dan mencerna lelang obligasi lima tahun yang buruk.
Selain itu, membaiknya kepercayaan konsumen Negeri Paman Sam juga menjadi sentimen negatif bagi Indonesia. Indeks kepercayaan konsumen (IKK) AS naik pada Mei menjadi 102, dari 97,5 pada bulan sebelumnya.
Keyakinan konsumen yang meningkat menunjukkan daya beli masyarakat AS masih kuat di tengah kekhawatiran inflasi dan era suku bunga tinggi. Hal ini bisa memicu kebijakan hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berlanjut.
Adapun inflasi AS saat ini berada di angka 3,4% (year-on-year/yoy). Angka ini memang lebih rendah dibandingkan kenaikan pada Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy.
Namun demikian, inflasi AS ini masih jauh di atas target The Fed yakni di angka 2%. Oleh karena itu, kebijakan higher for longer masih akan menjadi keputusan The Fed setidaknya dalam jangka waktu dekat.
Tidak sampai di situ, pelaku pasar juga masih bersikap wait and see data inflasi PCE yang akan dirilis pekan ini. Data ini menjadi penting mengingat PCE akan menggambarkan kondisi ekonomi AS sebagai acuan kebijakan The Fed ke depan juga.
(chd/chd)