NEWSLETTER

Banyak Kabar Buruk dari AS: Hati-Hati! IHSG & Rupiah Bisa Rontok Lagi

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
30 May 2024 06:00
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar hari ini. Ambruknya Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa saham Indonesia. Masih dersnya capital outflow serta tingginya imbal hasil US Treasury dan menguatnya indeks dolar juga bisa menjadi kabar buruk bagi IHSG dan rupiah. 

Untuk IHSG, ada beberapa penyebab indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ambruk hingga lebih dari 1,5%. Berikut beberapa penyebabnya.

1. Saham BREN Sentuh ARB Akibat Diterapkannya Full Call Auction (FCA)

Salah satunya yakni terkait saham emiten energi baru dan terbarukan (EBT) milik konglomerat Prajogo Pangestu yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), yang resmi menggunakan skema perdagangan full call auction (FCA) setelah suspensinya kembali dibuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Penerapan FCA di perdagangan saham BREN membuat saham tersebut terpaksa harus menyentuh auto reject bawah (ARB) sejak awal perdagangan sesi I hingga akhir perdagangan kemarin.

Sebelumnya, BEI mengonfirmasi saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) akan masuk pada papan pemantauan khusus menyusul suspensi yang berlangsung lebih dari sehari.

Dalam FCA, investor BREN tak lagi mengamati bid offer sebagaimana perdagangan saham biasa. Fitur yang disajikan bursa hanya Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV).

Sejatinya saham BREN telah digembok BEI sejak sesi pertama Senin hingga Selasa (27-28 Mei) Kebijakan ini diambil menyusul peningkatan harga kumulatif yang signifikan terhadap saham milik konglomerat Prajogo Pangestu.

BEI sebelumnya telah melakukan suspensi saham BREN pada Jumat (3/5/2024), tetapi hanya bersifat cooling down dari peningkatan signifikan. Saham kembali dibuka pada Senin (6/5/2024).

Dalam Poin III.1.10 Peraturan BEI I-X tertera aturan bahwa Perusahaan Tercatat akan ditempatkan pada Papan Pemantauan Khusus apabila dikenakan penghentian sementara perdagangan Efek selama lebih dari 1 (satu) Hari Bursa yang disebabkan oleh aktivitas perdagangan.

Dengan demikian maka BREN akan keluar dari Papan Utama, dan berpindah dalam Papan Pemantauan Khusus untuk sementara waktu. Saham BREN pun mendapatkan 'tato' atau notasi khusus X.

Setidaknya dalam hampir sebulan terakhir, BREN menjadi penggerak utama IHSG, sehingga jika saham BREN terus ambruk hingga menyentuh ARB, maka kinerja IHSG bisa semakin memburuk. Apalagi, jika notasi khusus yang melekat di saham BREN tidak kunjung dilepas, maka kemungkinan saham BREN akan menjadi beban IHSG dalam beberapa hari terakhir.

 2. Saham Perbankan Masih Dilego Asing

Menurut Head of Equity Trading Mitra Andalan Sekuritas (Mitra Pemasaran Mandiri Sekuritas), Arwendy Rinaldi Moechtar, IHSG yang ambruk parah kemarin disebabkan karena asing masih melepas saham perbankan raksasa dalam jumlah yang besar, membuat saham-saham perbankan raksasa kembali merana dan turut membebani IHSG.

Aksi jual asing di saham perbankan raksasa terjadi karena rasio non-perfoming loan (NPL) perbankan cenderung sedikit terpengaruh dengan berakhirnya restrukturisasi kredit masa pandemi Covid-19 pada 31 Maret 2024.

Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh debitur terutama pelaku UMKM. Stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan counter cyclical dan merupakan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.

 

Sementara itu di rupiah, ada beberapa penyebab yang membuat mata uang Garuda kembali merana. Berikut penyebabnya.

1. Risalah The Fed Tunjukkan Kekhawatiran

The Fed telah merilis hasil Federal Open Meeting Committee (FOMC) minutes pada pekan lalu, yang menunjukkan kekhawatiran dari para pengambil kebijakan tentang kapan saatnya untuk melakukan pelonggaran kebijakan.

Pertemuan tersebut menyusul serangkaian data yang menunjukkan inflasi masih lebih tinggi dari perkiraan para pejabat The Fed sejak awal tahun ini. Sejauh ini, The Fed masih menargetkan inflasi melandai 2%.

"Para pejabat mengamati bahwa meskipun inflasi telah menurun selama setahun terakhir, namun dalam beberapa bulan terakhir masih kurang ada kemajuan menuju target 2%" demikian isi risalah The Fed.

Risalah juga menjelaskan bahwa "Sebagian pejabat menyatakan kesediaan-nya untuk memperketat kebijakan lebih lanjut guna mengatasi risiko inflasi yang masih panas".

Untuk diketahui, inflasi konsumen (CPI) AS saat ini berada di posisi 3,4% year on year/yoy pada April 2024 atau lebih rendah dibandingkan periode Maret 2024 yang berada di angka 3,5% yoy.

2. Pidato Pejabat The Fed Belum Indikasikan Kepastian

Menurut Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari mengatakan bahwa dia ingin melihat data "berbulan-bulan lagi" yang menunjukkan penurunan inflasi sebelum menurunkan suku bunga.

Dia juga mengatakan tidak akan mengesampingkan kenaikan suku bunga lebih lanjut jika tekanan harga kembali meningkat.

Gubernur Fed Christopher Waller mengatakan kepada Peterson Institute for International Economics di Washington, pada hari Selasa, ia perlu melihat data inflasi yang baik selama beberapa bulan lagi sebelum ia merasa nyaman mendukung pelonggaran kebijakan moneter.

Selain itu, Ketua Fed Atlanta Raphael Bostic juga berbicara untuk tidak menurunkan suku bunga terlalu cepat.

Hal ini pada akhirnya tercermin terhadap ekspektasi penurrunan suku bunga The Fed melalui perangkat CME FedWatch yang saat ini menunjukkan first cut rate terjadi pada November 2024 sebesar 25 basis poin (bps).

CMEFoto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool

 

3. Data Ekonomi AS Masih Cukup Kuat

Selain data inflasi, beberapa data ekonomi AS lainnya yang justru makin kuat membuat pasar keuangan RI kembali merana. Hal ini karena jika ekonomi AS semakin membaik, maka asing cenderung tidak khawatir kembali untuk berinvestasi di AS.

Salah satunya yakni Kondisi manufaktur AS terpantau mengalami penguatan ditandai oleh PMI Manufaktur AS Global S&P naik menjadi 50,9 pada Mei 2024, meningkat dari 50 pada bulan April.

Angka tersebut menandakan sedikit perbaikan secara keseluruhan pada kondisi bisnis di sektor manufaktur, karena output dan lapangan kerja memberikan kontribusi yang semakin positif.

Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz mengatakan bahwa indeks manufaktur AS yang menguat menjadi salah satu pendorong rupiah semakin tertekan.

Tidak sampai disitu, konsumsi masyarakat AS juga diperkirakan masih cukup kuat.

Mengutip hasil Conference Board, indeks kepercayaan konsumen AS naik pada Mei menjadi 102 dari 97,5 pada bulan sebelumnya dan di atas ekspektasi pasar yakni 95,9. Hal ini pada akhirnya memberikan angin segar bagi DXY untuk mengalami penguatan.

Untuk diketahui, kepercayaan konsumen Conference Board (CB) yaitu mengukur tingkat kepercayaan konsumen terhadap aktivitas ekonomi. Ini merupakan indikator utama karena dapat memprediksi belanja konsumen, yang memainkan peran utama dalam aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Angka yang lebih tinggi menunjukkan optimisme konsumen yang lebih tinggi.

 

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular