Pernah Berjaya, Kini BATA & Sritex Runtuh Tak Tersisa

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
15 May 2024 16:05
Suasana lengang Toko sepatu Bata di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (8/5/2024), tetap beroperasi pascapenutupan pabrik sepatunya di Purwakarta, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Suasana lengang Toko sepatu Bata di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (8/5/2024), tetap beroperasi pascapenutupan pabrik sepatunya di Purwakarta, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Sepatu Bata Tbk (BATA) dan PT Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL) adalah dua raksasa tekstil yang mulai karam. Masalah keduanya hampir serupa, dihajar pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan utang membengkak.

Pabrik sepatu Bata di Purwakarta tutup dan harus memutus hubungan kerja 233 pegawainya. Alasan penutupannya adalah berkurangnya permintaan sehingga mengganggu keuangan. Kondisi emiten BATA dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak Covid-19 memang tidak baik-baik saja.

Menurut laporan keuangan perusahaan pada sembilan bulan 2023 (9M2023), pendapatan yang berhasil dikantongi senilai Rp488,48 miliar. Jumlah ini lebih rendah Rp2,1 miliar atau -0,4% dibandingkan periode yang sama pada 2022 (year-on-year/yoy).

Penjualan perusahaan pada 2023 jika menggunakan metode trailing twelve month (TTM) diperkirakan akan mencapai Rp641,36 miliar. Jumlah tersebut baru mencapai 70% dari penjualan pra pandemi. Pada 2019, perusahaan berhasil membukukan Rp931,27 miliar.

Jumlah beban bunga yang meningkat makin membebani BATA yang sudah mengalami kerugian.

Tercatat pada periode Januari hingga September 2024, BATA harus mengeluarkan kocek Rp9,89 miliar untuk membayar bunga utang. Jumlah tersebut setara 5% dari laba kotor yang diperoleh perusahaan.

Jumlah tersebut meningkat nyaris 5 kali lipat dibandingkan 2019 dengan beban bunga atas pinjaman tercatat Rp2,36 miliar.

Beban bunga yang meroket imbas jumlah utang bersih perusahaan yang meningkat tajam.

Jumlah utang bersih atau net debt BATA meroket 363% hanya dalam kurun waktu 4 tahun dari posisi akhir 2019 sebesar Rp28 miliar saja.Jika dilihat dari strukturnya, utang BATA paling besar adalah utang jangka pendek.

Per September 2023, nilai utang jangka pendek perusahaan mencapai Rp104,23 miliar yang terdiri dari pinjaman jangka pendek Rp95,1 miliar dan liabilitas sewa Rp9,13 miliar.

Sehingga rugi perusahaan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp80,45 miliar. Rugi tersebut jauh lebih parah ketimbang 9M2022 senilai Rp20,34 miliar.

Raksasa Sritex Karam

Raksasa tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL) mulai karam ditelan utang. Selain utang yang menumpuk, perdagangan saham dihentikan, terancam delisting pula.

Hingga September 2023, total liabilitas SRIL tercatat US$1,55 miliar atau setara dengan Rp24 triliun (kurs=Rp16.000/US$). Jumlah tersebut didominasi oleh utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi.

Secara rinci utang bank dan obligasi yang dimiliki oleh Sritex adalah sebagai berikut:

- Utang bank jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun senilai US$13,06 juta atau Rp203,67 miliar,

- Utang jangka dengan jatuh tempo kurang setahun senilai US$5 juta atau Rp78 miliar,

- Utang bank dan obligasi jangka panjang senilai US$1,33 miliar atau Rp20,57 triliun.

- Total utang bank dan obligasi adalah US$992 juta atau Rp15,49 triliun.

- Surat utang jangka menengah US$14,58 juta atau Rp227,5 miliar.

- Total obligasi senilai US$368,25 miliar atau Rp5,744 triliun.

Jumlah tersebut sama dengan 86,88% dari total liabilitas yang dimiliki per September 2023. Di aman utang didominasi dengan masa jatuh tempo jangka panjang. Utang jangka panjang adalah utang mahal sebab harus bayar jangka waktu yang lebih lama.

Utang yang gendut membuat Sritex mengalami "obesitas". Jumlah utang bank dan obligasi yang dimiliki lebih tinggi dari aset yang dimiliki sehingga mengalami defisit modal.

Defisit modal biasa juga disebut sebagai ekuitas negatif. Emiten yang memiliki ekuitas negatif akan berbahaya bagi investor karena sebagai tanda bahwa perusahaan semakin dekat dengan kebangkrutan.

Jumlah aset yang dimiliki adalah US$653 juta atau Rp10,19 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang berbunga maka terdapat defisit modal sebesar Rp10,8 triliun.

Jika total aset tersebut dibandingkan dengan jumlah liabilitas maka terjadi defisit modal sebesar Rp13,97 triliun.

Logika sederhana, misalnya perusahaan tersebut membutuhkan likuiditas segera demi membayar utang jatuh tempo. Saat kas tidak mencukupi hal yang bisa dilakukan adalah jual aset.

Selain ekuitas negatif terdapat indikator lainnya yang semakin menegaskan kondisi Sritex tidak sehat, yakni rasio likuiditas dan rasio solvensi.

SRIL memiliki current ratio sebesar 175%, padahal maksimal adalah 100%. Current ratio digunakan untuk mengetahui seberapa sanggup sebuah perusahaan bisa memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(ras/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation