Nasib Emiten Sepatu BATA dan BIMA: Sudah Rugi Terus, Utang Menumpuk

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
14 May 2024 18:20
Indo Leather & Footwear Expo (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)
Foto: Indo Leather & Footwear Expo (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri alas kaki di Indonesia tengah menghadapi tekanan, mulai dari turunnya permintaan hingga penutupan pabrik produsen alas kaki di dalam negeri. Kondisi ini berdampak besar tehadao dua emiten produsen sepatu Tanah Air yakni PT Sepatu Bata Tbk (BATA) maupun PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA).

Dari sisi produksi, Indonesia masuk dalam daftar lima besar produsen di dunia. Menurut data World Population Review, Indonesia menduduki posisi kelima menjadi produsen sepatu terbesar di dunia dengan total produksi 660 juta pasang per tahun

Kendati masih masuk lima besar tetapi ekspor Indonesia justru turun. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor produk alas kaki (HS 64) turun 16,8% menjadi US$ 6,44 miliar atau sekitar Rp 103,82 triliun (US$ 1=16.125).

Sebagai perbandingan bisa dilihat dari World Population Review. Berdasarkan data mereka, pada 2023, volume dan nilai ekspor industri kulit dan alas kaki Indonesia mengalami penurunan.

Sepanjang 2023 volume ekspor industri kulit dan alas kaki RI tercatat sebesar 376,2 ribu ton, turun 14,24% dibanding 2022 (yoy). Turunnya volume ekspor juga diiringi anjloknya nilai ekspor sebesar 15,29% (yoy) menjadi sekitar US$7,6 miliar.

Jika dirinci per komoditas, penurunan kinerja ekspor paling dalam di kelompok industri ini terjadi pada sepatu olahraga.
Pada 2023 volume ekspor sepatu olahraga dari Indonesia berkurang 25,15% (yoy), dan nilai ekspornya merosot 25,78% (yoy). Penurunan ekspor ini tampaknya seiring dengan turunnya permintaan sepatu olahraga di sejumlah negara.

Melemahnya industri alas kaki juga berdampak pada produsen sepatu dalam negeri. Salah satu pabrik sepatu di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yakni PT Sepatu Bata Tbk (BATA) harus menghentikan produksinya. Hal ini karena pabrik tersebut mengalami penyusutan permintaan sepatu hingga perusahaan merugi selama empat tahun terakhir.

Di Bursa Efek Indonesia (BEI) terdapat dua produsen sepatu yang telah melantai yakni PT Sepatu Bata Tbk (BATA) dan PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA).

Kinerja dua perusahaan tersebut sejalan dengan penurunan daya beli terhadap industri alas kaki.

PT Sepatu Bata Tbk (BATA) maupun PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA) sama-sama mencatatkan penurunan pendapatan alias penjualan. Hal ini pun mendorong kedua perusahaan tersebut kembali mencatatkan kerugian dengan bertambahnya kerugian pada tahun 2023.

Tercatat PT Sepatu Bata Tbk (BATA) merugi sebesar Rp191 miliar pada tahun 2023, angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2022 sebesar rugi Rp106 miliar. Begitu juga dengan PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA) kembali membukukan kerugian sebesar Rp5 miliar pada tahun 2023, angka tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp2 miliar.

PT Sepatu Bata Tbk (BATA) juga mencatatkan penurunan aset pada tahun 2023 sebesar 19,06% menjadi Rp586 miliar, sementara PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA) mencatatkan sedikit kenaikan sebesar 0,97% menjadi Rp313 miliar.

Selain itu, dengan turunnya pendapatan dan bertambahnya kerugian. Kedua produsen sepatu tersebut juga mencatatkan pembengkakan hutang pada tahun 2023.

Tercatat hutang PT Sepatu Bata Tbk (BATA) bertambah 12,38% menjadi Rp454 miliar, sementara PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA) bertambah 8,42% menjadi Rp322 miliar.

Adapun, dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Pengamat Pemasaran dari Inventure, Yuswohady menyebut PT Sepatu Bata babak belur diterjang tiga disrupsi sekaligus, yakni disrupsi digital, disrupsi milennial, dan disrupsi pandemi covid-19. Tiga disrupsi itulah yang menyebabkan merek sepatu legendaris ini tumbang.

Titik balik turunnya brand Bata ini seiring dengan kelahirannya generasi milenial dan Gen Z, di mana milenial dan gen z ini preferensi gaya berpakaiannya beda dengan generasi sebelumnya, yakni Gen X.

Merk Bata dianggap sebagai representasi dari generasi yang lama, boomers dengan Gen X. Maka dari itu generasi milenial menganggap merk Bata sebagai sebuah brand yang kolonial, sehingga mengalami penuaan.

Adapun, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani yang membeberkan penyebab pabrik sepatu Bata di Purwakarta tutup. Dia mengatakan Bata menghadapi kondisi permintaan yang turun baik dari dalam maupun luar negeri, sementara beban biaya terus meningkat.

Shinta menuturkan dengan kondisi seperti itu, Bata membuat kesimpulan bahwa sudah tidak mungkin bagi mereka untuk melanjutkan bisnisnya.

"Pada akhirnya perusahaan seperti Bata walaupun sudah hadir begitu lama di Indonesia, dia tetap harus melihat apakah masih feasible sebagai bisnis," kata Shinta saat ditemui wartawan di Kantor DPN Apindo Jakarta, dikutip Minggu (12/5/2024).

Shinta mengatakan industri alas kaki seperti Bata sebenarnya sudah melakukan evaluasi terhadap kondisi yang ada saat ini. Namun, kata dia, kondisi tersebut semakin memburuk dan akhirnya Bata tak bisa bertahan.

Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan kondisi industri padat karya. Dia menilai belakangan ini banyak investasi yang masuk justru bersifat padat modal.


CNBC Indonesia Research

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation