Newsletter

AS Buat RI Pesta, Data Dagang RI Bikin Gembira Apa Merana?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
15 December 2023 06:00
Pelindo
Foto: dok Pelindo

Pasar keuangan mulai dari bursa saham, nilai tukar rupiah, hingga Surat Berharga Negara (SBN) pada hari ini potensi masih bisa lanjut menguat, namun akan sedikit terbatas.

Hal tersebut lantaran gerak pasar keuangan kemarin cukup signifikan, ini menjadikan tantangan bagi pergerakan harga untuk bisa menembus lebih tinggi lagi atau jadi satu hambatan sementara karena ada aksi profit taking.

Walau begitu, gerak bursa Wall Street yang kompak menghijau semalam harapannya bisa menular ke pergerakan pasar keuangan Tanah Air. Hari ini ada sejumlah sentimen dan rilis data ekonomi baik dari eksternal dan domestik yang akan mewarnai pergerakan pasar hari ini.

Pasar Tenaga Kerja AS Masih Panas & Daya Beli Kuat

Pertama ada, data yang sudah rilis dari negeri Paman Sam terkait kondisi pasar tenaga kerja. Semalam pada Kamis (14/12/2023) data klaim pengangguran AS dalam seminggu yang berakhir pada 9 Desember 2023 tercatat sebanyak 202.000. Nilai tersebut meleset dari perkiraan yang proyeksi klaim pengangguran akan sama seperti pekan sebelumnya, yakni sebesar 220.000.

Nilai klaim pengangguran tersebut bahkan menandai posisi terendahnya dalam dua bulan terakhir. Hal ini semakin melengkapi data pasar tenaga kerja AS yang mulai memanas lagi, sebelumnya tingkat pengangguran pada November tidak terduga turun ke 3,7%, kemudian disusul data pekerjaan tercatat di luar pertanian melonjak ke 199.000, meleset dari ekspektasi sebesar 180.000 dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebanyak 150.000 pekerjaan.

Data berikutnya yang rilis dari AS semalam ada retail sales periode November 2023. Melansir dari US Census Bureau, penjualan ritel AS tercatat tumbuh 4,1% secara tahunan (yoy), nilai tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 2,2% yoy dan meleset dari forecast trading economic yang memperkirakan tumbuh lebih landai sebesar 2,1% yoy.

Pasar tenaga kerja yang memanas ditambah penjualan ritel meningkat, ini mencerminkan daya beli masyarakat AS masih cukup kuat. Hal ini menjadi satu tantangan yang dihadapi pelaku pasar ke depan karena bisa memicu inflasi sulit turun.

Kendati begitu, inflasi AS saat ini masih terpantau dalam tren melandai, masih on-track dengan perkiraan pasar walau belum di angka target the Fed di 2%.

Sebagai informasi, pada Selasa lalu ada rilis data inflasi AS per November 2023 yang tercatat tumbuh 3,1% (year-on-year/yoy). Inflasi lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada Oktober 2023 yakni 3,2% serta sesuai ekspektasi pasar yakni 3,2%.

Inflasi November menjadi yang terendah sejak Juni 2023. Laju inflasi juga sudah jauh melandai dibandingkan puncak tertingginya pada Juni 2022 yang tercatat 9,1%. Sementara untuk inflasi inti tumbuh 4% yoy, relatif tak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Realisasi inflasi dan inflasi inti kali ini sesuai dengan harapan pasar.

Inflasi AS yang terus melandai paling tidak menjadi satu kabar melegakan di tengah data tenaga kerja yang mulai memanas kembali dan daya beli masyarakat AS masih kuat. Dengan inflasi melandai, ini juga memicu the Fed semakin melunak pada kebijakan moneter-nya.

Sebagaimana diketahui, pada dini hari kemarin, Kamis (14/12/2023) the Fed telah menyatakan untuk menahan lagi suku bunga acuan di level 5,25% - 5,50% dan menyatakan isyarat akan memangkas suku bunga pada tahun depan.

Neraca Dagang RI Potensi Lanjut Positif

Selanjutnya, beralih ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode November 2023 pada Jumat (15/12/2023).

Surplus neraca perdagangan diproyeksi berlanjut pada November tetapi angkanya akan mengecil sejalan dengan makin melandasinya harga komoditas serta naiknya impor.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada November 2023 akan mencapai US$ 2,79 miliar.

 

Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan Oktober 2023 yang mencapai US$ 3,48 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 43 bulan beruntun.

Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 10% (year on year/yoy) sementara impor naik 0,57% pada November 2023.

Sebagai catatan, nilai ekspor Oktober 2023 terkoreksi 10,4% (yoy) tetapi naik 6,8% (month to month/mtm) menjadi US$ 22,15 miliar. Nilai impor Oktober naik 7,7% (mtm) tetapi turun 2,4% (yoy) menjadi US$ 18,67 miliar.

Ekspor diperkirakan melandai pada November 2023 seiring dengan penyusutan harga komoditas. Sebaliknya, impor diperkirakan akan naik sejalan dengan data historisnya. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan surplus akan mengecil karena ekspor jatuh.


Irman juga menjelaskan bahwa penurunan ekspor ini terkait dengan harga komoditas terutama dari batubara.

"Penurunan ekspor yang lebih dalam masih terkait koreksi harga komoditas terutama batubara. Besarnya porsi batubara dalam ekspor mengoffset dampak kenaikan harga komoditas lain," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Berdasarkan catatan Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada November 2023 sebesar US$ 126,98 per ton, lebih rendah dibandingkan Oktober di angka US$ 142,56/ton. Harganya jauh di bawah rata-rata November tahun lalu yang tercatat US$ 340,62 per ton.

Batu bara menyumbang nilai ekspor sekitar 15% terhadap total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan.

Selain itu, ada komoditas minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang juga menyumbang ekspor cukup besar, sekitar 12-15% dari total ekspor Indonesia. Harga rata-rata CPO sendiri pada November 2023 tercatat MYR 3.859,55 per ton. Harganya sebenarnya naik dibandingkan Oktober 2023 tercatat MYR 3.699,32 per ton tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya tercatat MYR 4.154,36 per ton.

Irman menjelaskan surplus juga akan mengecil karena kenaikan impor. Secara historis, impor biasanya akan naik pada November karena produsen akan menggenjot produksi untuk Desember sehingga impor mesin dan barang mentah naik. Impor konsumsi juga biasanya menanjak pada November untuk persiapan natal dan akhir tahun baru (nataru).

Data aktivitas manufaktur mitra dagang utama Indonesia seperti China dan ASEAN mengalami kenaikan pada November sehingga ada harapan permintaan mereka terhadap produk Indonesia naik.


PMI Manufacturing China kembali ke fase ekspansif yakni 50,7 pada November 2023, dari 49,5 pada Oktober. PMI Korea Selatan juga kembali ke fase ekspansif. Namun, PMI Amerika Serikat dan Jepang melandai.

Membahas negeri Tirai Bambu, pada hari ini juga akan merilis data terkait penjualan ritel untuk periode November 2023 yang diprediksi akan meningkat 12,5% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,6%. Selain itu, akan ada rilis data terkait tingkat pengangguran yang diharapkan akan bertahan di 5% pada periode yang sama.

Efek The Fed Berlanjut, ECB & Bank Sentral Inggris Tahan Suku Bunga
Dampak kebijakan The Fed yang mulai dovish diperkirakan masih akan menggerakkan pasar keuangan Indonesia. Arus dana asing diharapkan terus mengalir sejalan dengan melandainya indeks dolar serta imbal hasil US Treasury.  Indeks dolar dan imbal hasil US Treasury langsung jatuh begitu The Fed mengisyaratakan suku bunga.
Dengan imbal hasil US Treasury yang kini sudah di bawah 4% maka investor asing akan mencari instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi seperti di Indonesia.

Kabar gembira lainnya adalah keputusan bank sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Inggris (BoE) yang menahan suku bunga. B
ank of England pada hari Kamis mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah pada 5,25% sementara ECB menahan suku bunga di 4,5% untuk dua pertemuan beruntun.

(tsn/tsn)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular