Pasar keuangan domestik kompak menghijau pasca dapat kabar gembira dari the Fed yang menahan suku bunga dan mengisyaratkan pivot tahun depan.
Wall Street juga kompak sumringah berkat prospek pemangkasan suku bunga pada 2024 meningkatkan kepercayaan diri investor untuk masuk kembali ke aset berisiko.
Hari ini akan ada rilis neraca dagang Indonesia yang termasuk pertumbuhan ekspor-impor akan mewarnai pasar keuangan Tanah Air.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air terpantau kompak sumringah, mulai dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup hijau, rupiah menguat tajam, hingga Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilirik investor.
Pasar keuangan potensi masih bisa melanjutkan penguatan, simak prospek pergerakan pasar hari ini pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin, Kamis (14/12/2023) ditutup melonjak 1,42% menuju posisi 7.175,016. Penguatan kemarin membuat IHSG kembali menyentuh level psikologis 7.100. Bahkan, posisi IHSG saat ini nyaris menyentuh level psikologis 7.200.
Nilai transaksi IHSG kemarin terbilang cukup ramai mencapai Rp15 triliun yang melibatkan 26 miliaran saham berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali transaksi. Ada sebanyak 335 saham yang menguat, 198 saham melemah dan 228 sisanya saham stagnan.
Secara sektoral, beberapa sektor menjadi penopang IHSG seperti sektor teknologi yang mencapai 5,93%, sektor properti sebesar 2,31%, sektor keuangan sebesar 2,15%, sektor energi sebesar 1,64%, dan sektor industri sebesar 1,24%.
Sementara dari saham, kontributor terbesar kemarin datang dari saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencapai 29,7 indeks poin. Saham BBRI melonjak 4,32% ke posisi Rp 9.050/unit.
IHSG yang bergairah terjadi di tengah kabar positif dari bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) yang kembali menahan suku bunga acuan sebagai hasil pengumuman rapat Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir tahun ini.
Pengambilan kebijakan tersebut juga sudah sesuai dengan proyeksi pasar dan mengkonfirmasi perhitungan CME FedWatch Tool yang sebelumnya memproyeksi the Fed mempertahankan suku bunga pekan ini mencapai lebih dari 98%.
Bahkan, para pelaku pasar sekarang juga melihat kemungkinan pelonggaran moneter tahun depan, memperkirakan peluang hampir 7,8 % penurunan suku bunga setidaknya 25 basis poin (bp) pada Mei 2024, menurut alat pengukur CME FedWatch
Ketua The Fed, Jerome Powell juga berpidato cenderung lebih lunak pada pertemuan kali ini, dibandingkan pada pertemuan November lalu di mana dia menegaskan masih terlalu prematur memikirkan pemangkasan suku bunga.
"Itu (pemangkasan) mulai ada dalam pandangan kami dan menjadi topik diskusi kami," ucap Powell, dikutip dari Reuters.
Powell juga mengatakan jika ekonomi sudah berjalan normal dan The Fed tidak perlu lagi mengetatkan kebijakan suku bunga.Dokumen "dot plot" The Fed menunjukkan jika anggota bank sentral mulai mengindikasikan adanya pemangkasan suku bunga.
Sebanyak 17 anggota memperkirakan pemangkasan suku bunga tahun depan sementara hanya dua yang memperkirakan tidak ada penurunan suku bunga.
Tidak ada anggota FOMC yang memperkirakan suku bunga akan naik tahun depan.
Keputusan The Fed menahan suku bunga, bahkan mengindikasikan akan memangkas di tahun depan memang menjadi kabar yang paling ditunggu bukan hanya oleh pelaku pasar Indonesia tetapi juga dunia. Dengan status sebagai ekonomi terbesar di dunia maka apapun keputusan The Fed akan berdampak besar terhadap ekonomi global.
Oleh karena itu, keputusan The Fed menahan suku bunga ditambah ada isyarat pivot tahun depan menjadi kabar baik tak hanya bagi IHSG, tetapi berdampak positif bagi nilai rupiah menguat terhadap dolar AS, hingga Surat Berharga Negara (SBN) bakal dilirik asing lagi. Pasalnya, dana asing diperkirakan akan mengalir deras ke pasar keuangan Indonesia.
Dilansir dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (14/12/2023) rupiah ditutup melesat 1,02% di angka Rp 15.495/US$. Rupiah pun mengakhiri tren pelemahan yang terjadi pada tiga hari sebelumnya.
Penguatan rupiah yang terjadi sejalan dengan tekanan dolar AS yang mereda, tercermin dari indeks dolar AS (DXY) yang berbalik arah ke zona merah. Tercatat pada kemarin hingga pukul 15:05 WIB, DXY melandai 0,08% menjadi 102,78, dari sebelumnya di posisi 103,86 pada perdagangan satu hari sebelumnya.
Menyusutnya DXY juga menjadi gairah bagi pasar Surat Berharga Negara (SBN) , terlihat dari posisi imbal hasil SBN acuan bertenor 10 tahun Indonesia pada penutupan kemarin berada di 6,71%, nilainya susut dibandingkan satu hari sebelumnya yang berada di 6.74%.
Penyusutan yield ini menjadi kabar gembira yang menunjukkan investor mulai melirik lagi ke pasar obligasi. Perlu dicatat, pergerakan harga dan yield obligasi adalah berlawanan arah, ketika yield turun maka harga naik. Hal inilah yang menjadi alasan dana investor terutama asing mulai masuk lagi ke Tanah Air.
Dari bursa Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street melanjutkan pesta pada perdagangan Kamis kemarin atau Jumat dini hari waktu Indonesia.
Indeks Dow Jones terbang ke rekor baru dengan menguat 0,43% atau 158 poin ke 37.248,35. Ini adalah kali pertama indeks Dow Jones menyentuh rekor 37.000.
Sementara itu, indeks Nasdaq menanjak 0,19% atau 27,59 poin ke 14.761,56 dan indeks S&P 500 terapresiasi 12,46 poin atau 0,26% ke posisi 4.719,55.
Bursa Wall Street melanjutkan pesta setelah bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengisyaratkan akan memangkas bunga pada tahun depan.
Sikap The Fed tersebut langsung membuat imbal hasil US Treasury jatuh ke bawah 4% untuk pertama kalinya sejak Agustus 2023.
Kenaikan penjualan eceran juga membuat pelaku pasar saham semakin optimis jika ekonomi AS tidak akan mengalami resesi dan hanya menghadapi soft economic landing.
"Sikap The Fed lebih dovish daripada yang kita harapkan sebelum pertemuan," tutur Michael Gapen, kepala ekonom untuk AS di Bank of America, kepada CNBC International.
Indeks acuan Wall Street bertahan di zona hijau lantaran efek bank sentral AS yang mempertahankan suku bunga pada pertemuan terakhir tahun ini.
Selain itu, The Fed juga sudah menyatakan isyarat melakukan pivot tahun depan yang menjadi tanda bahwa suku bunga di level saat ini, yakni di 5,25% - 5,50% sudah merupakan terminal rate atau titik puncak dari era kenaikan suku bunga sejak tahun lalu.
Pada press conference The Fed dini hari kemarin, Kamis (14/12/2023), Chairman Jerome Powell mengatakan pengetatan kebijakan moneter bersejarah kemungkinan besar akan berakhir, karena inflasi turun lebih cepat dari perkiraan, dan diskusi mengenai pemotongan biaya pinjaman mulai terlihat.
Sebagai informasi, The Fed telah menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 525 basis poin sejak Maret 2022 dalam upaya mengekang inflasi yang telah mencapai rekor tertinggi selama beberapa dekade.
Pada hari Rabu, 17 dari 19 pejabat Fed memproyeksikan tingkat kebijakan akan lebih rendah pada akhir tahun 2024. Pasar memproyeksi bank sentral AS paling tidak akan menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun depan atau sedikitnya sekitar 75 basis poin (bps).
"Investor merasa cukup bullish dalam hal penurunan suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun depan, yang sedikit lebih besar dari perkiraan para penjual," kata Chris Zaccarelli, kepala investasi di Independent Advisor Alliance.
Pasar uang sekarang melihat peluang sebesar 83,3% untuk setidaknya penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret 2024, naik dari sekitar 50% sebelum keputusan kebijakan tersebut, dan hampir sepenuhnya memperkirakan penurunan suku bunga lainnya pada bulan Mei, menurut alat FedWatch CME Group.
Pasar keuangan mulai dari bursa saham, nilai tukar rupiah, hingga Surat Berharga Negara (SBN) pada hari ini potensi masih bisa lanjut menguat, namun akan sedikit terbatas.
Hal tersebut lantaran gerak pasar keuangan kemarin cukup signifikan, ini menjadikan tantangan bagi pergerakan harga untuk bisa menembus lebih tinggi lagi atau jadi satu hambatan sementara karena ada aksi profit taking.
Walau begitu, gerak bursa Wall Street yang kompak menghijau semalam harapannya bisa menular ke pergerakan pasar keuangan Tanah Air. Hari ini ada sejumlah sentimen dan rilis data ekonomi baik dari eksternal dan domestik yang akan mewarnai pergerakan pasar hari ini.
Pasar Tenaga Kerja AS Masih Panas & Daya Beli Kuat
Pertama ada, data yang sudah rilis dari negeri Paman Sam terkait kondisi pasar tenaga kerja. Semalam pada Kamis (14/12/2023) data klaim pengangguran AS dalam seminggu yang berakhir pada 9 Desember 2023 tercatat sebanyak 202.000. Nilai tersebut meleset dari perkiraan yang proyeksi klaim pengangguran akan sama seperti pekan sebelumnya, yakni sebesar 220.000.
Nilai klaim pengangguran tersebut bahkan menandai posisi terendahnya dalam dua bulan terakhir. Hal ini semakin melengkapi data pasar tenaga kerja AS yang mulai memanas lagi, sebelumnya tingkat pengangguran pada November tidak terduga turun ke 3,7%, kemudian disusul data pekerjaan tercatat di luar pertanian melonjak ke 199.000, meleset dari ekspektasi sebesar 180.000 dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebanyak 150.000 pekerjaan.
Data berikutnya yang rilis dari AS semalam ada retail sales periode November 2023. Melansir dari US Census Bureau, penjualan ritel AS tercatat tumbuh 4,1% secara tahunan (yoy), nilai tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 2,2% yoy dan meleset dari forecast trading economic yang memperkirakan tumbuh lebih landai sebesar 2,1% yoy.
Pasar tenaga kerja yang memanas ditambah penjualan ritel meningkat, ini mencerminkan daya beli masyarakat AS masih cukup kuat. Hal ini menjadi satu tantangan yang dihadapi pelaku pasar ke depan karena bisa memicu inflasi sulit turun.
Kendati begitu, inflasi AS saat ini masih terpantau dalam tren melandai, masih on-track dengan perkiraan pasar walau belum di angka target the Fed di 2%.
Sebagai informasi, pada Selasa lalu ada rilis data inflasi AS per November 2023 yang tercatat tumbuh 3,1% (year-on-year/yoy). Inflasi lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada Oktober 2023 yakni 3,2% serta sesuai ekspektasi pasar yakni 3,2%.
Inflasi November menjadi yang terendah sejak Juni 2023. Laju inflasi juga sudah jauh melandai dibandingkan puncak tertingginya pada Juni 2022 yang tercatat 9,1%. Sementara untuk inflasi inti tumbuh 4% yoy, relatif tak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Realisasi inflasi dan inflasi inti kali ini sesuai dengan harapan pasar.
Inflasi AS yang terus melandai paling tidak menjadi satu kabar melegakan di tengah data tenaga kerja yang mulai memanas kembali dan daya beli masyarakat AS masih kuat. Dengan inflasi melandai, ini juga memicu the Fed semakin melunak pada kebijakan moneter-nya.
Sebagaimana diketahui, pada dini hari kemarin, Kamis (14/12/2023) the Fed telah menyatakan untuk menahan lagi suku bunga acuan di level 5,25% - 5,50% dan menyatakan isyarat akan memangkas suku bunga pada tahun depan.
Neraca Dagang RI Potensi Lanjut Positif
Selanjutnya, beralih ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode November 2023 pada Jumat (15/12/2023).
Surplus neraca perdagangan diproyeksi berlanjut pada November tetapi angkanya akan mengecil sejalan dengan makin melandasinya harga komoditas serta naiknya impor.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada November 2023 akan mencapai US$ 2,79 miliar.
Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan Oktober 2023 yang mencapai US$ 3,48 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 43 bulan beruntun.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 10% (year on year/yoy) sementara impor naik 0,57% pada November 2023.
Sebagai catatan, nilai ekspor Oktober 2023 terkoreksi 10,4% (yoy) tetapi naik 6,8% (month to month/mtm) menjadi US$ 22,15 miliar. Nilai impor Oktober naik 7,7% (mtm) tetapi turun 2,4% (yoy) menjadi US$ 18,67 miliar.
Ekspor diperkirakan melandai pada November 2023 seiring dengan penyusutan harga komoditas. Sebaliknya, impor diperkirakan akan naik sejalan dengan data historisnya. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan surplus akan mengecil karena ekspor jatuh.
Irman juga menjelaskan bahwa penurunan ekspor ini terkait dengan harga komoditas terutama dari batubara.
"Penurunan ekspor yang lebih dalam masih terkait koreksi harga komoditas terutama batubara. Besarnya porsi batubara dalam ekspor mengoffset dampak kenaikan harga komoditas lain," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan catatan Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada November 2023 sebesar US$ 126,98 per ton, lebih rendah dibandingkan Oktober di angka US$ 142,56/ton. Harganya jauh di bawah rata-rata November tahun lalu yang tercatat US$ 340,62 per ton.
Batu bara menyumbang nilai ekspor sekitar 15% terhadap total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan.
Selain itu, ada komoditas minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang juga menyumbang ekspor cukup besar, sekitar 12-15% dari total ekspor Indonesia. Harga rata-rata CPO sendiri pada November 2023 tercatat MYR 3.859,55 per ton. Harganya sebenarnya naik dibandingkan Oktober 2023 tercatat MYR 3.699,32 per ton tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya tercatat MYR 4.154,36 per ton.
Irman menjelaskan surplus juga akan mengecil karena kenaikan impor. Secara historis, impor biasanya akan naik pada November karena produsen akan menggenjot produksi untuk Desember sehingga impor mesin dan barang mentah naik. Impor konsumsi juga biasanya menanjak pada November untuk persiapan natal dan akhir tahun baru (nataru).
Data aktivitas manufaktur mitra dagang utama Indonesia seperti China dan ASEAN mengalami kenaikan pada November sehingga ada harapan permintaan mereka terhadap produk Indonesia naik.
PMI Manufacturing China kembali ke fase ekspansif yakni 50,7 pada November 2023, dari 49,5 pada Oktober. PMI Korea Selatan juga kembali ke fase ekspansif. Namun, PMI Amerika Serikat dan Jepang melandai.
Membahas negeri Tirai Bambu, pada hari ini juga akan merilis data terkait penjualan ritel untuk periode November 2023 yang diprediksi akan meningkat 12,5% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,6%. Selain itu, akan ada rilis data terkait tingkat pengangguran yang diharapkan akan bertahan di 5% pada periode yang sama.
Efek The Fed Berlanjut, ECB & Bank Sentral Inggris Tahan Suku Bunga
Dampak kebijakan The Fed yang mulai dovish diperkirakan masih akan menggerakkan pasar keuangan Indonesia. Arus dana asing diharapkan terus mengalir sejalan dengan melandainya indeks dolar serta imbal hasil US Treasury. Indeks dolar dan imbal hasil US Treasury langsung jatuh begitu The Fed mengisyaratakan suku bunga.
Dengan imbal hasil US Treasury yang kini sudah di bawah 4% maka investor asing akan mencari instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi seperti di Indonesia.
Kabar gembira lainnya adalah keputusan bank sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Inggris (BoE) yang menahan suku bunga. Bank of England pada hari Kamis mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah pada 5,25% sementara ECB menahan suku bunga di 4,5% untuk dua pertemuan beruntun.
Jumat, 15 Desember 2023
Agenda Ekonomi :
Neraca Dagang Indonesia (11.00 WIB)
Ekspor Indonesia (11.00 WIB)
Impor Indonesia (11.00 WIB)
Penjualan Ritel China (09.00 WIB)
Tingkat Pengangguran China (09.00 WIB)
- Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Desember 2023 (14:00 WIB)
- Otorita Ibu Kota Nusantara akan mengadakan konferensi pers terkait perkembangan Investasi di IKN (16:00 WIB)
Agenda Perusahaan :
Cum Date Dividen BYAN
Cum Date Dividen PTPS
Cum Date Bonus Saham KKGI
RUPSLB IGAR
RUPST dan RUPSLB RINA
Berikut data indikator ekonomi nasional :
CNBC INDONESIA RESEARCH