Newsletter

Ekonomi & Politik RI Memanas Pekan Ini, Ada Kampanye-Inflasi

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
27 November 2023 06:00
Ilustrasi bearish market vs bullish market
Foto: Pixabay/gerd Altmann
  • Pasar keuangan Tanah Air bervariasi pada pekan lalu, meski sentimen pasar global cenderung positif.
  • Wall Street sepanjang pekan lalu bergairah, ditopang oleh prospek melunaknya The Fed dan libur Thanksgiving.
  • Pekan ini, masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai dan pasar keuangan RI diprediksi bergairah jika dilihat dari historisnya.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada pekan lalu cenderung bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau bergairah, namun untuk rupiah terpantau melemah dan Surat Berharga Negara (SBN) juga terpantau dilepas oleh investor.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan akan volatile pekan ini karena banyaknya kabar genting dalam sepekan ke depan. Selengkapnya mengenai sentimen sepekan ke depan akan dibahas khusus pada halaman 3 artikel ini.

Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,46% secara point-to-point (ptp). Dengan ini, maka IHSG sudah menguat selama empat pekan beruntun.

Dalam lima hari perdagangan pada pekan lalu, IHSG terpantau mencatatkan penguatan sebanyak tiga kali dan melemah sebanyak dua sekali. Sedangkan pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, IHSG ditutup naik tipis 0,08% ke posisi 7.009,63.

Pada pekan lalu, IHSG juga akhirnya menyentuh kembali level psikologis 7.000, di mana level psikologis ini terakhir dicetak pada 22 September lalu

Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy)mencapai Rp 304,77 miliar di seluruh pasar sepanjang pekan lalu. Adapun rinciannya yakni sebesar Rp 83,63 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 221,14 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Sedangkan untuk rupiah, sepanjang pekan lalu melemah 0,45% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp). Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup melemah tipis 0,06% di level Rp 15.560/US$.

Kendati pekan ini melemah, sebenarnya tren besar rupiah sepanjang November ini masih dalam penguatan. Bulan ini mencatatkan tren penguatan yang cukup pesat sejak rupiah anjlok paling dalam di akhir bulan lalu nyaris ke Rp16.000/US$.

Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun berada di level 6,881% per akhir pekan lalu, naik 4,7 basis poin (bp) dari posisi akhir pekan sebelumnya di 6,833%.

Yield yang naik menandai harga SBN yang sedang turun dan investor cenderung melepas SBN, terutama investor asing.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang turun, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sentimen positif sejatinya cenderung mendominasi pasar keuangan global pekan lalu. Namun, hal ini hanya direspons positif oleh pelaku pasar saham di RI.

Pertama dari global, dolar AS sudah mulai melandai, terlihat dari data Jumat pekan lalu, di mana indeks dolar (DXY) turun ke posisi103,40, nilai ini menyusut dibandingkan posisi hari sebelumnya sebesar 103,77.

Pelemahan dolar AS terjadi lantaran efek inflasi yang melandai lebih baik dari perkiraan dan mendinginnya kondisi pasar tenaga kerja.

Data terbaru hingga Oktober 2023, menunjukkan arah inflasi sudah makin melandai ke posisi 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy). Nilai tersebut lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,7% (yoy) dan proyeksi pasar yang melandai di 3,3% (yoy).

Sementara dari sisi pasar tenaga kerja yang mendingin tercermin dari data pekerjaan yang tercatat di luar sektor pertanian atau non-farm payroll (NFP) hingga Oktober 2023 berada di angka 150.000, menyusut dari bulan sebelumnya sebesar 297.000 dan lebih rendah dari perkiraan pasar sebesar 180.000. Tingkat pengangguran juga sudah naik ke angka 3,9% dari sebelumnya 3,8%.

Kedua indikator tersebut menjadi kesatuan yang cukup memungkinkan prospek kebijakan moneter akan melunak paling tidak hingga akhir tahun ini.

Menurut alat pemeringkat FedWatch Tool, peluang pemangku kebijakan dalam bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali menahan suku bunga pada rapat FOMC 13 Desember 2023 mendatang sudah berada di 95,50%.

Beralih ke domestik, Bank Indonesia (BI) diketahui mempertahankan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate (BI7DRR), sebagai hasil rapat dewan gubernur pada 22-23 November 2023. BI rate dipertahankan di level 6%, sama seperti level saat kenaikan bulan lalu sebesar 25 basis points (bp) pada 19 Oktober 2023.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini tetap konsisten dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pencegahan untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atauimported inflation.

Dengan demikian diharapkan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024.

Ekonom senior sekaligus eks Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro menilai ada sejumlah alasan di balik keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan pada level 6%.

Bambang meyakini BI tengah mencoba menyeimbangkan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi pada sisa 2023 sembari menyiapkan landasan pertumbuhan ekonomi tahun depan.

"Saya lihat keputusan BI itu mencoba menyeimbangkan upaya untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di sisa waktu tahun 2023 ini dan juga menyiapkan landasan pertumbuhan ekonomi tahun depan, dan di sisi lain tetap menjaga agar inflasi dalam sasaran," kata dia kepada CNBC Indonesia, Jumat, (24/11/2023).

Beralih ke AS, mayoritas bursa saham Wall Street sepanjang pekan lalu terpantau menguat, karena membaiknya data-data ekonomi di AS dan ditopang oleh liburnya pasar keuangan AS dalam rangka Hari Thanksgiving.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpantau melesat 1,27%, sedangkan S&P 500 melonjak 1%, dan Nasdaq Composite menguat 0,89%.

Namun pada perdagangan Jumat pekan lalu, Wall Street ditutup bervariasi. Indeks Dow Jones ditutup menguat 0,33% ke posisi 35.390,148 dan S&P 500 naik tipis 0,06% ke 4.559,34. Sedangkan untuk indeks Nasdaq melemah 0,11% menjadi 14.250,86.

Pergerakan ini terjadi ketika yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) pekan lalu mencapai posisi terendah dalam beberapa bulan terakhir, di tengah harapan inflasi akan mereda dan The Fed mungkin tidak akan menaikkan suku bunganya.

Yield Treasury tenor 10 tahun naik 6 basis poin menjadi sekitar 4,476% pada Jumat pekan lalu.

Cerahnya Wall Street juga disebabkan karena periode pendek perdagangan pekan lalu, karena adanya libur Hari Thanksgiving.

Sementara itu, sebuah survei yang dilakukan NRF, sebuah kelompok perdagangan ritel AS, menunjukkan pembeli AS berencana menghabiskan rata-rata US$ 875 untuk pembelian saat liburan tahun ini, peningkatan tahunan sekitar 5%.

Di lain sisi, data terbaru menunjukkan aktivitas bisnis AS tetap stabil pada November, namun lapangan kerja di sektor swasta menurun.

Sementara dari sisi pasar tenaga kerja yang mendingin tercermin dari data pekerjaan yang tercatat di luar sektor pertanian atau non-farm payroll (NFP) hingga Oktober 2023 berada di angka 150.000, menyusut dari bulan sebelumnya sebesar 297.000 dan lebih rendah dari perkiraan pasar sebesar 180.000. Tingkat pengangguran juga sudah naik ke angka 3,9% dari sebelumnya 3,8%.

Kedua indikator tersebut menjadi kesatuan yang cukup memungkinkan prospek kebijakan moneter akan melunak paling tidak hingga akhir tahun ini.

Menurut alat pemeringkat FedWatch Tool, peluang pemangku kebijakan dalam bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali menahan suku bunga pada rapat FOMC 13 Desember 2023 mendatang sudah berada di 95,50%.

The Fed sebelumnya telah menaikkan suku bunga acuan pinjaman lebih dari lima poin persentase sejak Maret 2022 sebagai bagian dari siklus pengetatan moneter global.

"Data (ekonomi) yang lebih lemah dan inflasi yang lebih lemah di AS telah memberikan harapan pasar akan mulai melihat penurunan suku bunga," kata Peter Doherty, direktur manajemen investasi di Arbuthnot Latham di London.

Sebelum memulai perdagangan hari ini hingga beberapa hari ke depan di pekan ini, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.
Akan ada banyak agenda penting pekan ini, termasuk dimulainya pesta demokrasi empat tahunan yakni kampanye. Data penting yang akan keluar pekan ini adalah peredaran uang, inflasi, hingga PMI Manufaktur.
Untuk hari ini, dari eksternal, rilis data ekonomi cenderung minim dan hanya ada beberapa yang perilisannya tidak terlalu berdampak ke pasar keuangan Tanah Air, seperti data keuntungan industri China periode Oktober 2023 dan data penjualan rumah baru AS periode Oktober 2023.

Peredaran Uang Oktober, Meningkat di awal Kuartal III?

Dari dalam negeri, BI akan merilis data uang beredar periode Oktober 2023 pada hari ini sekitar pukul 10.00 WIB. Data menunjukkan tingkat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2023 meningkat tajam.

Mengutip siaran pers BI, posisi M2 pada September 2023 meningkat 6% menjadi RP 8.440 triliun secara tahunan (yoy). Situs resmi menyebutkan, "Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 8,4% (yoy)."

Perkembangan utamanya dipengaruhi oleh peningkatan penyaluran kredit. Kredit tersalurkan pada September 2023 tercatat naik 8,7% seiring dengan peningkatan kredit produktif.

Posisi saat ini menempatkan M2 Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masanya di tengah era suku bunga tinggi. Kenaikan ini menandakan perekonomian Indonesia yang masih akan kuat mengalami pertumbuhan.

Di sisi lain, hal ini dapat menjadi kekhawatiran pelaku pasar, pasalnya kenaikan M2 yang signifikan ke depan dapat menjadi indikator inflasi yang tinggi. Artinya, tidak menutup kemungkinan harga barang juga akan melonjak dan BI kembali mengetatkan keuangan.

Sementara itu pada pekan ini, beberapa data ekonomi dan agenda penting akan dirilis dan digelar. Berikut sentimen pasar pada pekan ini.

PMI Manufaktur  Indonesia, China Caixin dan NBS 

China akan mengumumkan data PMI manufaktur periode November pada Kamis (30/11). Sebelumnya, Trading Economics mencatat China secara tak terduga mengalami penurunan indeks manufaktur menjadi 49,5 pada Oktober 2023 dari 50,2 pada bulan September.

Nilai tersebut meleset dari perkiraan pasar sebesar 50,2 yang menyoroti bahwa pemulihan ekonomi di negara tersebut masih rapuh dan diperlukan lebih banyak langkah dukungan dari pemerintah.

China juga akan merilis data PMI manufaktur Caixin periode November pada Jumat (1/12). PMI Manufaktur Umum Caixin Tiongkok turun menjadi 49,5 pada Oktober 2023 dari 50,6 pada bulan September, meleset dari perkiraan pasar sebesar 50,8.

Angka tersebut menunjukkan kontraksi pertama di sektor manufaktur sejak bulan Juli di tengah penurunan output dan berada di bawah ambang batas 50.

Melemahnya ekonomi China dapat menjadi sentimen negatif pasar keuangan domestik. Pasalnya, China merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-2 dunia dan ekonomi pemimpin Asia.

Lesunya ekonomi China dapat berdampak pada perlambatan perdagangan, sehingga tingkat ekspor-impor dengan Indonesia akan mengalami gangguan.

S&P Global pada Jumat pekan ini juga akan merilis data PMI Manufaktur sejumlah negara mulai dari Indonesia, hingga beberapa negara Asia.

Sebagai catatan, aktivitas manufaktur Indonesia kembali jeblok pada Oktober 2023. Untuk periode Oktober 2023, PMI manufaktur Indonesia ada di angka 51,5. Indeks PMI terjun ke level terendah sejak Mei 2023 atau terendah dalam lima bulan terakhir.

S&P Global menjelaskan PMI melambat karena menurunnya pemesanan baru dari luar negeri sejalan dengan melambatnya permintaan. Kepercayaan bisnis dalam 12 bulan ke depan turun jauh ke level terendah sejak Februari 2023. Kepercayaan bisnis ambruk karena meningkatnya ketidakpastian global ke depan.

Inflasi  Indonesia dan Uni Eropa (UE)

Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi November pada Jumat pekan ini (1/12/2023). Inflasi Indonesia naik menjadi 2,56% (year on year/yoy) dan 0,17% (month to month/mtm)pada Oktober 2023. Kelompok pangan masih menjadi penyumbang inflasi terbesar karena lonjakan harga beras, bensin dan cabai rawit. Hal ini menunjukkan bahwa harga pangan di Indonesia mayoritas menjadi lebih mahal dibandingkan sebelumnya sehingga membebani masyarakat.

Inflasi inti sebesar 1,19% yoy yang merupakan posisi terendah sejak 21 bulan terakhir. Secara tahunan, inflasi Oktober melesat dibandingkan September yang tercatat 2,28% sementara secara bulanan lebih rendah dibandingkan September (0,19%).

Inflasi bulanan pada November diperkirakan meningkat sejalan dengan naiknya harga sejumlah komoditas pangan, terutama cabai rawit, beras, dan gula. Namun, penurunan harga BBM non-subsidi bisa menekan inflasi November.

Di beberapa wilayah Indonesia, harga cabai sudah menembus  Rp 120.000/kg. Secara tahunan, ketiga bahan pangan tersebut juga melonjak.

Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian perdagangan (Kemendag) menunjukkan, sejumlah harga bahan pangan pokok bahkan sudah mengalami kenaikan 90% lebih. Beras medium naik 24,77% dari Rp10.900 ke Rp13.600 per kg, cabai merah keriting naik 97,36% dari Rp34.100 ke Rp67.300 per kg, cabai rawit merah naik 79,25% dari Rp47.700 ke Rp85.500 per kg, dan bawang putih Honan naik 41,86% dari Rp25.800 ke Rp36.600 per kg.


Gabungan negara Eropa akan merilis data inflasi periode November pada Kamis mendatang. Sebelumnya, inflasi Uni Eropa tercatat sebesar 2,9% pada Oktober lalu, berada di bawah perkiraan konsensus 2,8% (yoy).

Meski demikian, persentase kenaikan harga di Eropa menunjukkan level terendah sejak Juli 2021 namun masih di atas target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sebesar 2%. Melambatnya inflasi UE terutama didorong oleh penurunan harga energi dan perlambatan ekonomi.

Sementara itu, tingkat suku bunga inti, tidak termasuk harga pangan dan energi yang berfluktuasi, juga turun menjadi 4,2% pada bulan Oktober, mencapai level terendah sejak Juli 2022.

Sentimen ini dapat menjadi pendorong pasar, sebab terkendalinya inflasi akan membuat kebijakan bank sentral yang lebih melunak. Biasanya, hal ini akan membuat pelaku pasar lebih berani mengambil risiko dalam berinvestasi termasuk di pasar modal.

 Pidato Ketua The Fed, Jerome Powell

Pelaku pasar juga akan menantikan pidato Ketua The Fed, Jerome Powell pada Jumat mendatang. The Fed sebelumnya mempertahankan kisaran target suku bunga pada level tertinggi dalam 22 tahun di 5,25-5,5%.

Penahanan ini untuk kedua kalinya berturut-turut di bulan November, mencerminkan fokus ganda para pengambil kebijakan dalam mengembalikan inflasi ke target 2% sambil menghindari pengetatan moneter yang berlebihan.

Para pengambil kebijakan menekankan bahwa tingkat pengetatan kebijakan ke depan akan mempertimbangkan dampak kumulatif dari kenaikan suku bunga terhadap aktivitas perekonomian dan inflasi, serta perkembangan perekonomian dan pasar keuangan.

Selama konferensi pers, Powell mengisyaratkan bahwa dot-plot bulan September yang menunjukkan mayoritas peserta memperkirakan kenaikan suku bunga satu kali lagi pada tahun ini mungkin tidak lagi akurat.

Dia juga menyatakan FOMC belum membahas penurunan suku bunga apa pun, sementara fokus utama tetap pada apakah bank sentral perlu menerapkan kenaikan suku bunga tambahan. 

Masa Kampanye Pemilu 2024 Dimulai

Pada pekan ini, tepatnya Selasa besok (28/11/2023), masa kampanye Pemilu 2024 resmi dimulai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sendiri telah mengatur jadwal dan agenda kampanye Pemilu 2024, yakni mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2023.

Selama periode ini, KPU mengagendakan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, debat pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan kampanye di media sosial.

Selain itu, tentunya, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) beserta partai pengusungnya juga akan berkampanye di hadapan masyarakat mulai Selasa besok.

Adapun secara historis, IHSG cenderung bergairah saat masa kampanye berlangsung.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data keuntungan industri China periode Oktober 2023 (08:30 WIB),
  2. Rilis data uang beredar (M2) Indonesia periode Oktober 2023 (10:00 WIB),
  3. Rilis data penjualan harga rumah baru Amerika Serikat periode Oktober 2023 (10:00 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Luar Biasa PT Kabelindo Murni Tbk (10:00 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Totalindo Eka Persada Tbk (10:00 WIB),
  3. RUPS Luar Biasa PT Wahana Inti Makmur Tbk (14:00 WIB).

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular