Banyak Rilis Data, ke Mana Arah Pasar Keuangan Pekan Depan?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
26 November 2023 19:20
Bank Indonesia
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia akan dipenuhi dengan berbagai sentimen yang akan menentukan pergerakan pasar selama sepekan ke depan.

Sentimen pekan depan akan diramaikan dengan adanya rilis data M2 pasokan uang Indonesia periode Oktober, data PMI manufaktur China NBS & Caixin, data inflasi Uni Eropa periode November, dan pidato Ketua The Fed Jerome Powell.

Money Supply (M2)

Bank Indonesia akan merilis data uang beredar periode Oktober 2023 pada awal pekan, Senin pagi (27/11/2023) pukul 10.00 WIB. Data menunjukkan tingkat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2023 meningkat tajam.

Mengutip siaran pers Bank Indonesia (BI), Posisi M2 pada September 2023 meningkat 6% menjadi RP 8.440 triliun secara tahunan (yoy). Situs resmi menyebutkan, "Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 8,4% (yoy)."

Perkembangan utamanya dipengaruhi oleh peningkatan penyaluran kredit. Kredit tersalurkan pada September 2023 tercatat naik 8,7% seiring dengan peningkatan kredit produktif.

Posisi saat ini menempatkan M2 Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masanya di tengah era suku bunga tinggi. Kenaikan ini menandakan perekonomian Indonesia yang masih akan kuat mengalami pertumbuhan.

Di sisi lain, hal ini dapat menjadi kekhawatiran pelaku pasar, pasalnya kenaikan M2 yang signifikan ke depan dapat menjadi indikator inflasi yang tinggi. Artinya, tidak menutup kemungkinan harga barang juga akan melonjak dan BI kembali mengetatkan keuangan.

PMI Manufaktur China Caixin dan NBS

China akan mengumumkan data PMI manufaktur periode November pada Kamis (30/11). Sebelumnya, Trading Economics mencatat China secara tak terduga mengalami penurunan indeks manufaktur menjadi 49,5 pada Oktober 2023 dari 50,2 pada bulan September.

Nilai tersebut meleset dari perkiraan pasar sebesar 50,2 yang menyoroti bahwa pemulihan ekonomi di negara tersebut masih rapuh dan diperlukan lebih banyak langkah dukungan dari pemerintah.

China juga akan merilis data PMI manufaktur Caixin periode November pada Jumat (1/12). PMI Manufaktur Umum Caixin Tiongkok turun menjadi 49,5 pada Oktober 2023 dari 50,6 pada bulan September, meleset dari perkiraan pasar sebesar 50,8. Angka tersebut menunjukkan kontraksi pertama di sektor manufaktur sejak bulan Juli di tengah penurunan output dan berada di bawah ambang batas 50.

Melemahnya ekonomi China dapat menjadi sentimen negatif pasar keuangan domestik. Pasalnya, China merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-2 dunia dan ekonomi pemimpin Asia.

Melemahnya ekonomi China dapat berdampak pada perlambatan perdagangan, sehingga tingkat ekspor-impor dengan Indonesia akan mengalami gangguan.

Inflasi Uni Eropa (UE)

Gabungan negara Eropa akan merilis data inflasi periode November pada Kamis (30/11) pukul 17.00 WIB. Sebelumnya, inflasi Uni Eropa tercatat sebesar 2,9% berada di bawah perkiraan konsensus 2,8% (yoy).

Meski demikian, persentase kenaikan harga di Eropa menunjukkan level terendah sejak Juli 2021 namun masih di atas target ECB sebesar 2%. Melambatnya inflasi UE terutama didorong oleh penurunan harga energi dan perlambatan ekonomi.

Sementara itu, tingkat suku bunga inti, tidak termasuk harga pangan dan energi yang berfluktuasi, juga turun menjadi 4,2% pada bulan Oktober, mencapai level terendah sejak Juli 2022.

Sentimen ini dapat menjadi pendorong pasar, sebab terkendalinya inflasi akan membuat kebijakan bank sentral yang lebih melunak. Biasanya, hal ini akan membuat pelaku pasar lebih berani mengambil risiko dalam berinvestasi termasuk di pasar modal.

Pidato Ketua The Fed, Jerome Powell

Pelaku pasar juga akan menantikan pidato Ketua The Fed, Jerome Powell pada Jumat pukul 23.00 WIB. Federal Reserve mempertahankan kisaran target suku bunga pada level tertinggi dalam 22 tahun di 5,25-5,5%.

Penahanan ini untuk kedua kalinya berturut-turut di bulan November, mencerminkan fokus ganda para pengambil kebijakan dalam mengembalikan inflasi ke target 2% sambil menghindari pengetatan moneter yang berlebihan.

Para pengambil kebijakan menekankan bahwa tingkat pengetatan kebijakan ke depan akan mempertimbangkan dampak kumulatif dari kenaikan suku bunga terhadap aktivitas perekonomian dan inflasi, serta perkembangan perekonomian dan pasar keuangan.

Selama konferensi pers, Powell mengisyaratkan bahwa dot-plot bulan September yang menunjukkan mayoritas peserta memperkirakan kenaikan suku bunga satu kali lagi pada tahun ini mungkin tidak lagi akurat.

Dia juga menyatakan FOMC belum membahas penurunan suku bunga apa pun, sementara fokus utama tetap pada apakah bank sentral perlu menerapkan kenaikan suku bunga tambahan.

Sentimen Pekan lalu: FOMC Minutes

Pekan lalu, sentimen utama datang dari harapan pasar akan melunaknya berbagai bank sentral yang menjadi angin segar untuk pasar keuangan. Hal ini didasarkan oleh risalah The Fed yang menyatakan akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga. Mereka juga mengisyaratkan hanya akan menaikkan suku bunga jika upaya untuk mengendalikan inflasi goyah.

Tidak hanya itu, dasar pertimbangan akan menunjukkan sedikit perubahan dari obsesi mengendalikan inflasi hingga 2% menjadi menahan suku bunga acuan tetap stabil, khususnya jika tidak ada kejutan kenaikan harga signifikan.

Risalah tersebut menambahkan jika anggota komite tetap mempertimbangkan untuk mengetatkan kebijakan moneter jika data yang berkembang menunjukkan target The fed dalam menekan inflasi tak memadai.

Kalimat ini lebih dovish dibandingkan FOMC pada pertemuan September di mana disebutkan mayoritas partisipan masih melihat kebutuhan untuk menaikkan suku bunga.

Namun, risalah FOMC belum menyebut apapun mengenai keinginan The Fed untuk memangkas suku bunga. The Fed masih khawatir jika inflasi masih bisa naik dan langkah The Fed selama ini belum cukup untuk meredam kenaikan harga.

Sentimen Pekan lalu: Suku Bunga BI

Seperti ekspektasi pasar, BI menahan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate pada level 6% dalam pertemuan November 2023.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan keputusan suku bunga acuan BI ke depan akan bergantung pada beberapa hal. Terutama situasi Amerika Serikat (AS) serta respons Bank Sentral Federal Reserve (Fed).

Kebijakan menahan suku bunga ini sontak disambut positif oleh pasar keuangan domestik yang berpesta hari ini. Menariknya, pesta pasar modal erat dengan pergerakan saham dengan karakteristik new economy yang notabene tergolong memiliki risiko tinggi.

Kenaikan saham new economy terjadi terlihat dari kontributor IHSG terbesar dari saham BREN, GOTO, DCII, dan ARTO yang sekaligus menjadi top gainers. Fenomena ini besar kemungkinan akan masih berlanjut pada perdagangan besok, sehingga sektor-sektor ini dapat menjadi perhatian.

 

CNBC Indonesia Research

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation