
Ada Kabar Genting dari China, Jepang-AS, RI Dibuat Deg-Degan

Pekan ini akan ada rilis beberapa data perekonomian yang sangat penting dan rilis agenda yang tidak kalah pentingnya, dimana data dan agenda tersebut kemungkinan besar akan berdampak pada pasar keuangan Indonesia.
Data-data tersebut di antaranya pengumuman suku bunga Bank Indonesia, suku bunga China, data transaksi berjalan kuartal III-2023 dan risalah pertemuan The Fed.
Suku Bunga Acuan China, Akan Kembali Ditahan?
Pertama, suku bunga acuan pinjaman (loan prime rate/LPR) bank sentral Tiongkok (People's Bank of China/PBoC) akan ditentukan pada hari ini, Senin (20/11/2023).
Kali ini, PBOC diperkirakan akan kembali menahan LPR-nya. Sementara itu, LPR 1 tahun diperkirakan akan kembali bertahan di level 3,45%, dan LPR 5 tahun juga diperkirakan akan ditahan di level 4,2%.
PBOC sebelumnya juga telah meningkatkan injeksi likuiditas, namun mempertahankan suku bunga untuk memberikan pinjaman kebijakan jangka menengah yang akan berakhir pada Rabu lalu, sejalan dengan ekspektasi pasar.
Hal ini bertujuan untuk menjaga kecukupan likuiditas di sistem perbankan untuk melawan faktor-faktor jangka pendek seperti pembayaran pajak dan penerbitan obligasi.
"Pada saat yang sama, bank sentral akan menyediakan uang dasar jangka menengah dan panjang dengan tepat," kata bank sentral dalam pernyataan online.
Seluruh 31 pengamat pasar yang disurvei oleh Reuters minggu ini memperkirakan bank sentral akan menyuntikkan dana baru setelah jatuh tempo.
Operasi tersebut menyuntikkan dana baru sebesar 600 miliar yuan ke dalam sistem perbankan Tiongkok seiring dengan berakhirnya fasilitas kredit jangka menengah (MLF) senilai 850 miliar yuan pada bulan ini.
Tiongkok sendiri dalam beberapa bulan terakhir telah meningkatkan upaya untuk menghidupkan kembali perekonomiannya pasca pandemi COVID-19 melalui serangkaian langkah dukungan kebijakan, namun dampak positifnya sejauh ini masih terbatas.
Di sisi lain, suasana pertemuan Presiden AS Joe Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pekan lalu kemungkinan besar akan menjadi fokus perhatian pasar.
Sebelumnya, Biden pernah satu kali mengadakan konferensi pers saat KTT APEC Rabu lalu, usai bertemu dengan Presiden Xi Jinping selama empat jam di San Francisco.
Pemimpin kedua negara bertemu selama empat jam dan membahas peningkatan hubungan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Biden juga mengatakan dia setuju untuk mengangkat telepon dan mengobrol dengan Xi jika ada perbedaan pendapat.
Tujuan utama pertemuan Biden dengan Xi adalah untuk memulihkan komunikasi, khususnya mengenai militer, untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat berujung pada konflik terbuka kedua negara.
Biden juga mengatakan Tiongkok telah setuju untuk mengadili perusahaan-perusahaan yang membuat bahan kimia prekursor fentanil yang telah memicu krisis obat-obatan di AS. Kedua belah pihak juga membahas konflik antara Israel dan Hamas.
NPI dan Transaksi Berjalan Kuartal III-2023, Akankah Kembali Defisit?
Bank Indonesia akan mengumumkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan transaksi berjalan untuk kuartal III-2023 pada Selasa (21/11/2023). Publik kini menunggu apakah transaksi berjalan dan NPI Indonesia akan melanjutkan tren defisit atau berbalik arah menjadi surplus.
Bila transaksi berjalan kembali defisit maka dikhawatirkan bisa menekan rupiah.
Seperti diketahui, transaksi berjalan tercatat defisit sebesar US$1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal II-2021.
Defisit tersebut diperburuk dengan rapor merah di neraca transaksi finansial yang membukukan defisit sebesar US$ 4,97 miliar, berbanding terbalik dengan surplus US$ 3,68 pada kuartal sebelumnya.
Alhasil, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit US$7,4 miliar pada April-Juni 2023 atau berbanding terbalik dengan surplus sebesar US$ 6,52 miliar pada Januari-Maret 2023.
Transaksi berjalan berbalik arah menjadi defisit karena melemahnya ekspor. Kaburnya investor asing juga membuat Neraca Pembayaran Indonesia terperosok ke zona negatif.
Neraca transaksi finansial juga masuk ke zona negatif karena derasnya capital outflow. Asing memilih kabur sejalan dampak kenaikan ketidakpastian pasar keuangan global, serta peningkatan pembayaran global bonds dan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo sesuai pola kuartalan.
Neraca transaksi finansial yang merekam investasi langsung dan portofolio membukukan defisit sebesar US$ 4,97 miliar pada April-Juni 2023, berbalik arah dari surplus US$ 3,68 miliar pada Januari-Maret 2023.
Investasi langsung masih mencatatkan surplus sebesar US$ 3,31 miliar pada kuartal II-2023, turun dari US$ 3,86 miliar pada kuartal I-2023. Masih besarnya investasi langsung menunjukkan jika Indonesia masih menjadi tujuan menarik bagi investor asing di sektor riil.
Namun, tidak demikian dengan investasi portofolio yang merekam transaksi investasi di saham dan obligasi. Neraca investasi portofolio mencatatkan defisit sebesar US$ 2,59 miliar pada kuartal II-2023, berbalik arah dari surplus US$ 3,03 miliar pada kuartal I-2023.
Besarnya defisit pada transaksi berjalan serta investasi portofolio membuat, secara keseluruhan, NPI mencatat defisit sebesar US$ 7,37 miliar pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal III-2022.
Defisit pada April-Juni 2023 juga berbanding terbalik dengan surplus sebesar US$ 6,52 miliar pada Januari-Maret 2023.
Risalah FOMC, The Fed Beri Sinyal Dovish?
Risalah Federal Open Market Committee (FOMC) akan diadakan pada Rabu pagi pekan ini. Pada pertemuan kebijakan bulan November, FOMC mempertahankan suku bunga utama tidak berubah pada 5,25 - 5,50%, sejalan dengan ekspektasi dan prakiraan pasar, dan hanya ada sedikit perubahan dalam pernyataan tersebut.
Mengingat inflasi Negeri Paman Sam kembali turun pada bulan Oktober lalu, pelaku pasar akan mencari sinyal lebih lanjut bahwa siklus kenaikan suku bunga mungkin akan segera berakhir.
Fokus pasar pada risalah Federak Open market Committee (FOMC) pekan ini adalah apakah The Fed berada di jalur yang tepat dengan target inflasi 2%, pelaporan lapangan kerja, menghindari resesi, atau apakah perekonomian AS sedang lesu.
Namun, beberapa ahli memperkirakan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga pada paruh pertama tahun 2024, bukan pada paruh kedua.
Pengumuman Suku Bunga Bank Indonesia, Bertahan atau Naik?
Pada Kamis (23/11/2023), Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan keputusan suku bunga acuan terbarunya. Pelaku pasar kemungkinan besar akan kembali terbelah dalam memperkirakan suku bunga pada bulan ini. Sebagian pelaku pasar memperkirakan BI akan tetap menahan suku bunga acuan di level 6,0% tetapi sebagian melihat BI kembali akan mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 6,25%.
BI secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuannya demi menjaga rupiah pada Oktober 2023. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik 25 basis poin (bp) menjadi 6% pada Oktober lalu.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 13 instansi/lembaga memperkirakan BI menahan suku bunga di level 5,75% pada Oktober lalu.
Sedangkan satu lembaga memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,0% pada Oktober lalu.
Namun nyatanya, BI lebih memilih untuk menaikan suku bunga acuannya demi menjaga nilai tukar rupiah. Alhasil setelah suku bunga acuan dinaikkan, rupiah tepatnya pada awal November berhasil menguat signifikan dan saat ini sudah berada di bawah sedikit level psikologis Rp 15.500/US$.
Adapun berikutnya dari global pada Kamis dan Jumat pekan depan, data awal dari aktivitas manufaktur dan jasa dalam Purchasing Manager's Index (PMI) periode November juga akan dirilis.
Adapun negara-negara yang akan merilis data awal PMI manufaktur dan jasa periode November 2023 yakni Australia, Uni Eropa, AS, Inggris, dan Jepang.
Sementara itu, pada Jumat pekan depan, data inflasi Jepang periode Oktober 2023 juga akan dirilis. Inflasi Jepang diperkirakan kembali naik menjadi 3,2% (yoy) dan naik menjadi 2,9% (month-to-month/mtm).
(mza/mza)