
Ekonomi Global & Rupiah Buat Jokowi Was-Was, Sampai Kapan?

Pasar saham dan rupiah hari ini berpotensi bergerak fluktuatif seiring dengan investor yang wait and see terhadap kondisi ekonomi global dan politik nasional. Investor sedang memasang mode wait and see sembari memantau proses pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pemilu 2024.
Sebagai informasi ada tiga capres yang akan maju pada Pilpres 2024, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Kini, ketiga pasangan calon (paslon) sudah memiliki capres dan cawapresnya. Adapun masa pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2024 atau Pilpres 2024 akan berlangsung sepekan mulai dari 19 Oktober hingga 25 Oktober.
Kondisi pasar keuangan ambruk di tengah arus dana asing yang keluar dengan begitu derasnya khususnya pekan lalu.
Selain itu, data transaksi 16 - 19 Oktober 2023 yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp5,36 triliun terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI.
Lebih lanjut, capital outflow ini tidak hanya terjadi pada pekan lalu melainkan sudah terjadi bahkan dalam empat minggu beruntun.
Derasnya capital outflow ini terjadi secara beruntun sejak minggu ke-4 September khususnya dalam data transaksi 25-27 September 2023 yang tercatat nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp7,77 triliun terdiri dari jual neto Rp7,86 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,07 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp2,16 triliun di SRBI.
Dalam empat minggu terakhir, dana asing telah keluar dari Indonesia dengan total hampir Rp20 triliun dengan dominasi capital outflow dari SBN hampir Rp19 triliun.
KSSK Rilsi Kebijakan Baru Tahan Rupiah
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan merilis paket kebijakan untuk merespons situasi perekonomian terkini. Terutama yang disebabkan oleh global yang memburuk dan berdampak ke ekonomi dan pasar keuangan Indonesia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSS) Ke Istana Negara, Senin (23/10/2023), guna memberikan update situasi terkini dan perkembangan ekonomi global. Rapat ini digelar di tengah kabar melemahnya Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS.
Hadir dalam rapat tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
Pemanggilan khusus tim KSSK ke Istana ini menunjukkan pelemahan rupiah dan situasi ekonomi global saat ini sudah membuat banyak pihak khawatir, termasuk Jokowi.
Kita akan merilis paket kebijakan untuk merespons situasi perekonomian terkini. Terutama yang disebabkan oleh global yang memburuk dan berdampak ke ekonomi dan pasar keuangan Indonesia.
"Kita akan terus sinkronkan kebijakan moneter dan fiskal agar dalam situasi di mana pemicunya adalah negara seperti Amerika Serikat dampaknya ke ekonomi kita bisa dimitigasi dan diminimalkan. Baik terhadap nilai tukar, inflasi, maupun terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan," terang Sri Mulyani usai rapat.
Sri Mulyani menjelaskan, tekanan terhadap rupiah disebabkan oleh situasi global, khususnya bersumber dari Amerika Serikat (AS). Suku bunga acuan AS dimungkinkan masih terus naik, demi meredam inflasi tinggi.
"Kita semua tahu fenomena global saat ini dengan Amerika Serikat yang hadapi inflasi yang cukup tertahan tinggi, dan kondisi ekonomi yang cukup kuat," ungkap Sri Mulyani.
"Mereka kemudian mengeluarkan signal atau paling tidak dibaca market, bahwa higher for longer itu akan terjadi dan ini yang sebabkan banyaknya capital flowing back to Amerika Serikat," terangnya.
Nantinya KSSK akan kembali melakukan rapat di akhir bulan, dimana akan diteliti pada sektor keuangan apakah memiliki daya tahan yang meyakinkan pada kondisi yang baik.
AS Akan Rilis Pertumbuhan Ekonomi
Sementara, pelaku pasar akan menantikan data pertumbuhan ekonomi AS akan dirilis pekan ini sebagai acuan laju pertumbuhan ekonomi global. Semakin meningkatnya ekonomi AS akan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi global, namun dapat menjadi indikator bahwa laju inflasi cukup sulit untuk dikendalikan. Tingginya laju inflasi dapat menjadi sentimen negatif untuk pasar dengan suku bunga yang akan dapat kembali hawkish.
Sebagai catatan ekonomi AS diperkirakan konsensus yang tercatat di Trading Economics sebesar 4,2% jauh lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya sebesar 2,1% secara tahunan (year on year/yoy). Pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan pergerakan pasar global, pasalnya AS merupakan negara dengan PDB tertinggi di dunia.
(ras/ras)