Newsletter

Semua Alarm Bahaya Sudah Menyala, IHSG- Rupiah dalam Ancaman

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
14 November 2024 06:07
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam kemarin menjelang data inflasi AS, IHSG dan rupiah ambruk
  • Wall Street ditutup beragam setelah data inflasi AS keluar
  • Data inflasi AS dan melonjaknya dolar diperkirakan akan menjadi sentimen pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam tetapi mayoritas mengecewakan kemarin, Rabu (13/11/2024) di mana Indeks Harga Saham Gabungan melemah, rupiah ambruk dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) melonjak.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih melemah pada hari ini seiring dengan buruknya data inflasi Amerika Serikat (AS) serta lonjakan indeks dolar. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada akhir perdagangan Rabu (13/11/2024),setelah sempat menghijau di perdagangan sesi I kemudian bergerak volatil di sesi II.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,18% ke posisi 7.308,67. IHSG makin dekati lagi level psikologis 7.200 pada akhir perdagangan kemarin.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp 11 triliun dengan melibatkan 38 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 293 saham menguat, 298 saham melemah, dan 200 saham stagnan.


Secara sektoral, sektor konsumer primer dan properti menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan kemarin yakni masing-masing mencapai 1,79% dan 1,56%.

Sementara dari sisi saham, emiten minimarket PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) dan dua emiten konglomerasi PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan IHSG masing-masing mencapai 8,1, 7,4, dan 4,8 indeks poin.

IHSG berbalik melemah setelah sempat menghijau di perdagangan sesi I kemudian bergerak volatil di sesi II. Sentimen dari dalam negeri yang masih cenderung kurang menggembirakan dan jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).

Kabar kurang menggembirakan datang dari data terbaru penjualan ritel RI, di mana Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan eceran yang tampak kurang memuaskan. Realisasi per September 2024, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat 210,6 atau tumbuh sebesar 4,8% (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan Agustus 2024 yang tumbuh 5,8% yoy. Sedangkan pada prakiraan Oktober 2024 tampak melandai menjadi 1% yoy.

Sementara secara bulanan, berada di zona kontraksi yakni 2,5% (month-on-month/mom) pada September dari sebelumnya tumbuh 1,7% mom (Agustus 2024). Lebih lanjut, pada prakiraan Oktober 2024, IPR tampak kembali di zona kontraksi yakni di angka 0,5% mom.

Jika dilihat lebih rinci, penekan IPR baik secara bulanan maupun tahunan terjadi dari kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi. Secara bulanan dan tahunan, kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi terkontraksi masing-masing sebesar -12,9% dan -29,4%.

Prakiraan IPR Oktober 2024 semakin memburuk dibandingkan September 2024 khususnya bersamaan dengan kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi yang selalu berada di zona kontraksi secara tahunan. Penjualan ritel yang lemah bisa menjadi sinyal bahwa konsumen semakin berhati-hati dalam pengeluaran, yang berpotensi memperlambat konsumsi domestik-komponen utama yang menopang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sementara itu, rupiah berhasil rebound di hadapan dolar Amerika Serikat hingga akhir perdagangan Rabu (13/11/2024), setelah dua hari berturut-turut alami pelemahan.

Melansir data Refinitiv, pada Rabu (13/11/2024) nilai tukar garuda naik tipis hingga 0,03% ke level Rp15.770/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi pada rentang Rp15.795/US$ hingga Rp15.740/US$. Bersamaan dengan penguatan rupiah, indeks dolar AS (DXY) juga naik hingga 0,09% pada pukul 15.00 di posisi 106,12, sedikit menguat dibandingkan angka penutupan sehari yang lalu yakni di posisi 106,02.

Lebih lanjut penguatan rupiah terjadi di tengah penguatan DXY yang didorong oleh ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) tidak akan seagresif yang diperkirakan dalam memangkas suku bunga.

Berdasarkan survei CME FedWatch Tool pada 27 September 2024, ekspektasi untuk pemangkasan suku bunga cukup tinggi, dengan proyeksi penurunan hingga 50 basis poin (bps) menuju kisaran 4,25-4,50% yang diprediksi sebesar 53,3%.

Namun, dalam pertemuan November, The Fed hanya memangkas suku bunga sebesar 25 bps. Ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada pertemuan Desember juga menurun.

Awalnya, per 1 November 2024, pasar memperkirakan adanya pemangkasan 25 bps dengan probabilitas sebesar 82,73%, namun saat ini, probabilitasnya turun menjadi hanya 58,7%.

Perubahan sentimen pasar ini didorong oleh data tenaga kerja AS yang solid, termasuk angka non-farm payroll yang di atas ekspektasi, serta laju pengangguran yang rendah.

Selain itu, hasil pemilu AS yang memenangkan Donald Trump atas Kamala Harris juga turut memicu penguatan DXY. Investor khawatir bahwa kebijakan Trump yang cenderung menaikkan tarif impor akan membuat inflasi di AS lebih sulit terkendali, mendorong harga-harga barang menjadi lebih mahal dan menambah tekanan pada The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi.

Presiden Federal Reserve Minneapolis, Neel Kashkari, menegaskan bahwa inflasi AS kemungkinan masih akan mengalami lonjakan, bahkan melebihi ekspektasi pasar.

Konsensus memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk Oktober akan dirilis pada malam ini (13/11/2024), dengan proyeksi pertumbuhan 2,6% yoy dari sebelumnya 2,4% yoy.

Jika inflasi meningkat lebih tinggi, maka peluang The Fed untuk menahan suku bunga di pertemuan Desember akan semakin besar, memberikan tekanan tambahan bagi rupiah.

Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 10 tahun melesat ke 6,91% atau rekor tertinggi sejak akhir Juli 2024. Kondisi ini mencerminkan investor tengah menjual SBN sehingga harganya jatuh dan imbal hasil naik.


Bursa saham Amerika Serikat (AS) bergerak variatif pada penutupan perdagangan Rabu (13/11/2024) waktu setempat, dengan investor masih mencerna dampak dari laporan inflasi yang sesuai ekspektasi. Data ini meningkatkan peluang Federal Reserve untuk kembali memangkas suku bunga pada Desember.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 47,21 poin atau 0,11% ke 43.958,19, dan S&P 500 sedikit menguat 1,39 poin atau 0,02% ke 5.985,38. Namun, Nasdaq Composite melemah 0,26% atau 50,66 poin ke level 19.230,74, seiring dengan tekanan pada saham-saham teknologi.

Laporan indeks harga konsumen (CPI) AS bulan Oktober menunjukkan inflasi tahunan merangkak naik ke 2,6%, naik dibandingkan September (2,4%).

Angka ini mencerminkan stabilitas inflasi di tengah perlambatan ekonomi global. Inflasi inti, yang tidak memperhitungkan harga makanan dan energi, tercatat naik 3,3%, juga sesuai ekspektasi.

Secara bulanan inflasi AS mencapai 0,2% pada Oktober atau sama dengan September 2024.

Setelah rilis data ini, probabilitas pemangkasan suku bunga oleh The Fed dalam pertemuan Desember meningkat menjadi 82% menurut CME FedWatch, dibandingkan 59% pada hari sebelumnya. Pasar kini memperkirakan The Fed akan mengambil langkah untuk menurunkan biaya pinjaman guna mendorong pertumbuhan, terutama setelah hasil pemilu yang memicu optimisme akan kebijakan ekonomi lebih longgar.

"Pasar sepertinya tidak perlu khawatir lagi dengan inflasi atau kebijakan The Fed dalam jangka pendek," ujar David Russell, Kepala Strategi Pasar Global di TradeStation, kepada CNBC International.

"Rally setelah pemilu masih berjalan, dan angka inflasi ini tidak akan menghentikan tren tersebut. Pemangkasan suku bunga Desember masih mungkin terjadi." imbuhnya.

Di sisi komoditas, harga emas melemah 0,91% menjadi US$ 2.582,7 per troy ounce, tertekan oleh ekspektasi suku bunga yang lebih rendah yang meningkatkan daya tarik aset berisiko. Minyak mentah juga mengalami penurunan tipis 0,21% ke USD 67,98 per barel, di tengah ketidakpastian permintaan energi global.

Sementara itu, indeks dolar AS naik 0,4% ke 106,50, level tertinggi sejak April 2024, diikuti pelemahan euro yang turun 0,6% ke 1,056. Penguatan dolar ini mengisyaratkan daya tarik safe haven di tengah pergerakan pasar yang bervariasi.

Nasdaq yang cenderung melemah dipengaruhi oleh penurunan saham teknologi, terutama sektor semikonduktor. ETF semikonduktor seperti VanEck Semiconductor (SMH) dan iShares Semiconductor (SOXX) masing-masing turun lebih dari 1%, mencerminkan sesi perdagangan negatif keempat berturut-turut. Saham Nvidia, yang merupakan salah satu perusahaan teknologi yang tengah jadi sorotan, turun sekitar 1%.


Selain itu, sektor ritel menunjukkan performa yang beragam menjelang musim belanja liburan. Laporan Morgan Stanley menyebutkan bahwa konsumen kelas menengah ke bawah masih selektif dalam pengeluaran, dengan permintaan terhadap barang murah lebih kuat daripada barang mewah. "Dengan inflasi yang masih terasa, banyak konsumen tidak berencana belanja besar-besaran," ujar Michelle Weaver, Analis Strategi di Morgan Stanley.

Beberapa investor, seperti miliarder Nelson Peltz, memperingatkan bahwa euforia pasca pemilu mungkin tidak berlangsung lama. "Euforia ini tak akan bertahan selamanya. Pasar akan terguncang oleh berbagai faktor di depan," ujar Peltz dalam konferensi Delivering Alpha di New York.

Pandangan investor dan pergerakan pasar ke depan akan sangat bergantung pada kebijakan ekonomi AS, serta perkembangan data ekonomi seperti indeks harga produsen (PPI) dan penjualan ritel yang dijadwalkan rilis pekan ini.

Pasar keuangan Indonesia hari ini diproyeksi akan tertekan dan cenderung melemah karena besarnya tekanan eksternal. Tekanan tersebut datang dari data inflasi AS, lonjakan dolar AS, serta imbal hasil US treasury.

Inflasi AS Kembali Panas

Inflasi Amerika Serikat (AS) kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai.

Inflasi inti mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.

Secara bulanan, inflasi umum mencapai 0,2% pada Oktober 2024 atau sama dengan September. Demikian juga dengan inflasi inti bulanan.


Kondisi ini diperparah oleh hasil pemilu AS yang dimenangkan oleh Donald Trump. Kebijakan perdagangan proteksionis dan tarif tinggi yang diusung Trump dipandang akan memicu tekanan inflasi lebih tinggi karena meningkatnya biaya impor.

Bagi Indonesia, kenaikan inflasi ini menjadi alarm bahaya. Jika inflasi AS terus menanjak naik maka peluang The Fed memangkas suku bunga secara agresif akan musnah. Kondisi ini bisa memicu capital outflow serta mengurangi ruang bagi Bank Indonesia untuk memangkas BI rate.

Indeks Dolar dan Imbal Hasil US Treasury Terbang

Indeks dolar AS (DXY) ditutup di posisi 106,505. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 1 November 2023 atau lebih dari setahun terakhir.

Lonjakan indeks dolar menandai jika investor tengah memburu dolar kembali dan meninggalkan instrumen berdenominasi non-dolar seperti rupiah. Akibatnya, rupiah bisa tertekan hebat karena adanya dana asing yang keluar.

Kondisi ini diperparah dengan melesatnya imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melesat ke 4,43% pada perdagangan kemarin atau rekor tertinggi sejak 1 Juli 2024.

Dua kondisi di atas mencerminkan jika investor sudah berbondong-bondong ke Amerika Serikat kembali sehingga instrumen investasi di Emerging markets seperti Indonesia ditinggal dan melemah.

Ekspektasi Suku Bunga Fed dan Implikasinya bagi Rupiah

Saat ini, pasar semakin skeptis bahwa The Fed akan melanjutkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember mendatang. Menurut CME FedWatch Tool, ekspektasi pemangkasan suku bunga telah menurun dari 82,73% menjadi hanya 58,7%. Kenaikan inflasi yang berkelanjutan dan tekanan harga dari kebijakan tarif yang dijanjikan Trump mengindikasikan bahwa suku bunga AS bisa bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama.

Apabila The Fed memilih menahan suku bunganya atau bahkan kembali bersikap hawkish, dolar AS kemungkinan akan semakin menguat. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas rupiah dan arus modal di Indonesia, mengingat investor cenderung memindahkan dana mereka ke aset berdenominasi dolar yang dianggap lebih aman.

Kepala Ekonom Barclays, Mitul Kotecha, menilai bahwa selama prospek inflasi AS masih tinggi, dolar berpeluang terus menguat. "Kondisi ini memicu potensi pelemahan lebih lanjut pada mata uang negara berkembang seperti rupiah, yang rentan terhadap sentimen global," ujar Kotecha.

Fokus investor kini tertuju pada pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang dijadwalkan Kamis malam serta data penjualan ritel AS pada hari Jumat. Kedua acara ini diantisipasi akan memberikan sinyal tambahan mengenai arah kebijakan moneter AS.

Dengan inflasi yang masih di atas target The Fed di level 2%, pasar memproyeksikan bahwa bank sentral AS mungkin akan mempertahankan suku bunganya lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Kondisi ini memberi tantangan tersendiri bagi perekonomian Indonesia, khususnya terkait tekanan inflasi impor yang dapat mempengaruhi biaya hidup dan daya beli masyarakat.

Arus Keluar Dana Asing Semakin Deras

Arus keluar dana asing dari pasar keuangan Indonesia kian deras seiring penguatan dolar AS. Dalam periode 4-7 November 2024, tercatat dana asing yang keluar mencapai Rp10,23 triliun, terdiri dari aksi jual di pasar saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Aliran dana asing yang terus meninggalkan pasar domestik ini mencerminkan ketidakpastian kebijakan moneter global, terutama di AS.

Capital outflow masih terjadi di pasar saham Indonesia, kemarin. Net sell tercatat mencapai Rp 692,6 miliar. Dalam sepekan, aksi jual asing menembus Rp 7,62 triliun.

Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • AS Monthly Budget Statement (Oktober)
  • AS API Crude Oil Stock Change (NOV/08)
  • AS PPI MoM (Oktober)
  • AS Core PPI MoM (Oktober)
  • AS Initial Jobless Claims (NOV/09)
  • AS Continuing Jobless Claims (NOV/02)
  • AS EIA Crude Oil Stocks Change (NOV/08)
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT TBS Energi Utama Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Logindo Samudramakmur Tbk.
  • Pemberitahuan RUPS Rencana PT Agung Menjangan Mas Tbk
  • Tanggal Pembayaran Saham Bonus PT Mandala Multifinance Tbk.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • RUPSlb AMMS

  • RUPSLb LEAD

  • Cash Dividend ASSA

  • RUPSLb BEKS
  • Cash Dividend MPXL
  • Cash Dividend SCMA
  • RUPSLb TOBA

Berikut untuk indikator ekonomi RI :


CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular