Newsletter

Semua Alarm Bahaya Sudah Menyala, IHSG- Rupiah dalam Ancaman

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
14 November 2024 06:07
mal
Foto: ist

Pasar keuangan Indonesia hari ini diproyeksi akan tertekan dan cenderung melemah karena besarnya tekanan eksternal. Tekanan tersebut datang dari data inflasi AS, lonjakan dolar AS, serta imbal hasil US treasury.

Inflasi AS Kembali Panas

Inflasi Amerika Serikat (AS) kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai.

Inflasi inti mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.

Secara bulanan, inflasi umum mencapai 0,2% pada Oktober 2024 atau sama dengan September. Demikian juga dengan inflasi inti bulanan.


Kondisi ini diperparah oleh hasil pemilu AS yang dimenangkan oleh Donald Trump. Kebijakan perdagangan proteksionis dan tarif tinggi yang diusung Trump dipandang akan memicu tekanan inflasi lebih tinggi karena meningkatnya biaya impor.

Bagi Indonesia, kenaikan inflasi ini menjadi alarm bahaya. Jika inflasi AS terus menanjak naik maka peluang The Fed memangkas suku bunga secara agresif akan musnah. Kondisi ini bisa memicu capital outflow serta mengurangi ruang bagi Bank Indonesia untuk memangkas BI rate.

Indeks Dolar dan Imbal Hasil US Treasury Terbang

Indeks dolar AS (DXY) ditutup di posisi 106,505. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 1 November 2023 atau lebih dari setahun terakhir.

Lonjakan indeks dolar menandai jika investor tengah memburu dolar kembali dan meninggalkan instrumen berdenominasi non-dolar seperti rupiah. Akibatnya, rupiah bisa tertekan hebat karena adanya dana asing yang keluar.

Kondisi ini diperparah dengan melesatnya imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melesat ke 4,43% pada perdagangan kemarin atau rekor tertinggi sejak 1 Juli 2024.

Dua kondisi di atas mencerminkan jika investor sudah berbondong-bondong ke Amerika Serikat kembali sehingga instrumen investasi di Emerging markets seperti Indonesia ditinggal dan melemah.

Ekspektasi Suku Bunga Fed dan Implikasinya bagi Rupiah

Saat ini, pasar semakin skeptis bahwa The Fed akan melanjutkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember mendatang. Menurut CME FedWatch Tool, ekspektasi pemangkasan suku bunga telah menurun dari 82,73% menjadi hanya 58,7%. Kenaikan inflasi yang berkelanjutan dan tekanan harga dari kebijakan tarif yang dijanjikan Trump mengindikasikan bahwa suku bunga AS bisa bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama.

Apabila The Fed memilih menahan suku bunganya atau bahkan kembali bersikap hawkish, dolar AS kemungkinan akan semakin menguat. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas rupiah dan arus modal di Indonesia, mengingat investor cenderung memindahkan dana mereka ke aset berdenominasi dolar yang dianggap lebih aman.

Kepala Ekonom Barclays, Mitul Kotecha, menilai bahwa selama prospek inflasi AS masih tinggi, dolar berpeluang terus menguat. "Kondisi ini memicu potensi pelemahan lebih lanjut pada mata uang negara berkembang seperti rupiah, yang rentan terhadap sentimen global," ujar Kotecha.

Fokus investor kini tertuju pada pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang dijadwalkan Kamis malam serta data penjualan ritel AS pada hari Jumat. Kedua acara ini diantisipasi akan memberikan sinyal tambahan mengenai arah kebijakan moneter AS.

Dengan inflasi yang masih di atas target The Fed di level 2%, pasar memproyeksikan bahwa bank sentral AS mungkin akan mempertahankan suku bunganya lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Kondisi ini memberi tantangan tersendiri bagi perekonomian Indonesia, khususnya terkait tekanan inflasi impor yang dapat mempengaruhi biaya hidup dan daya beli masyarakat.

Arus Keluar Dana Asing Semakin Deras

Arus keluar dana asing dari pasar keuangan Indonesia kian deras seiring penguatan dolar AS. Dalam periode 4-7 November 2024, tercatat dana asing yang keluar mencapai Rp10,23 triliun, terdiri dari aksi jual di pasar saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Aliran dana asing yang terus meninggalkan pasar domestik ini mencerminkan ketidakpastian kebijakan moneter global, terutama di AS.

Capital outflow masih terjadi di pasar saham Indonesia, kemarin. Net sell tercatat mencapai Rp 692,6 miliar. Dalam sepekan, aksi jual asing menembus Rp 7,62 triliun.

(emb/emb)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular