Newsletter

Dunia Tunggu Kabar Genting dari Amerika Setelah Dolar Ngamuk

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
13 November 2024 05:57
Cover Topik, Fokus Ekonomi RI Suram
Foto: Cover Topik/ Fokus Ekonomi RI Suram/ Edward Ricardo
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam, IHSG menguat sementara rupiah melemah
  • Wall Street kompak merah akibat aksi profit taking
  • Sentimen inflasi AS dan masih derasnya outflow akan menjadi penggerak pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar keuangan Indonesia ditutup  beragam pada perdagangan kemarin, Selasa 912/11/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sementara nilai tukar rupiah ambruk dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) merangkak naik.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih volatile hari ini karena investor menunggu data inflasi Amerika Serikat (AS). Selengkapnya mengenai sentimen hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup menguat 0,76% ke posisi 7.321,99. IHSG pun kembali ke level psikologis 7.300, setelah beberapa hari terakhir bertahan di level psikologis 7.200.

Nilai transaksi indeks pada Selasa kemarin (12/11/2024)  mencapai sekitar Rp 13 triliun dengan melibatkan 30 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 300 saham menguat, 276 saham melemah, dan 215 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor energi dan teknologi menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan hari kemarin yakni masing-masing mencapai 2,83% dan 2,6%.

Sementara dari sisi saham, emiten pertambangan Grup Salim PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menjadi penopang terbesar IHSG yakni masing-masing mencapai 8,4 dan 6,9 indeks poin.

Selain itu, ada juga dua emiten perbankan raksasa yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) masing-masing sebesar 6,6 dan 5,9 indeks poin.

IHSG bangkit setelah beberapa hari terakhir merana hingga sempat menyentuh level psikologis 7.100. Aksi penjualan bersih (net sell) investor asing menjadi pemicunya dalam beberapa hari terakhir.

Namun, mulai banyaknya saham-saham besar yang sudah menyentuh level rendah membuat pasar di dalam negeri kembali melirik pasar saham RI dan cenderung kembali memburunya. Selain itu, bangkitnya saham-saham besar juga turut menopang IHSG.

Sebelumnya kemarin, asing kembali melakukan aksi penjualan bersih (net sell) atau outflow hingga mencapai Rp 1,53 triliun di seluruh pasar. Aksi net sell asing juga masih terjadi di saham-saham perbankan raksasa.

Asing yang masih mencatatkan net sell terjadi karena pasar saham AS dan China kembali menarik setelah Donald Trump resmi memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan stimulus ekonomi di China akan diberikan.

Kemenangan Trump di pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) pada Rabu pekan lalu dikhawatirkan menggencarkan kebijakan yang menekan negara Asia, termasuk Indonesia.





Sementara nilai tukar garuda kembali tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah dana asing yang berbondong-bondong keluar dari pasar keuangan domestik.

Melansir data Refinitiv, nilai tukar garuda ambruk hingga 0,64% ke level Rp15.775/US$ pada akhir perdagangan Selasa (12/11/2024). Sepanjang hari kemarin, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.797/US$ hingga Rp15.720/US$.

Sementara itu,Indeks Dolar AS (DXY) terpantau menguat 0,18% pada pukul 15.00 di posisi 105,735, sedikit naik dibandingkan angka penutupan pekan lalu yang berada di posisi 105,543. Penguatan ini yang menjadi salah satu penekan nilai rupiah hari ini.


Nilai tukar rupiah kemarin tampaknya masih akan tertekan di tengah keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik untuk sementara waktu.

Bank Indonesia (BI) menunjukkan untuk periode 4-7 November 2024, tampak dana asing sebesar Rp10,23 triliun kabur dari tiga instrumen keuangan dalam negeri, yakni saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), masing-masing sebesar Rp2,29 triliun, Rp4,66 triliun, dan Rp3,28 triliun.

Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Fitra Jusdiman, menyebutkan bahwa faktor global menjadi penyebab utama pelemahan rupiah, terutama dampak dari hasil Pilpres Amerika Serikat yang dimenangkan Donald Trump.

"Faktor utama pelemahan rupiah dan aset domestik saat ini lebih berasal dari faktor global, utamanya dari AS, di mana banyak dana asing yang kembali ke AS," jelas Fitra.

Sebagai tambahan, Global Markets Strategist PT Bank Maybank Indonesia Tbk Myrdal Gunarto juga menyebutkan bahwa para pelaku pasar masih dipenuhi ketidakpastian terkait kebijakan yang akan dilakukan oleh Donald Trump, sehingga investor banyak melakukan aksi profit taking terlebih dahulu dalam pasar domestik.

Sejalan dengan itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai volatilitas rupiah memang cukup tinggi saat ini, namun masih cenderung stabil.

David juga menegaskan bahwa faktor dalam negeri belum memberikan katalis utama yang mempengaruhi pelemahan rupiah.

Di sisi lain, Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menyoroti ekspektasi inflasi AS sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi keputusan investor, dengan kemungkinan kenaikan inflasi AS dapat mendorong Federal Reserve untuk mempertahankan kebijakan suku bunga ketat.

Menurut Ekonom Indo Premier Sekuritas, Luthfi Ridho, tren ini juga merupakan pola musiman, terutama menjelang akhir tahun yang ditandai dengan kebutuhan impor bahan bakar, persiapan libur Natal dan Tahun Baru, serta pembayaran utang dan dividen.

Peningkatan permintaan dolar AS yang tinggi pada periode ini turut menjadi tekanan bagi rupiah.

Bank Indonesia terus berupaya menstabilkan nilai tukar dengan berbagai intervensi pasar guna mengantisipasi lonjakan volatilitas.

Di pasar obligasi, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun juga merangkak naik ke 6,87% kemarin, dari 6,75% pada hari sebelumnya. Imbal hasil berbanding terbalik dengan harga. Kenaikan imbal hasil menunjukkan harga SBN yang turun karena dilepas investor sehingga imbal hasil pun naik.

 

Pasar saham Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan signifikan pada penutupan Selasa (12/11/2024) atau Rabu dini hari, dengan pelaku pasar yang melakukan aksi ambil untung setelah reli panjang pasca kemenangan pemilu Donald Trump.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 382,15 poin, atau 0,86%, berakhir di level 43.910,98. Indeks S&P 500 melemah 0,29% ke 5.983,99, sedangkan Nasdaq Composite turun tipis 0,09% ke 19.281,40. Penurunan ini menandai berakhirnya tren kenaikan lima hari berturut-turut untuk Nasdaq dan S&P 500.

Koreksi pasar kali ini didorong oleh tekanan pada saham-saham dalam kategori "Trump trade", terutama saham berkapitalisasi kecil seperti di indeks Russell 2000, yang turun sekitar 1,8%.

Saham Tesla yang sebelumnya reli hingga 31% sejak pemilu, turun lebih dari 6%, sedangkan Trump Media & Technology Group mengalami penurunan mendekati 9%. Selain itu, beberapa saham teknologi besar yang memimpin kenaikan juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan, yang menyebabkan koreksi ini.

Mark Malek, Chief Investment Officer di Siebert, menyebutkan bahwa koreksi ini merupakan refleksi dari "kelelahan" pasar setelah reli panjang, dengan beberapa pelaku pasar kembali mencemaskan risiko utang dan defisit AS yang belum terselesaikan.

"Ini mungkin saat yang tepat untuk sedikit berhati-hat. "defisit selalu menjadi masalah, tetapi saat ini pasar menganggapnya sebagai masalah yang nyata dan ini membuat investor cenderung mengurangi eksposure pada saham." ujar Malek, dikutip dari CNBC Indonesia.

Tekanan ini juga muncul di tengah penantian rilis data inflasi konsumen dan produsen yang dijadwalkan pekan ini, yang akan menjadi acuan penting bagi Federal Reserve untuk menentukan kebijakan moneter selanjutnya. Rilis data ini sangat diantisipasi mengingat tren inflasi yang masih belum sepenuhnya stabil, yang bisa mempengaruhi arah suku bunga.

Pasar minyak dan emas juga mencatat penurunan pada perdagangan Selasa. Harga emas turun 0,5% menjadi $2.604,5 per ounce, sedangkan harga minyak mentah (WTI) melemah tipis 0,07% ke $67,99 per barel. Ini menandakan adanya penurunan minat pada aset safe haven di tengah ketidakpastian kebijakan moneter ke depan.

Selain itu, dalam pasar obligasi, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun tercatat naik 2,809% menjadi 4,429%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan suku bunga lebih lanjut di tengah inflasi yang masih tinggi.

Kenaikan imbal hasil ini semakin mempertegas tekanan pada saham-saham berisiko, yang menjadikan pasar obligasi sebagai alternatif lebih menarik bagi investor dalam jangka pendek.

Dengan fokus pasar kini beralih pada data inflasi yang akan rilis pekan ini, pelaku pasar akan terus memantau apakah data inflasi yang diumumkan mampu memberikan sinyal yang jelas terhadap arah kebijakan suku bunga ke depan. Apabila inflasi ternyata lebih tinggi dari ekspektasi, ini bisa memperkuat sentimen hawkish dari The Fed, yang berpotensi mendukung penguatan dolar AS dan memberikan tekanan tambahan pada mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah.

 

Pergerakan pasar keuangan hari ini diperkirakan akan sangat dipengaruhi oleh sikap wait and see data inflasi AS. Namun, indikator dalam negeri berupa ambruknya penjualan ritel juga bisa mempengaruhi pasar.

Penjualan Ritel Jeblok
ata Bank Indonesia (BI) menunjukkan penjualan eceran yang tampak kurang memuaskan. Realisasi per September 2024, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat 210,6 atau tumbuh sebesar 4,8% yoy lebih rendah dibandingkan Agustus 2024 yang tumbuh 5,8% yoy. Sedangkan pada prakiraan Oktober 2024 tampak melandai menjadi 1% yoy.


Sementara secara bulanan, berada di zona kontraksi yakni 2,5% mom pada September dari sebelumnya tumbuh 1,7% mom (Agustus 2024). Lebih lanjut, pada prakiraan Oktober 2024, IPR tampak kembali di zona kontraksi yakni di angka 0,5% mom.

Jika dilihat lebih rinci, penekan IPR baik secara bulanan maupun tahunan terjadi dari kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi.

Secara bulanan dan tahunan, kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi terkontraksi masing-masing sebesar -12,9% dan -29,4%.

Prakiraan IPR Oktober 2024 semakin memburuk dibandingkan September 2024 khususnya bersamaan dengan kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi yang selalu berada di zona kontraksi secara tahunan.


Kelompok ini tampak tak pernah tumbuh secara tahunan sepanjang 2024. Sementara secara bulanan, pertumbuhan kelompok ini hanya terjadi sebanyak tiga kali, yakni pada Maret, April, dan Agustus 2024.

Bahkan pada Oktober 2024, IPR kelompok ini diperkirakan mengalami perlambatan jauh lebih dalam dibandingkan periode sebelumnya baik secara bulanan maupun tahunan.

Penjualan ritel yang lemah bisa menjadi sinyal bahwa konsumen semakin berhati-hati dalam pengeluaran, yang berpotensi memperlambat konsumsi domestik-komponen utama yang menopang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Penurunan dalam sektor ritel juga akan berdampak pada berbagai sektor usaha, terutama perusahaan-perusahaan di sektor barang konsumsi yang mengandalkan permintaan domestik.

AS Rilis data Inflasi

Perhatian pasar hari ini tertuju pada rilis data inflasi Amerika Serikat yang berpotensi menggerakkan pasar global. Pada hari ini Rabu (13/11/2024), AS akan mengumumkan data inflasi inti (Core Inflation) dan tingkat inflasi tahunan akan diumumkan, dengan ekspektasi masing-masing di angka 3,3% dan 2,4%.

Sebagai catatan, inflasi AS pada September 2024 mencapai 2,4% (year on year/yoy). Tingkat inflasi menjadi pertimbangan utama bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam memutuskan kebijakan suku bunga.

Bila inflasi ternyata lebih tinggi dari proyeksi ini, kemungkinan besar Federal Reserve akan bersikap hawkish dan mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

Hal ini akan berdampak pada dolar AS yang semakin menguat, terutama terhadap mata uang negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kenaikan dolar ini menjadi risiko bagi rupiah, mengingat kenaikan suku bunga AS sering kali diikuti oleh aliran dana yang keluar dari pasar negara berkembang.
 

Dolar Ngamuk, Awas  Rupiah Terus Tertekan

Indeks Dolar AS (DXY) kembali menunjukkan kekuatannya, naik signifikan dalam beberapa hari terakhir. Dolar yang perkasa ini mengindikasikan bahwa investor global masih memilih instrumen dolar, menyebabkan tekanan tambahan pada mata uang rupiah.

Indeks dolar ditutup di posisi 105,54 atau level tertinggi sejak awal Juli 2024 atau lebih dari empat bulan. Indeks bahkan sempat menyentuh 106,2 yang menjadi rekor tertinggi dalam dua tahun.

Jika dolar terus menguat, rupiah kemungkinan besar akan mengalami pelemahan lebih lanjut, yang berpotensi meningkatkan biaya impor dan mempengaruhi harga barang-barang di Indonesia.

 

Dana Asing Kabur dari Pasar Keuangan Indonesia

Sentimen negatif terhadap rupiah tidak lepas dari tren keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik. Bank Indonesia mencatat arus keluar dana asing sebesar Rp 10,23 triliun selama periode 4-7 November 2024, yang terdiri dari aksi jual di saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Rinciannya, dana asing keluar dari pasar saham sebesar Rp 2,29 triliun, SBN Rp 4,66 triliun, dan SRBI Rp 3,28 triliun.

Arus dana asing masih kencang kelar dari Indonesia, terutama di pasar saham. Net sell tercatat Rp 1,11 triliun kemarin. Net sell juga terjadi pada perdagangan Senin kemarin yakni sebesar Rp 1,53 triliun.

Aliran keluar dana asing ini bisa jadi merupakan respons atas ketidakpastian kebijakan moneter di AS dan penguatan dolar yang menggoda investor untuk memindahkan dana mereka ke aset berdenominasi dolar. Selain itu, ekspektasi kenaikan suku bunga AS menciptakan imbal hasil yang lebih menarik bagi investor, sehingga menekan pasar keuangan negara berkembang.

Rilis data inflasi AS hari ini berpotensi menjadi penggerak utama pasar. Jika inflasi lebih tinggi dari ekspektasi, dolar kemungkinan besar akan semakin perkasa, memperbesar tekanan pada rupiah dan aset-aset lain di pasar negara berkembang. Di tengah arus keluar dana asing yang signifikan dan ketidakpastian ekonomi global, pelaku pasar di Indonesia perlu mencermati perkembangan ini dengan hati-hati.

Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • AS Pidato The Fed - Logan
  • AS Core Inflation Rate MoM OCT
  • AS Core Inflation Rate YoY OCT
  • AS Inflation Rate MoM OCT
  • AS Inflation Rate YoY OCT
  • AS CPI OCT
  • Pemberitahuan RUPS Rencana 30-06-2024 Rig Tenders Tbk
  • Pemberitahuan RUPS Rencana Aneka Tambang Tbk.
  • Tanggal Cum Dividen Tunai Interim PT Mark Dynamics Indonesia Tbk.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Warrant NAIK

  • RUPSlb ANTM

  • IPO NAIK

  • Cash Dividend MARK

  • RUPST RIGS

Berikut untuk indikator ekonomi RI :



CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular