
Dunia Tunggu Kabar Genting dari Amerika Setelah Dolar Ngamuk

Pasar saham Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan signifikan pada penutupan Selasa (12/11/2024) atau Rabu dini hari, dengan pelaku pasar yang melakukan aksi ambil untung setelah reli panjang pasca kemenangan pemilu Donald Trump.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 382,15 poin, atau 0,86%, berakhir di level 43.910,98. Indeks S&P 500 melemah 0,29% ke 5.983,99, sedangkan Nasdaq Composite turun tipis 0,09% ke 19.281,40. Penurunan ini menandai berakhirnya tren kenaikan lima hari berturut-turut untuk Nasdaq dan S&P 500.
Koreksi pasar kali ini didorong oleh tekanan pada saham-saham dalam kategori "Trump trade", terutama saham berkapitalisasi kecil seperti di indeks Russell 2000, yang turun sekitar 1,8%.
Saham Tesla yang sebelumnya reli hingga 31% sejak pemilu, turun lebih dari 6%, sedangkan Trump Media & Technology Group mengalami penurunan mendekati 9%. Selain itu, beberapa saham teknologi besar yang memimpin kenaikan juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan, yang menyebabkan koreksi ini.
Mark Malek, Chief Investment Officer di Siebert, menyebutkan bahwa koreksi ini merupakan refleksi dari "kelelahan" pasar setelah reli panjang, dengan beberapa pelaku pasar kembali mencemaskan risiko utang dan defisit AS yang belum terselesaikan.
"Ini mungkin saat yang tepat untuk sedikit berhati-hat. "defisit selalu menjadi masalah, tetapi saat ini pasar menganggapnya sebagai masalah yang nyata dan ini membuat investor cenderung mengurangi eksposure pada saham." ujar Malek, dikutip dari CNBC Indonesia.
Tekanan ini juga muncul di tengah penantian rilis data inflasi konsumen dan produsen yang dijadwalkan pekan ini, yang akan menjadi acuan penting bagi Federal Reserve untuk menentukan kebijakan moneter selanjutnya. Rilis data ini sangat diantisipasi mengingat tren inflasi yang masih belum sepenuhnya stabil, yang bisa mempengaruhi arah suku bunga.
Pasar minyak dan emas juga mencatat penurunan pada perdagangan Selasa. Harga emas turun 0,5% menjadi $2.604,5 per ounce, sedangkan harga minyak mentah (WTI) melemah tipis 0,07% ke $67,99 per barel. Ini menandakan adanya penurunan minat pada aset safe haven di tengah ketidakpastian kebijakan moneter ke depan.
Selain itu, dalam pasar obligasi, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun tercatat naik 2,809% menjadi 4,429%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan suku bunga lebih lanjut di tengah inflasi yang masih tinggi.
Kenaikan imbal hasil ini semakin mempertegas tekanan pada saham-saham berisiko, yang menjadikan pasar obligasi sebagai alternatif lebih menarik bagi investor dalam jangka pendek.
Dengan fokus pasar kini beralih pada data inflasi yang akan rilis pekan ini, pelaku pasar akan terus memantau apakah data inflasi yang diumumkan mampu memberikan sinyal yang jelas terhadap arah kebijakan suku bunga ke depan. Apabila inflasi ternyata lebih tinggi dari ekspektasi, ini bisa memperkuat sentimen hawkish dari The Fed, yang berpotensi mendukung penguatan dolar AS dan memberikan tekanan tambahan pada mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah.
(emb/emb)