Newsletter

Dunia Menunggu Kabar dari AS di Tengah Perang Hamas vs Israel

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
Rabu, 11/10/2023 06:00 WIB
Foto: AFP/JIM WATSON
  • IHSG menguat tetapi rupiah masih ambruk sementara SBN sudah mulai dilirik investor
  • Wall Street mengakhiri perdagangan di zona hijau sejalan dengan menurunnya kekhawatiran pasar akan dampak perang Hamas vs Israel
  • Pelaku pasar akan mencermati data penting yang akan keluar hari ini seperti indeks produsen di AS serta dampak perang Hamas vs Israel

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengakhiri perdagangan kemarin bergerak beragam seiring dengan panasnya perang Israel-Palestina. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, Yield Surat Berharga Negara (SBN) turun 4 hari beruntun, sedangkan rupiah terus melanjutkan pelemahan.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih akan bergerak beragam pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini dan proyeksi pergerakannya akan dibahas pada halaman 3 dan 4 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin, Selasa (10/10/2023) ditutup menguat 0,45% atau ke 6.922,19. Kenaikan kemarin menjadikan posisi IHSG kembali berada di atas level 6.900.

Menguatnya instrumen keuangan pasar modal terdampak positif, khususnya pada sektor infrastruktur dengan kenaikan saham perusahaan telekomunikasi serta konstruksi dan komoditas energi sebagai dampak ketidakpastian pasokan akibat perang Israel dan Hamas.

Penguatan IHSG kemarin didorong oleh kenaikan sektor infrastruktur 3,21%, energi 0,9%, dan siklikal 0,57%. Sedangkan, sektor yang tertekan signifikan yaitu kesehatan 0,74%, transportasi 0,37%, dan konsumsi non-siklikal 0,08%.

Sebanyak 290 saham bergerak naik, 234 bergerak turun dan 332 tidak berubah dengan transaksi turnover Rp 9 triliun dengan 19 miliar lembar saham.

Penopang kenaikan IHSG datang dari penguatan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang mengangkat masing-masing di atas 2 poin.

Kenaikan kedua saham emas ini disinyalir sebagai dampak dari ketidakpastian risiko global akibat perang Israel-Hamas, sehingga pelaku pasar beralih ke aset safe haven.

"Kemarin kan kelihatan Yen Jepang menguat dan emas menguat," ungkap Hans Kwee ketika ditemui di acara Economic and Capital Market Outlook 2024 CSA Institute di Gedung BEI Jakarta, Selasa (10/10/2023).

Beralih ke pasar mata uang, Mata Uang Garuda terpantau melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan harga AS yang cukup sulit terkendali ditambah adanya kemungkinan melonjaknya harga minyak yang memperparah inflasi, sehingga suku bunga AS yang berpotensi naik.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.730/US$ atau melemah 0,29% terhadap dolar AS. Posisi ini melanjutkan pelemahan pada penutupan perdagangan sebelumnya yang ditutup anjlok 0,51%. Lebih lanjut, posisi ini juga merupakan yang terlemah sejak 11 bulan terakhir.

Rupiah melemah karena besarnya tekanan eksternal. Kondisi ekonomi AS saat ini masih cukup ketat karena inflasi yang diperkirakan masih cukup tinggi khususnya yang akan dirilis pekan ini. Sebagai catatan, AS mencatatkan inflasi periode Agustus 2023 naik menjadi 3,7% (year on year/yoy) dibandingkan periode Juli di angka 3,2% secara tahunan (yoy). .

Inflasi AS dan berbagai negara di seluruh dunia dapat semakin parah, khususnya jika perang Israel-Hamas terus berlanjut dan dan menyeret negara pendukungnya sebagai pemain energi penting global.

Jika inflasi AS menurun dengan lambat atau malah naik maka artinya ekonomi AS masih panas sehingga inflasi sulit melandai dengan cepat ke target kisaran bank sentral AS The Federal Reserve  (The Fed) yakni 2%.

Alhasil suku bunga AS pun diproyeksikan masih cukup tinggi bahkan perangkat CME FedWatch mencatat The Fed berpotensi kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) antara November atau Desember 2023.

Lebih lanjut, kondisi ini juga diikuti dengan capital outflow dari pasar keuangan domestik. Tercatat berdasarkan data Bank Indonesia dan merujuk transaksi 2 - 5 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp2,50 triliun terdiri dari jual neto Rp2,92 triliun di pasar SBN, beli neto Rp0,02 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp0,40 triliun di SRBI.

Hal ini bukan tanpa alasan karena imbal hasil di AS sebagai negara maju sangat menarik apalagi jika AS kembali menaikkan suku bunganya. Maka dari itu, imbal hasil deposito dan obligasi akan disukai investor.

Sentimen ini juga dipertegas oleh Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS memang kini disebabkan kondisi eksternal yang tidak menentu, khususnya kebijakan suku bunga The Fed yang berpotensi masih akan tinggi demi menekan tren inflasi di AS yang sulit turun cepat.

Kendati demikian, imbal hasil atau yield obligasi Indonesia 10 tahun kembali menurun pada penutupan perdagangan kemarin. Yield menurun menjadi 6,941% dibanding kemarin yang berada di 7,035%.

Imbal hasil telah mengalami penurunan sebanyak empat hari perdagangan beruntun, sehingga menjadikan adanya penurunan 19 bps sepanjang Oktober.

Sebelumnya, imbal hasil SBN tenor 10 tahun memuncak pada 4 Oktober menjadikannya level tertinggi dalam tujuh bulan atau sejak 9 Maret 2023. Reli penurunan yield ini mengindikasikan kembali adanya minat pada obligasi Indonesia.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang naik demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.


(mza/mza)
Pages