
Halloween Effect Hantui Bursa RI & AS, Tahun Ini Lebih Seram?

- Halloween Effect, fenomena pasar saham yang terkoreksi tiap September - Oktober tetapi di IHSG nyatanya belum pasti terjadi.
- Ketidakpastian eksternal Oktober ini masih potensi meningkat akibat ketegangan geopolitik Israel-Palestina yang kembali mencuat
- Meski begitu, potensi koreksi yang terjadi bisa dijadikan peluang lantaran pada akhir tahun akan ada fenomena Window Dressing sekaligus Santa Claus Rally
Jakarta, CNBC Indonesia - Usai Black September kini datang October Effect, dua bulan tersebut terkenal jadi masa rawan koreksi di pasar saham, banyak juga yang menyebutnya jadi fenomena Halloween Effect.
Awal mula fenomena Halloween Effect muncul pada 1929 tepatnya bulan Oktober bersamaan dengan perayaan Halloween terjadi depresi besar-besaran yang menyebabkan pasar saham Amerika Serikat (AS) kala itu terkoreksi dalam.
Hal yang sama juga terjadi pada Oktober 1973 dipicu sistem trading komputer yang baru dikembangkan membuat bursa AS dalam sehari anjlok 20% dan sepekan kemudian susut hingga 30%.
Secara data historis Dow Jones Average Index (DJI) selama 37 tahun hingga akhir 2018 Halloween Effect terjadi 28 kali, artinya peluang terjadi koreksi tiap bulan Oktober mencapai 75,68% tiap tahunnya.
Menurut Jurnal yang diterbitkan University of Economics in Bratislava (Peter Arendas) menyebutkan secara rata-rata setiap Oktober peluang terjadi Halloween Effect bisa mencapai 59,57%.
Jadi, secara historis pada umumnya saham-saham di bursa AS mengalami koreksi sejak Agustus hingga mencapai bottom atau titik terendahnya di bulan Oktober. Lantas apakah ini terjadi di Indonesia?
Halloween Efek di IHSG, Mitos Atau Fakta?
Pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan data selama 15 tahun terakhir untuk setiap bulan September mayoritas selalu ditutup merah, dengan peluang menguat hanya 47% saja, sementara bulan Oktober malah kontras dengan probabilitas ditutup hijau mencapai 73%. Artinya, Halloween Effect pada IHSG bisa dibilang tak terlalu besar dampaknya.
Kondisi tersebut membuat kinerja IHSG cukup berbeda dengan performa bursa AS yang mencapai titik terendah di bulan Oktober. Jadi, pada intinya Halloween Effect belum tentu selalu terjadi.
Hanya saja, tetap perlu dipantau bagaimana tren besarnya, karena bisa saja dalam harian maupun mingguan terkoreksi tetapi secara bulanan masih potensi ditutup hijau. Kemudian yang perlu menjadi perhatian pada bulan selanjutnya, kinerja IHSG pada November ternyata memiliki peluang naik paling rendah dalam 15 tahun terakhir, hanya 29%
Tak hanya itu, yang perlu diantisipasi terutama pada tahun akan menjadi akhir tahun yang berbeda dibandingkan tahun-tahun biasanya mengingat hawa-hawa tahun politik semakin terasa dan ketidakpastian eksternal masih terus meningkat.
Ketidakpastian Eksternal & Efek Tahun Politik Masih Menerpa IHSG
Sebentar lagi pada 19 - 25 Oktober 2023 akan dilaksanakan pendaftaran capres/cawapres. Hingga kini sejumlah nama capres yang akan maju ada tiga yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Dari ketiga nama tersebut hanya Anies yang sudah memiliki gandengan cawapres yakni Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Semakin dekat masa pendaftaran artinya sejumlah nama pasangan akan segera bermunculan. Efek politik yang kian terasa biasanya akan menjadi tantangan bagi pelaku pasar modal, terutama saham. Pasalnya, ketidakpastian akan meningkat yang membuat investor jadi menahan diri.
Sementara dari global ketidakpastian hingga akhir tahun ini masih meningkat, ada beberapa hal yang mempengaruhi mulai dari isyarat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) masih hawkish, ekonomi China lesu, hingga ketegangan geopolitik yang mulai meletus lagi dari Israel dan Palestina.
Paling baru, eskalasi konflik antara Kelompok Militan Islam Palestina yakni Hamas dengan Israel kian meningkat di Jalur Gaza. Serangan balasan dari kedua kubu itu terus berjalan sampai pada Minggu (8/10/2023) pasca pertama kali Hamas melakukan serangannya kepada Israel, Sabtu (7/10/2023).
Dampak paling cepat kemungkinan datang dari lonjakan harga minyak global yang bisa kembali meningkatkan inflasi. Harga minyak brent, misalnya, kembali naik 3% lebih pada akhir pekan lalu karena ketegangan di Timur Tengah. Harga gas juga kembali melesat.
Mengutip Aljazeera, serangkaian serangan yang dilakukan oleh Hamas dan Hizbullah itu menelan ratusan korban. Diklaim korban jiwa dari warga Israel mencapai 600-an orang.
Sementara itu, mengutip AFP seperti yang dijelaskan oleh Kementerian Kesehatan wilayah setempat, jumlah korban jiwa dari warga Palestina diklaim mencapai 313 orang sampai pada Minggu siang (8/10/2023).
Adapun sebanyak 1.990 orang lainnya mengalami luka-luka. Hal itu terjadi karena serangan udara Israel terhadap target-target Hamas dalam dua hari berturut-turut.
Lantas keputusan apa yang harus diambil?
Ketidakpastian pada Oktober memang masih akan meningkat tetapi Halloween Effect pada iHSG belum pasti selalu terjadi. Meski begitu, kita tetap harus waspada sembari mencari peluang saham berfundamental baik yang valuasinya potensi bisa terdiskon sebagai persiapan menuju fenomena selanjutnya, Window Dressing sekaligus Santa Claus Rally.
Namun tetapi perlu dicatat, ketika membeli saham janganlah terlalu agresif, sebaiknya beli dari porsi kecil dengan strategi cicil bertahap. Pastikan juga punya cash cukup, istilahnya cash is the king, karena ketika masih dalam tren pelemahan, risiko terbawa koreksi masih cukup tinggi.
Dengan cash yang siap sedia kita punya peluang melakukan average down untuk dapat harga saham lebih rendah, sehingga risiko bisa lebih diminimalisir sekaligus meningkatkan potential upside.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/ras)