IMF: Banyak Negara Boncos Karena Bakar Duit Demi Subsidi BBM

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
07 September 2023 15:35
infografis harga baru bensin non subsidi untuk RON 92 ke atas
Foto: infografis/infografis harga baru bensin non subsidi untuk RON 92 ke atas/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Subsidi diharapkan dapat melindungi konsumen dengan pengendalian harga di level rendah dengan risiko biaya yang besar. Permasalahannya, penerapan subsidi tidak efisien dengan beban pajak tinggi serta pengeluaran terbatas, mendorong polusi akibat subsidi bahan bakar fosil, dan tidak tepat sasaran dengan target subsidi kurang terkhusus pada masyarakat miskin.

Subsidi merupakan bantuan yang diberikan pemerintah pada perusahaan swasta maupun milik pemerintah (BUMN), melansir Badan Pusat Statistik. Subsidi dapat dipecah menjadi dua yaitu eksplisit dan implisit.

Subsidi eksplisit merupakan subsidi yang diberikan untuk dapat menekan harga jual pada masyarakat menjadi lebih murah, di tengah nilai beban produksi yang tinggi. Sebagai contoh, harga pokok produksi bensin Rp15 ribu per liter, namun harga di pasar dijual Rp10 ribu per liter. Artinya, subsidi yang diberikan pemerintah sebesar Rp5 ribu per liter.

Di sisi lain, subsidi implisit merupakan subsidi yang tak terlihat yang berdampak pada masyarakat, seperti kerugian dari polusi, tingkat kecelakaan, pemanasan global, dan termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Studi Kasus Subsidi Eksplisit dan Implisit

Sebagai contoh nilai subsidi suatu negara adalah mencapai Rp12, di mana subsidi eksplisit bernilai Rp5.000 dan  subsidi eksplisit Rp7.000. Dengan asumsi konsumsi bensin suatu negara 30 miliar liter, total subsidi yang diberikan mencapai Rp360 triliun, dengan rincian subsidi eksplisit Rp150 triliun dan subsidi implisit Rp 210 triliun.

Nilai tersebut tentu akan memberatkan keuangan suatu negara mengingat bersumber dari anggaran negara. Beban anggaran akan bertambah, sehingga risiko defisit atau defisit anggaran yang melebar bisa terjadi. Ujung-ujungnya adalah hutang yang semakin bertambah untuk menutup defisit anggaran tersebut.

Sementara di Indonesia, melansir situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi subsidi energi mencapai Rp157,6 triliun, yang terdiri dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) & Liquified Petroleum Gas (LPG) Rp97,8 triliun dan subsidi listrik Rp59,8 triliun.

Di sisi lain, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penerimaan negara Indonesia mencapai Rp2.435 triliun pada 2022 yang terdiri dari penerimaan pajak Rp1.924 triliun dan sisanya bukan pajak.

Berdasarkan nilai tersebut, subsidi energi mencapai 8% dari penerimaan pajak dan 6,4% dari seluruh penerimaan negara. Artinya, semakin tinggi subsidi yang diberikan akan menyakiti pembayar pajak, terutama jika subsidi tersebut tidak dapat dirasakan oleh kalangan yang layak mendapatkan.

Subsidi Antar Negara per Komoditas

Sebagai perbandingan, terdapat data perbandingan nilai subsidi per komoditas antar negara yang dilansir dari International Monetary Fund (IMF).

Subsidi tiap negara per komoditasFoto: Source: IMF
Subsidi tiap negara per komoditas

Retail price atau harga jual produk ke pelanggan umumnya telah menutupi beban-beban, namun mayoritas belum memperhitungkan subsidi implisit yang tak kasat mata, seperti polusi, kesehatan, pemanasan global, dan sebagainya.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah batu bara sebagai sumber energi yang paling kotor dengan gas rumah kaca tinggi dan polusi yang berbahaya. Gas alam relatif lebih sedikit menimbulkan polusi, namun juga jarang dikenakan pajak.

Data historikal dan proyeksi subsidi global periode 2015-2030Foto: IMF
Data historikal dan proyeksi subsidi global periode 2015-2030

Data IMF menunjukkan total subsidi bahan bakar fosil seluruh dunia mencapai mencapai 7,1% dari PDB global, setara dengan US$7 triliun atau Rp107 ribu triliun (kurs: Rp15.300/US$). Sebagai catatan, subsidi 2022 global dirinci dengan 18% subsidi eksplisit dan 82% subsidi implisit.

Nilai tersebut melesat 28% atau US$ 2 triliun pada 2020 yang disebabkan adanya dukungan pemerintah menekan harga energi yang melonjak.

Subsidi diperkirakan akan terkoreksi dalam beberapa tahun mendatang, dengan catatan harga jual energi tidak diubah dan harga komoditasnya terkoreksi.

Namun, IMF memperkirakan total subsidi akan mencapai US$8,2 triliun pada 2030, seiring konsumsi negara berkembang yang melesat dengan tingkat subsidi yang lebih tinggi.

Seiring tingginya penggunaan bahan bakar fosil yang disubsidi menimbulkan masalah polusi udara yang juga dapat meningkatkan suhu bumi. Jika suhu bumi meningkat, berbagai bahaya yang dapat mengancam eksistensi manusia di bumi juga semakin tinggi. Misalnya saja kekeringan, banjir bandang, serta badai.

Oleh karena itu, dibutuhkan solusi konkrit untuk dapat menekan penggunaan energi fosil sehingga polusi juga dapat berkurang. 

Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan reformasi subsidi yakni dengan mengurangi subsidi bersifat tidak produktif seperti untuk bensin. 

Dampak Reformasi Subsidi

Dampak reformasi subsidi terhadap konsumsi bahan bakar fosil global dan implikasinya terhadap lingkungan semakin menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah studi mengungkapkan bahwa menaikkan harga bahan bakar ke tingkat yang efisien secara penuh dapat menghasilkan penurunan signifikan dalam emisi CO2 global dari bahan bakar fosil yang diproyeksikan.

Dampak lingkungan dari reformasi subsidiFoto: IMF
Dampak lingkungan dari reformasi subsidi

Pada tahun 2030, reformasi semacam ini berpotensi mengurangi emisi sebesar 43% di bawah tingkat dasar atau, setara, 34% di bawah emisi yang tercatat pada tahun 2019.

Penurunan ini sejalan dengan target ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 25-50% di bawah tingkat tahun 2019 pada tahun 2030, sesuai dengan tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5-2 derajat Celsius.

Penurunan emisi CO2 yang dihasilkan dari reformasi subsidi didorong oleh perubahan pola konsumsi energi. Secara global, sekitar 60% penurunan CO2 berasal dari penggunaan batubara yang berkurang, dengan kontribusi masing-masing 30% dari pengurangan konsumsi minyak bumi dan gas alam sebesar 10%.

Namun, reformasi subsidi memerlukan usaha besar, sebab pengurangan separuh dari selisih antara harga bahan bakar saat ini dan yang efisien masih dapat menghasilkan penurunan emisi yang signifikan sebesar 31%.

Pengurangan subsidi juga akan memberi manfaat ekonomi dengan meningkatkan pendapatan mencapai US$4,4 triliun, setara 3,6% dari PDB global pada 2030. Langkah ini tentunya akan sangat bermanfaat, baik untuk lingkungan maupun ekonomi.

Langkah Mencapai Reformasi Subsidi

Upaya untuk mereformasi subsidi telah mendapatkan pengakuan internasional selama bertahun-tahun.

Kelompok 20 ekonomi maju dan berkembang telah memanggil untuk penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien pada 2009 dan memperkuat komitmen ini pada tahun 2012. Kesepakatan terbaru pada COP26 dan COP27 pada tahun 2021 dan 2022 menunjukkan konsensus global untuk mempercepat penghapusan subsidi.

Beberapa negara telah berhasil menghapus subsidi eksplisit atau mengenalkan langkah-langkah penetapan harga untuk menutupi biaya eksternal. UE, India, Maroko, Arab Saudi, dan Ukraina telah menerapkan perdagangan karbon dan mengurangi subsidi.

Namun, banyak negara menghadapi resistensi selama reformasi subsidi karena potensi kerusuhan sosial akibat kenaikan harga. Dukungan publik seringkali kurang karena kekhawatiran tentang kompensasi individu berpendapatan rendah dan keluarga kelas menengah atas kenaikan biaya energi serta ketakutan akan inflasi dan penurunan daya saing.

Langkah yang dapat dilakukan diantaranya

- Perencanaan reformasi energi

- Komunikasi transparan dan manfaatnya pada keuangan negara

- Meningkatkan harga atau mengurangi subsidi secara bertahap

- Efisiensi produksi untuk mengurangi nilai subsidi

- Menetapkan subsidi tepat sasaran pada masyarakat miskin

- Menerapkan mekanisme penetapan harga energi otomatis untuk mengurangi politisasi harga energi.

Menarik subsidi energi tidak akan mudah, apalagi untuk Indonesia yang sudah menikmati subsidi energi bertahun-tahun. Jika subsidi energi dicabut begitu saja akan ada pergolakan masyarakat. 

Maka dari itu reformasi subsidi bisa dilakukan secara bertahap sambil memberi edukasi mengenai manfaat, tujuan, dan langkah pelaksanaan reformasi 

CNBC INDONESAI RESEARCH

[email protected]

(mza/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation