
Harga Batu Bara & Minyak Volatil Akibat China, India, & OPEC

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas energi fosil andalan Indonesia, batu bara, bergerak cukup volatil sepanjang pekan ini. Naik turunnya harga komoditas energi ini terjadi seiring dengan sentimen dari berbagai negara penting yang
Melansir Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Desember dan harga minyak brent dan WTI ditutup kompak di zona merah pada penutupan perdagangan akhir pekan, Jumat (24/11/2023).
Secara harian, harga batu bara terkoreksi 0,08% menjadi US$127,9 per ton. Sepanjang pekan ini, harga batu bara masih menguat 1,91% dengan penguatan 3 kali dan pelemahan 2 kali perdagangan.
Secara harian, harga minyak brent ambles 1,03% menjadi US$ 80,58 per barel. Sepanjang pekan ini, harga minyak brent masih terkoreksi tipis 0,04% dengan penguatan 3 kali dan pelemahan 2 kali perdagangan. Minyak brent masih dalam tren negatif, ditutup terkoreksi pada selama 5 pekan beruntun.
Demikian pula dengan minyak WTI, harga turun 2,02% menjadi US$ 75,54 per barel. Sepanjang pekan ini, harga minyak WTI masih turun 0,46% dengan penguatan 3 kali dan pelemahan 2 kali perdagangan. Minyak Brent masih dalam tren negatif, ditutup terkoreksi pada selama 5 pekan beruntun.
Sentimen Harga Batu Bara
Kenaikan harga energi terjadi karena meningkatnya kebutuhan listrik di China, dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan perubahan iklim. Selain itu, terdapat permintaan tambahan dari China untuk menghadapi musim dingin mendatang.
Tiongkok yang mayoritas sedang memaksimalkan penggunaan batu bara akibat mahalnya pasokan gas untuk pengganti pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang belum dapat optimal akibat ketidakpastian cuaca.
Beralih ke India, perkiraan pertumbuhan produksi Coal India Ltd, perusahaan batu bara terbesar India, mencerminkan permintaan batu bara yang tinggi di Asia.
India, sebagai importir batu bara terbesar dari Indonesia, mencatat impor sebanyak 28,8 juta ton hingga Oktober 2023. Permintaan tinggi ini dipicu oleh kecocokan kalori batu bara Indonesia dengan kebutuhan pembangkit listrik India.
Selain itu, Rusia juga mengalami peningkatan investasi di sektor batu bara, dengan produksi diperkirakan mencapai 440 juta ton pada 2023, dan ekspor sekitar 221 juta ton. Peningkatan produksi Rusia menunjukkan masih adanya permintaan yang besar, namun hal ini pula yang diperkirakan menyebabkan pasokan global berlebih dan adanya koreksi harga.
Sentimen Harga Minyak
Tren penurunan harga terjadi seiring tidak ada pertemuan OPEC+ yang biasanya berfokus membahas pemangkasan produksi. Ditundanya pertemuan ini membuat adanya spekulasi pelaku pasar yang mengindikasikan keengganan memangkas produksi lebih dalam.
Di sisi lain, aktivitas perdagangan sepi karena hari libur Thanksgiving AS. Sentimen ini disinyalir juga akan meningkatkan permintaan seiring dengan tingkat perjalanan yang tinggi membuat permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) melonjak.
Pada hari Rabu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, Rusia menunda pertemuan tersebut yang seharusnya dilaksanakan hingga 30 November mendatang.
Para produsen sedang berjuang untuk menyepakati tingkat produksi menjelang pertemuan yang awalnya ditetapkan pada 26 November, menurut sumber OPEC+, yang menunjukkan bahwa ketidaksepakatan tersebut sebagian besar terkait dengan negara-negara Afrika.
Anggota OPEC+, Angola dan Nigeria, menargetkan produksi minyak yang lebih tinggi, menurut para pejabat kepada Reuters pada hari Kamis.
Pertanyaan mengenai alasan tidak dilakukannya pertemuan terjadi seiring persaingan pasokan minyak yang menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS melonjak 8,7 juta barel pada minggu lalu, jauh lebih besar dari perkiraan analis sebanyak 1,16 juta barel.
Dari sisi permintaan, terdapat berita yang lebih suram. Meskipun survei menunjukkan penurunan aktivitas bisnis zona euro mereda pada November, data menunjukkan ekonomi blok tersebut akan kembali berkontraksi pada kuartal ini karena konsumen terus membatasi pengeluaran.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)