
Pelajaran Pahit! Riau Pernah 'Lumpuh' Karena Polusi Udara

- Persoalan polusi udara di Jakarta tampak tak bisa dianggap 'main-main' lagi.
- Pasalnya, ini mengancam ribuan nyawa masyarakat di sekitar Jabodetabek.
- Belajar dari penyelesaian polusi di Riau akibat kebakaran hutan dan lahan, pemerintah tak boleh lalai dan lengah.
Jakarta, CNBC Indonesia - Polusi Jakarta dan sekitarnya masih menjadi perbincangan hangat di Tanah Air tentu menyita pikiran masyarakat apa yang sudah pernah dilakukan pemerintah? Pasalnya, persoalan polusi ini menjadi kejadian yang berulang-ulang, bukan hanya di Jakarta, bahkan di polusi akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau yang sempat menjadi sorotan.
Tentu saja ini menjadi perhatian pasalnya menghirup udara kotor bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, kanker, paru-paru, stoke dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental.
Setiap orang memiliki hak lingkungan untuk tinggal di lingkungan yang aman, bersih, sehat serta berkelanjutan, bersamaan dengan hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi lingkungan. Negara harus melindungi hak-hak lingkungan warganya dan Indonesia adalah salah satu negara yang secara formal telah menerima semua norma-norma hak lingkungan ini.
Polusi udara bukan pertama kalinya terjadi di Jakarta, sebelumnya sejumlah wilayah di Indonesia sudah pernah mengalaminya. Selain karena persoalan kendaraan, kebakaran hutan dan lahan menjadi biang keroknya.
Sejauh ini, baru ini pemerintah terkesan fokus menyiapkan serangkaian strategi untuk mengatasi polusi Jakarta. Bahkan, pemerintah pusat ikut turun tangan. Presiden Jokowi sudah menginstruksikan penanganan jangan pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mengatasi polusi udara.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun turun tangan langsung mengkoordinasi penanganan polusi udara.
Sejumlah arahan untuk menindaklanjuti instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun disampaikan Luhut kepada Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menhub Budi Karya Sumadi, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Berikut langkah-langkah stategis pemerintah dalam penangan polusi udara.
Selebihnya, pemerintah tampak masih mengkaji mengingat baru beberapa hari jelang pembentukan Tim yang dibentuk Presiden. Tentunya masyarakat berharap ada solusi yang menyeluruh yang tidak hanya berbasis pada intervensi pada masyarakat. Di sisi lain, sejumlah kebijakan dari pemerintah dianggap masih terkesan kontraproduktif.
Semua orang tahu bahwa polusi udara buruk untuk kesehatan. Namun, Anda mungkin tak mengira bahwa efek negatif polusi udara bisa berakibat fatal. Faktanya, terus-menerus menghirup udara yang kotor bisa membuat seseorang mati muda.
Memang, masalah polusi ini dampak setiap wilayah di Indonesia berbeda-beda. Ada yang karena PLTU, ada faktor aktivitas kendaraan namun ada pula faktor kebakaran hutan dan lahan yang pernah heboh di tahun 2015.
Polusi Sumatera dan Kalimatan Akibat Kebakaran Hutan
Polusi udara tak hanya menjadi cerita wilayah Jawa. Sumatera dan Kalimantan juga kerap dikepung polusi udara dengan pemicu kebakaran hutan.
Kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan di Indonesia sebagian besar adalah krisis buatan manusia, yang berdampak terhadap kesehatan yang utamanya terhadap Indonesia serta Asia Tenggara. Ditambah lagi peristiwa El Nino yang ditandai dengan kondisi kekeringan yang panjang terjadi di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan bisa semakin menggila.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama periode Januari-Juli 2023 luas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Tanah Air sudah mencapai 90.405 hektare (ha). Seluruh kebakaran itu tercatat menghasilkan emisi lebih dari 5,9 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Menurut Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), karhutla tahun ini berpotensi meningkat karena ada fenomena cuaca El Nino.
"Di Indonesia, secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan yang meningkatkan potensi bencana kebakaran lahan dan hutan," kata BRGM di situs resminya (Mei 2023).
Potensi bencana kebakaran lahan dan hutan akan meningkat terutama di ekosistem lahan gambut, di mana kubah-kubah gambut akan mengering karena terjadinya musim kemarau.
Data ini tercatat dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang dirilis KLHK menyebut, pada tahun 2019 emisi gas rumah kaca nasional paling banyak berasal dari sektor pemanfaatan hutan dan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) serta kebakaran gambut, yakni 924.853 Gg CO2e.
Berdasarkan data di atas, Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target Nationally Determined Contribution(NDC), sebuah komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditetapkan melalui Perjanjian Paris.
Mengacu pada NDC, Indonesia ditargetkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di bawah skenariobusiness as usualpada 2030 dengan usaha sendiri, atau mengurangi emisi sampai 41% apabila mendapat dukungan internasional.
Kebijakan Kebakaran Hutan dan Lahan
Untuk mengantisipasi hal tersebut, BRGM menyatakan sudah bekerja sama dengan KLHK, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta TNI untuk melakukan pembasahan lahan gambut dengan teknologi modifikasi cuaca.
Polri juga terlibat dalam upaya antisipasi masalah ini, dengan melakukan sosialisasi larangan membakar lahan dan patroli di berbagai wilayah.
Bahkan sejak tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah diberikan mandat untuk melakukan restorasi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Lahan gambut di Indonesia terdegradasi dan mengering akibat terbakar hebat di 2015. Maka itu, upaya pemulihan gambut yang implementasinya berlangsung sejak 2017 diharapkan dapat mengembalikan kelembaban ekosistem gambut paling dini pada 2020 dan mencegah kebakaran selanjutnya.|
Berdasarkan riset dengan tajuk "Predicting success in restored bogs shortly after restoration works" indikasi dampak dari restorasi gambut baru bisa dilihat dalam tiga tahun setelah restorasi.
Sebagaimana diketahui, setelah kebakaran hebat yang terjadi tahun 2015, kebijakan pemerintah di sektor kehutanan berfokus pada pemulihan gambut dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016.
Melangkah bersama dengan KLHK, badan ini punya wewenang melakukan restorasi sekitar dua juta hektare lahan gambut di tujuh provinsi dari Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sampai Papua.
Namun di 2019, kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi termasuk di beberapa wilayah yang sedang di restorasi.
Mengutip catatan dari https://sipalaga.brg.go.id/ lebih dari 90% titik pemantauan tinggi permukaan lahan gambut di tujuh provinsi prioritas restorasi mencatatkan kekeringan.
Bahkan masih lekat dalam ingatan, setelah mengadakan sidang rapat terbatas di Pekanbaru, Riau pada September 2019 presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa Indonesia lalai dalam mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan pada tahun tersebut.
Persoalan infrastruktur hingga kurangnya kerja sama antar semua pemegang kepentingan menjadi salah satu penyebab dari gagalnya atau belum efektifnya pemulihan ekosistem gambut.
Namun memang, secara tren kebakaran hutan dan lahan mengalami penurunan. Ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah agar tak lalai dalam mengatasi persoalan polusi udara. Meskipun penyebab berbeda, namun ini tetap menjadi perhatian karena polusi bisa mengancam nyawa manusia.
Mengutip dari berbagai sumber, saat itu baru saja sebulan terpapar kabut asap, hingga 11 September 2015, Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sudah 43.386 orang yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Angka itu hanya yang terdaftar memeriksakan diri ke rumah sakit dan puskesmas. Jumlah masyarakat yang terkena ISPA dari dampak kebakaran lahan di Riau meningkat hingga 100%. Sementara, pada tahun 2013, korban berjumlah 19.862 orang dan pada 2014 sejumlah 27.200 orang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)