Belum Ada Solusi, Polusi Bikin Orang RI Menderita Seperti Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga saat ini, belum ada solusi yang jelas dari pemerintah dalam menghadapi persoalan polusi. Bahkan sumber masalahnya saja masing-masing instansi, baik pusat dan daerah belum kompak.
Apa jadinya sekarang?
Polusi udara di Ibu Kota Negara ini sudah semakin parah. Ironisnya, Jakarta mencatatkan konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) sebesar 72,8 mikrogram per meter kubik (μg/m³).
PM 2.5 bisa meningkat karena udara panas, kebakaran, dan polusi lingkungan. Menurut WHO, Berbagai material yang terkandung dalam PM2,5 ini dapat menyebabkan berbagai gangguan saluran pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), kanker paru- paru, kardiovaskular, kematian dini, dan penyakit paru-paru obstruktif kronis.
Mengutip dari Epa.gov, jika dilihat dengan mata telanjang, PM 2.5 terlihat gelap dan kabur. Partikel satu ini bisa dilihat jelas jika memakai mikroskop elektron. PM.25 sendiri terbentuk dan terdiri dari ratusan bahan kimia berbeda.
PM 2.5 dibentuk di atmosfer karena reaksi bahan kimia seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Polutan ini terbentuk dari pembuangan pembangkit listrik, industri, dan mobil. PM juga dipancarkan langsung dari ladang, cerobong asap, dan pembuatan jalan memakai aspal.
Tak disangka, polutan PM 2,5 yang berukuran 2,5 mikrometer menjadi penyebab satu dari 10 penyakit besar yang dibiayai JKN dan menghabiskan anggaran negara Rp 10 triliun.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan pasien ISPA sebelum Covid-19, mencapai 50.000 pasien. Sekarang, jumlahnya naik hingga 200.000 pasien.
"Nah, itu ada akibat dari polusi udara ini," kata Menkes, saat ditemui selepas ASEAN Finance - Health Minister Meeting (AFHMM) 2023, Kamis (24/8/2023).
Menurutnya, polusi udara menyebabkan penyakit pernafasan, mulai paling berat kanker paru, TBC, paru obstruksi kronis, asma, dan pneumonia. Dia pun memahami bahwa lima penyakit pernafasan atau respiratory disease memiliki total klaim BPJS Kesehatan yang cukup besar, yakni Rp 10 triliun.
Data IQAir menyebut, polusi udara menyebabkan 8.100 kematian di Jakarta selama 2023 dan membawa kerugian sekitar US$2,1 miliar di Jakarta selama periode yang sama. Nilai tersebut setara dengan Rp 32,09 triliun rupiah (US$1= Rp 15.280).
Penelitian lainnya, dari organisasi kesehatan global Vital Strategies dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, yang dirilis pada 27 Februari 2023, mengestimasikan, polusi udara di Jakarta berpotensi menyebabkan lebih dari 10.000 kematian dan 5.000 orang dirawat karena penyakit penyakit kardiorespirasi setiap tahun.
Dampak lainnya, lebih dari 7.000 hasil buruk pada anak-anak, dan menelan biaya lebih dari US$2,9 miliar per tahun (2,2% dari produk domestik regional bruto/PDRB DKI Jakarta).
Dampak ke Ekonomi
Institute Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan polusi udara yang terjadi di Jakarta bisa berdampak pada perekonomian nasional. Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus memperkirakan dampak polusi itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,02%.
"Karena DKI menjadi barometer nasional, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi," kata dia dalam diskusi virtual di kanal YouTube INDEF.
Dia mengatakan potensi menurunnya pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan oleh kebijakan work from home (WFH) atau kerja dari rumah. Sebagaimana diketahui, pemerintah DKI Jakarta memberlakukan WFH kepada 50% aparatur sipil negara untuk mengurangi polusi udara di ibu kota. Kebijakan berlaku sejak 21 Agustus sampai 21 Oktober 2023.
Heri mengatakan kebijakan WFH inilah yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap melambatnya perekonomian Indonesia. Dia mengatakan ekonomi Jakarta paling merasakan dampaknya. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi ibu kota bisa menurun 0,7%.
Dia mengatakan dengan kebijakan WFH, maka setiap ASN diwajibkan bekerja dari rumah. Dengan demikian, mereka tidak akan mengeluarkan biaya, seperti untuk transportasi atau makan di luar. Dengan demikian, konsumsi masyarakat akan menurun yang pada akhirnya berimbas pada melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Dia mengatakan kebijakan WFH hanya bisa dilakukan sebagai solusi sementara upaya mengurangi polusi. Dia mengatakan pemerintah butuh mencari solusi jangka panjang, yakni mengatasi sumber utama penyebab polusi. Dia menduga penyebab utama polusi itu adalah keberadaan PLTU bertenaga batubara yang ada di sekitar Jakarta.
"Harus ada upaya melakukan program transisi energi secara menyeluruh mulai dari pembangkit listrik energi baru terbarukan," kata dia.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menkes: Pasien ISPA Naik Jadi 200.000 Orang Akibat Polusi