Newsletter

'Hantu' Twin Deficit Kembali Hantui Jokowi, BI Dalam Dilema

Putra, CNBC Indonesia
23 August 2023 06:00
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo membuka rangkaian acara ASEAN Finance Ministers’ and Central Bank Governors' Meeting (AFMGM) di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Bank Indonesia (BI) menyelenggarakan ASEAN Fest 2023 pada 22-25 Agusuts 2023 yang terdiri dari acara seminar, festival inklusi keuangan digital hingga showcasing budaya di JCC Senayan, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo membuka rangkaian acara ASEAN Finance Ministers’ and Central Bank Governors' Meeting (AFMGM) di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Bank Indonesia (BI) menyelenggarakan ASEAN Fest 2023 pada 22-25 Agusuts 2023 yang terdiri dari acara seminar, festival inklusi keuangan digital hingga showcasing budaya di JCC Senayan, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Investor akan menyimak sejumlah kabar, terutama dari luar negeri, sebagai petunjuk 'berdagang' hari ini. Dari dalam negeri, investor yang jelas tengah menunggu keputusan suku bunga BI.

BI diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini untuk menjaga nilai tukar di tengah meningkatnya ketidakpastian global. 

BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pada Rabu dan Kamis pekan ini (23-24 Agustus 2023).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral RI akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%.



Suku bunga sebesar 5,75% sudah berlaku sejak Januari tahun ini. BI mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.

Suku bunga kemudian dipertahankan pada level tersebut dalam enam pertemuan terakhir.

Kubu MH Thamrin diperkirakan masih akan menahan suku bunga meskipun inflasi jauh melandai. BI belum bisa memangkas suku bunga karena masih besarnya tekanan eksternal, terutama dari Amerika Serikat (AS).

Pelaku pasar keuangan global kini memperkirakan ada potensi The Fed mengerek suku bunga pada pertemuan September mendatang. Ekspektasi kenaikan suku bunga AS membuat dolar AS melambung dan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS terbang.

Indeks dolar terbang ke level tertinggi dalam dua bulan ke 103,5 pada Kamis pekan lalu (17/8/2023). Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun menembus 4,34% atau bergerak di level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.

Penguatan dolar AS menandai mata uang Greenback tengah dicari sementara mata uang lain dibuang, seperti rupiah. Kondisi ini membuat nilai tukar rupiah terpuruk.

Mata uang Garuda sudah ambruk 1,60% sepanjang Agustus ini. Pelemahan jauh lebih dalam dibandingkan Juli yang tercatat 0,56%.

Dalam RDG bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan nilai tukar kini menjadi fokus BI saat ini setelah inflasi tidak lagi menjadi kekhawatiran. Artinya, BI belum memiliki ruang untuk memangkas suku bunga selama rupiah dalam tekanan hebat seperti saat ini.

Kembalinya Hantu Twin Deficit

Selain rupiah, BI kini juga dihadapkan pada tantangan baru dalam menentukan suku bunga yakni defisit transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Kembali munculnya hantu twin deficit ini menandai jika Indonesia sudah terimbas dalam oleh guncangan eksternal.

Transaksi berjalan dan NPI sama-sama berbalik arah menjadi defisit pada kuartal II-2023 dari surplus pada kuartal sebelumnya karena melemahnya ekspor serta besarnya capital outflow. 

Transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit sebesar US$1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal II-2021

NPI mencatat defisit sebesar US$ 7,37 miliar pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal III-2022. Defisit pada April-Juni 2023 juga berbanding terbalik dengan surplus sebesar US$ 6,52 miliar pada Januari-Maret 2022.

Defisit pada transaksi berjalan menjadi risiko baru bagi rupiah karena menandai melemahnya fundamental ekonomi, terutama dari sisi ekspor dan pasokan dolar.

Tak hanya transaksi berjalan, neraca transaksi finansial juga masuk ke zona negatif karena derasnya capital outflow. Defisit pada transaksi finansial disumbang oleh investasi portofolio.

Neraca investasi portofolio mencatatkan defisit sebesar US$ 2,59 miliar pada kuartal II-2023, berbalik arah dari surplus US$ 3,03 miliar karena capital outflow yang meningkat.

Aksi jual besar-besaran terjadi pada obligasi korporat atau swasta. Asing mencatatnet outflow sebesar US$ 2,3 miliar pada kuartal II-2023, melonjak dari US$ 0,5 miliar pada kuartal sebelumnya.

Transaksi berjalan dan NPI adalah dua fundamental ekonomi yang sangat diperhatikan investor.  Dengan kembalinya defisit pada kedua neraca tersebut maka daya tarik Indonesia bisa berkurang sehingga rentan terhadap gejolak eksternal.

Kembali defisitnya transaksi berjalan dan NPI juga membuktikan jika kekhawatiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kenyataan. Sebelumnya, Jokowi sudah mengingatkan bahwa kondisi ekonomi global dipenuhi ketidakpastian. Jokowi mengatakan, untuk mewujudkan hal itu bukan perkara mudah karena ada tantangan dari situasi ekonomi global yang masih gelap, meski Indonesia masih mengalami pertumbuhan.

"Kita tahu situasi global tidak mendukung, situasi ekonomi dunia juga tidak mendukung," ujarnya Jokowi saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah di Gedung BPKP, Jakarta Timur, dikutip (22/8/2023).


Sementara itu sentimen dari luar negeri akan datang dari sejumlah data PMI flash beberapa negara (Australia, Jepang, Prancis, Uni Eropa, Jerman), pidato dua pejabat The Fed (Goolsbee dan Bowman), hingga data perubahan stok minyak mentah dan bensin AS akan menjadi perhatian investor.

Selain itu, kehadiran Indonesia dalam KTT BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), selama tiga hari mulai Selasa (22/8) hingga Kamis (24/8) mendatang tidak lepas dari sorotan mata pelaku pasar.

(trp/mae)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular