
Jokowi Sebut Raksasa Properti China Bangkrut, RI Siaga Satu?

- Evergrande, salah satu raksasa properti China melaporkan kebangkrutan, hal ini menjadi kekhawatiran yang bisa berimbas ke sektor lain-nya.
- Jokowi bahkan mewanti-wanti pengembang properti Tanah Air agar lebih berhati-hati dalam berbisnis.
- Faktanya, sektor properti RI masih punya kondisi yang cukup baik yang didukung dengan kebijakan makro dan stimulus pemerintah.
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis properti kembali melanda China pasca Evergrande, salah satu pengembang properti raksasa melaporkan kebangkrutan pada Kamis lalu (17/8/2023).
Perusahaan tersebut mengajukan perlindungan kebangkrutan bab 15 ke pengadilan New York, Amerika Serikat (AS) sebagai upaya mencapai kesepakatan restrukturisasi di negara lain.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat mewanti-wanti pengembang properti Tanah Air agar lebih berhati-hati dalam berbisnis. Kasus Evergrande ini menjadi refleksi bersama agar jangan sampai kejadian di industri dalam negeri.
Properti ini jadi salah satu sektor yang punya implikasi besar ke sektor lain-nya, multiplier effect-nya bisa ke 185 subsektor industri lain seperti furnitur, elektronik, dan jasa kebersihan seperti sedot WC.
Sejalan dengan itu, Jokowi juga menjelaskan "Gak ada industri lain yang semasif ini efeknya. Yang ada hanya di properti, real estat, dan konstruksi,"
Bahkan, di negeri tirai bambu properti menjadi motor penggerak ekonomi yang cukup besar, kontribusi ke produk domestik bruto (PDB) kurang lebih mencapai 30%. Dengan begitu, kebangkrutan Evergrande ini jelas menjadi pukulan yang sangat berat bagi industri properti yang bisa berdampak pada kondisi ekonomi-nya.
Perlu diketahui, Evergrande memiliki utang lebih dari US$ 300 miliar atau setara lebih dari Rp 4500 triliun. Posisi utang tersebut menjadikan Evergrande sebagai pengembang properti dengan utang terbesar di dunia.
Sebenarnya, pengembang properti raksasa ini telah ditangguhkan saham-nya sejak tahun lalu. Pada Juli lalu, perusahaan ini sempat melaporkan kinerjanya yang masih merugi lebih dari Rp1.221 triliun selama dua tahun terakhir.
Menyusul kebangkrutan Evergrande yang bisa berdampak pada perlambatan ekonomi Tiongkok, salah satu lembaga finansial besar di negeri Paman Sam diketahui Goldman Sachs Group Inc memangkas target terhadap saham-saham di China pada Jumat lalu (18/8/2023).
Goldman memangkas estimasi pertumbuhan indeks MSCI China menjadi 11% dari yang sebelumnya 14%, serta mengurangi target indeks 12 bulan menjadi 67 dari 70.
Permasalahan domino yang menjadi kekhawatiran pelaku pasar juga semakin terlihat pada ekonomi negeri tirai bambu yang mengalami deflasi bulan lalu, ditambah dengan kondisi manufaktur yang terkontraksi dan daya beli masyarakat yang melemah.
RI turut kena imbas dari pelemahan ekonomi China, pasalnya Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor terbesar. Kendati demikian, akankah sektor properti Tanah Air bisa mengalami kejadian seperti Evergrande?
Menilai sektor properti dalam negeri, CNBC Indonesia Research membandingkan tujuh perusahaan real estate yang cukup besar yang telihat pada tabel berikut :
Dari data di atas terlihat ada dua perusahaan yang memiliki tingkat utang cukup sehat terlihat debt equity ratio (DER) kurang dari 100% yaitu PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) dengan sebesar 54,75% dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) sebesar 76,88%.
Sementara yang lainnya masih memiliki DER di atas 100% menunjukkan utangnya masih lebih tinggi daripada modalnya, hanya saja ada yang masih memiliki likuiditas cukup baik yaitu PT Ciputra Group Tbk yang memiliki cash ratio 88,20% ini menunjukkan kemampuan perusahaan yang cukup baik dalam membayar kewajiban jangka pendeknya.
Selain tiga perusahaan tersebut, yang lainnya nampak masih memiliki PR untuk memperbaiki kesehatan keuangan-nya. Hanya saja, melihat secara makro sektor properti masih memiliki prospek yang atraktif.
Prospek menarik sektor properti Tanah Air ini berbanding terbalik dengan kondisi di China yang dilanda krisis. Secara makro, sektor properti dalam negeri sudah semakin terbantu berkat beberapa stimulus yang diberikan stimulus Loan to Value (LTV) 100% sejak Maret 2021 lalu yang memungkinkan pengembang bisa memberikan DP hingga 0%.
Peraturan tersebut masih berlaku hingga akhir tahun ini dengan beberapa syarat dan ketentuan yang diperbaharui. Harapannya stimulus ini bisa menjadi booster bagi penjualan properti di Era suku bunga tinggi.
Kendati demikian, suku bunga tinggi nampaknya tidak akan bertahan dalam jangka panjang, mengingat Bank Indonesia (BI) sudah mulai menahan suku bunga selama beberapa bulan terakhir, hal ini diharapkan bisa menjaga minat kredit perumahan domestik.
Backlog Masih Tinggi
Krisis properti seperti Evergrande juga kemungkinan sulit terjadi di Indonesia karena masih tingginya permintaan rumah serta backlog properti.
Backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih mencapai 12,7 juta. Backlog sulit turun karena terus meningkatnya kebutuhan, terbatasnya sumber pembiayaan, serta minimnya akses ke perbankan.
Backlog kepemilikan rumah menunjukkan kesenjangan atau selisih antara jumlah rumah yang terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Rumah dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) memperkirakan backlog perumahan saat ini mencapai 12,7 juta.
Backlog kepemilikan rumah di perkotaan mencapai 10 juta sementara di pedesaan sebesar 2,7 juta.
Angka backlog hanya turun tipis dibandingkan pada 2010 yang tercatat 13,5 juta unit. Pemerintah sendiri menargetkan backlog kepemilikan rumah mengecil menjadi 8 juta pada 2045.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat berkisar antara 820.000 hingga 1 juta rumah per tahunnya.
Namun, pengembang hanya mampu membangun 400.000 unit per tahun.
Dengan selisih yang sangat lebar antara demand dan supply tersebut maka tidak heran jika kemudian harga properti merangkak dengan cepat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
