China di Ujung Tanduk, Ekonomi Lesu Hingga Krisis Properti

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
19 August 2023 19:45
A Chinese flag is raised during a medal ceremony for the women's freestyle skiing big air at the 2022 Winter Olympics, Tuesday, Feb. 8, 2022, in Beijing. (AP Photo/Jae C. Hong)
Foto: Bendera China (AP Photo/Jae C. Hong)
  • China sedang menghadapi masalah cukup serius, mulai dari ekonominya yang lesu hingga krisis sektor properti yang belum usai.
  • Ekonomi China yang lesu dapat membuat ancaman global karena China merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).
  • Krisis properti yang belum usai di China dapat membuat perekonomian China semakin 'runyam' dan mengancam ekonomi global.

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China dikabarkan tengah menghadapi tekanan beruntun, mulai dari lesunya konsumsi masyarakat, inflasi yang rendah atau mengalami deflasi, sektor manufaktur yang melambat, dan krisis yang menimpa beberapa sektor mulai dari properti hingga perbankan bayangan (shadow banking).

Dari ekonomi, Biro Statistik Nasional (NBS) merilis data penjualan ritel, industri, dan investasi semuanya tumbuh pada kecepatan yang lebih lambat dari yang diharapkan.

Menurut data NBS, output industri tumbuh 3,7% dari tahun sebelumnya, melambat dari laju 4,4% yang terlihat pada Juni. Ini berada di bawah ekspektasi untuk kenaikan 4,4% dalam survei Reuters.

Sedangkan, Penjualan ritel hanya tumbuh 2,5% pada Juli lalu, turun dari kenaikan 3,1% pada Juni dan meleset dari perkiraan analis pertumbuhan 4,5% meskipun tren perjalanan meningkat di musim panas.

Tak hanya dari beberapa data ekonomi, tingkat pengangguran China juga mulai naik pada bulan lalu, yakni sebesar 5,3%, dari sebelumnya pada Juni lalu sebesar 5,2%.

Inflasi China juga terbilang rendah, bahkan China sudah mengalami deflasi. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) China pada bulan lalu mencapai minus 0,3%, (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juni lalu di 0%.

Deflasi ini merupakan yang pertama sejak Februari 2021. Angka deflasi juga lebih dalam dari proyeksi ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan deflasi 0,4%.

NBS mengatakan penurunan CPI hanya akan bersifat sementara, dan diproyeksikan akan meningkat secara bertahap karena dampak dari basis tinggi tahun lalu akan memudar.

Deflasi China menjadi alarm bahaya bagi Tiongkok dan dunia. Deflasi bisa menjadi awal perlambatan konsumsi masyarakat China.

Padahal, China adalah salah satu motor penggerak utama pertumbuhan global dan memiliki size ekonomi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS).

Tak hanya CPI, inflasi China di tingkat produsen (producer price index/PPI) juga mengalami deflasi yakni 4,4% (yoy). Kontraksi ini telah turun selama 10 bulan berturut-turut dan lebih buruk dari perkiraan pasar penurunan 4,1%, setelah penurunan 5,4% pada bulan sebelumnya, yang merupakan penurunan tertajam sejak Desember 2015.

Penurunan bahan produksi melemah (-5,5% vs -6,8% di bulan Juni), bahan baku (-7,6% vs -9,5%), dan ekstraksi (-14,7% vs -16,2%).

Pada saat yang sama, harga turun lebih lanjut untuk barang konsumen (-0,4% vs -0,5%), makanan (-0,9% vs -0,6%), dan barang tahan lama (-1,5% vs -1,5%) di tengah kenaikan yang lebih cepat dalam penggunaan sehari-hari barang (0,8% vs 0,3%) dan pakaian (1,5% vs 1,0%).

Bahkan, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) juga memperkirakan ekonomi China kembali melambat dengan pertumbuhan hanya 4,5% di tahun 2024.

Tak hanya IMF, World Bank juga memprediksi pertumbuhan ekonomi China melambat ke tingkat 4,6% di 2024.

Ekonomi Lesu, Krisis Menghantam Sektor Properti China

China tidak hanya menghadapi masalah ekonomi yang belum membaik, tetapi mereka juga menghadapi masalah yang sebenarnya sudah terjadi sejak 2021, yakni krisis yang menghantam sektor properti.

Terbaru, raksasa properti China yang terlilit utang, Evergrande Group, mengajukan perlindungan kebangkrutan Chapter 15 di pengadilan AS pada Kamis (17/8/2023). Dalam pengajuan ke pengadilan kebangkrutan, perusahaan merujuk proses restrukturisasi di Hong Kong, Kepulauan Cayman, dan Kepulauan Virgin Britania Raya.

Pengembang properti dengan utang terbesar di dunia ini gagal bayar pada 2021 dan mengumumkan program restrukturisasi utang luar negeri pada Maret. Perdagangan saham Evergrande telah di-suspend atau ditahan perdagangannya sejak Maret 2022.

Perlindungan kebangkrutan Chapter 15 memungkinkan pengadilan kebangkrutan AS untuk campur tangan dalam kasus kepailitan yang melibatkan perusahaan asing yang sedang menjalani restrukturisasi dari kreditur. Ini bertujuan untuk melindungi aset debitur dan memfasilitasi penyelamatan bisnis yang mengalami kesulitan keuangan.

Tianji Holdings, afiliasi Evergrande, dan anak perusahaannya Scenery Journey, juga mengajukan perlindungan Chapter 15 di pengadilan kebangkrutan Manhattan, menurut pengajuan tersebut.

Pengajuan perlindungan kebangkrutan Evergrande datang di tengah kekhawatiran menyebarnya masalah sektor properti China ke sektor lain.

Baru-baru ini, Country Garden, yang pernah menjadi salah satu pengembang properti terbesar di China,juga tengah berjuang keras untuk melakukan pembayaran kupon pada obligasi berdenominasi dolar AS dan berpotensi membukukan kerugian sekitar CNY 45-55 miliar.

Sepuluh obligasi yuan Country Garden juga telah di-suspend perdagangannya di China, menurut Reuters.

Based on Data from the OECD and Goldman Sachs

Caixa Bank Research menjelaskan sektor properti China yang masif telah lama menjadi mesin pertumbuhan vital bagi ekonomi terbesar kedua di dunia, dan menyumbang sebanyak 23-25% dari produk domestik bruto (PDB) China.

Pertumbuhan ini dipicu oleh gelembung properti yang sangat besar dan jumlah utang yang menggunung. Untuk sementara, pemerintah nasional dan lokal China menggunakan kekuatan komando dan kendali mereka yang sangat besar atas ekonomi untuk menjaga agar bubble atau gelembung tetap menggembung dan tidak meletus.

Seperti yang biasa terjadi dalam sebuah bubble, ini terjadi akibat investor dan perusahaan telah mengambil utang dalam jumlah besar untuk memanfaatkan lonjakan harga properti. Evergrande mengumpulkan lebih dari US$ 300 miliar utang ke bank, pemegang obligasi, pemasok, dan pelanggan.

Bahkan kesalahan besar yang sering terjadi di industri properti juga dilakukan dengan pembeli membeli rumah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, sebelum mereka dibangun.

Besarnya peran sektor properti dapat menjadi sumber perlambatan ekonomi China sehingga dikhawatirkan akan memberi domino effect. Kegagalan sektor properti yang termasuk juga dalam pembangunan infrastruktur, konstruksi, industri, dan sebagainya berdampak turut memberi efek negatif perekonomian internasional.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation