Era Higher for Longer yang Ditakuti Sri Mulyani di Depan Mata

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 June 2023 13:40
Jerome Powell
Foto: Reuters
  • The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuannya, tetapi memberikan kode akan ada kenaikan lagi sebanyak dua kali di sisa tahun ini. 
  • Ketua The Fed Jerome Powell juga menyatakan suku bunga tinggi akan ditahan dalam beberapa tahun ke depan, yang artinya higher for longer. 
  • Menteri Keuangan RI Sri Mulyani sebelumnya menyebut fenomena higher for longer bisa memicu pertumbuhan ekonomi weaker for longer.

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunga acuannya di 5% - 5,25% dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (15/6/2023) dini hari waktu Indonesia. Namun, bukan berarti The Fed sudah menang melawan inflasi, justru "perang" masih panjang.

"Mempertahankan suku bunga pada rapat kali ini memberikan waktu anggota Komite untuk menilai informasi tambahan dan implikasinya ke kebijakan moneter," tulis pernyataan The Fed.

The Fed sebelumnya sudah menaikkan suku bunga 10 kali beruntun dengan total 500 basis poin. Kenaikan yang sangat agresif guna meredam inflasi. Namun, pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang masih sangat kuat membuat inflasi masih perlu waktu cukup lama untuk mencapai target 2%.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Mei tercatat sebesar 4% year-on-year (yoy), sudah turun lebih dari setengah ketika mencapai 9,1% pada Juni 2022 lalu, level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.

Sementara itu inflasi inti, yang tidak memperhitungkan sektor energi dan makanan tumbuh 5,3% (yoy). Inflasi ini yang menjadi perhatian, sebab lebih persisten alias sulit untuk naik turun.

Belum lagi melihat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) justru mengalami kenaikan menjadi 4,4% (yoy) pada April lalu dari bulan sebelumnya. Kemudian, inflasi PCE inti naik menjadi 4,7% dari sebelumnya 4,6%.

Artinya, "perang" The Fed memang belum selesai, bahkan masih panjang. Dalam pengumuman kebijakan moneter dini hari tadi, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.

Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% - 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis poin.

Tidak hanya dinaikkan, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama. Hal itu diungkapkan oleh ketua The Fed, Jerome Powell.

"Pemangkasan suku bunga akan tepat dilakukan saat inflasi turun secara signifikan. Dan sekali lagi, kita berbicara beberapa tahun ke depan," kata Powell.

Ia menambahkan, dalam dot plot bisa dilihat tidak ada satu anggota Komite (FOMC) yang menginginkan suku bunga akan dipangkas tahun ini. Ini artinya suku bunga tinggi akan ditahan lebih lama atau higher for longer, dan bisa berdampak besar ke perekonomian dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti hal tersebut.

"Amerika walaupun resilient, tidak jatuh ke dalam jurang resesi, namun pertumbuhannya hanya slightly above 1%," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/6/2023).

"Ini menggambarkan bahwa higher for longer bisa menghasilkan perekonomian weaker for longer. Baik untuk Eropa, Amerika dan eksternal kita, termasuk RRT," ujarnya


Amerika Serikat Menuju Resesi

Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi Amerika Serikat semakin membesar. Reaksi pelaku pasar pun menunjukkan ke arah sana. Imbal hasil (yield) Treasury tenor 2 tahun yang semakin menanjak lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, atau biasa disebut inversi.

Dalam kondisi normal, yield tenor jangka pendek lebih rendah dari jangka panjang. Ketika terjadi inversi, pelaku pasar meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek, sebab perekonomian dalam waktu dekat diperkirakan akan lebih buruk ketimbang jangka panjang.

Sehingga inversi ini merupakan sinyal akan terjadinya resesi di Amerika Serikat. Berdasarkan data The Fed San Francisco, sejak tahun 1955 hingga 2018, inversi sudah terjadi sebanyak 10 kali. Dan sejak tahun 2018 hingga saat ini inversi terjadi 2 kali. Sehingga total sejak 1955 hingga saat ini sudah terjadi 12 kali inversi.

Inversi terakhir kali terjadi pada tahun 2019, sebelum terjadinya pandemi Covid-19, juga disusul dengan terjadinya resesi.

Kemudian pada April tahun lalu inversi mulai terjadi selama beberapa kali hingga saat ini.

Riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Resesi menjadi jalan cepat untuk menurunkan inflasi. Ketika resesi terjadi, maka pasar tenaga kerja tentunya akan melemah, daya beli masyarakat menurun, dan inflasi akan mengikuti. Sehingga, resesi yang kemungkinan terjadi banyak yang menyebut didesain oleh The Fed.

Meski demikian, Powell dalam konferensi pers kini melihat ada kemungkinan Amerika Serikat tidak perlu mengalami resesi untuk mencapai target inflasi 2%.

"Saya terus berfikir, dan ini tidak berubah, ada jalan untuk mencapai inflasi 2% tanpa harus mengalami kemerosotan ekonomi yang dalam dan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti yang pernah kita lihat di masa lalu," kata Powell.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(pap/pap)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation