
Anjlok 87% dari ATH, Saham KAEF Ternyata Masih Kelewat Mahal!

- Harga saham KAEF sudah turun tajam 87,60% dari level tertingginya di awal 2021
- Hanya saja, valuasi saham KAEF masih sangat mahal saat ini
- Kimia Farma perlu terus memperbaiki top line dan bottom line untuk bisa meyakinkan investor lagi
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten farmasi BUMN PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sudah anjlok 87,60% dari level tertinggi (all time high/ATH) yang sempat disentuh pada 12 Januari 2021.
Kala itu, di tengah spekulasi tinggi soal pelaksanaan vaksinasi Covid-19 yang diproyeksikan akan berdampak positif ke kinerja keuangan Kimia Farma (dan Indofarma/INAF serta emiten sejenis lainnya) harga saham KAEF meroket ke Rp6.975/saham.
Apabila dilihat sejak merosot di awal masa pandemi 2020 yang sempat berkubang di Rp580/saham, kenaikan saham KAEF hingga Januari 2021 kala itu memang sangat fantastis, yakni 1.103%.
Waktu itu, saham farmasi, yang kemudian diikuti saham emiten rumah sakit (RS) menjadi primadona di pasar saham RI seiring investor beramai-ramai bertaruh pada pertumbuhan fantastis emiten sektor kesehatan di tengah pagebluk.
Ternyata, tidak semua spekulasi tersebut tampak di dalam kinerja keuangan emiten farmasi dan sejenisnya.
Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik induk (selanjutnya, laba bersih) KAEF mencapai Rp26,2 miliar selama 3 bulan pertama 2020, kemudian turun menjadi Rp17,3 miliar pada periode yang sama 2021 dan turun lagi menjadi Rp5,8 miliar pada kuartal I 2022.
Sementara, teranyar, laba bersih KAEF anjlok 93,3% secara tahunan (yoy) menjadi hanya Rp386,49 juta selama kuartal I 2023.
Adapun, pendapatan bersih perusahaan hanya naik tipis 1,91% yoy menjadi Rp2,30 triliun.
Dengan pendapatan triliunan dan laba bersih hanya ratusan juta, selain beban pokok penjualan (yang sebenarnya turun 4,13% yoy), KAEF ternyata menanggung beban usaha dan beban keuangan yang besar selama kuartal I 2023.
Penjualan produksi pihak ketiga masih menjadi andalan KAEF dengan total penjualan Rp1,91 triliun, sedangkan penjualan produksi entitas menyumbang Rp395,71 miliar selama kuartal I 2023.
Dari pos penjualan produksi pihak ketiga, obat ethical berkontribusi terbesar, yakni mencapai Rp774,15 miliar terhadap total penjualan perseroan, disusul obat over the counter/bebas (OTC) Rp404,78 miliar, dan jasa klinik, lab klinik & alkes dll Rp390,25 miliar.
Lebih lanjut, realisasi penjualan ekspor Kimia Farma sepanjang Januari 2023 hingga Maret 2023 tumbuh 77% menjadi 33,11 miliar. Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, produk-produk unggulan perseroan dipasarkan ke berbagai belahan dunia yakni Asia, Eropa, Australia, Afrika dan Amerika.
Rasio profitabilitas KAEF juga kalah mentereng dibandingkan dengan perusahaan sejenis (peers). Marjin laba kotor (GPM) KAEF sebesar 37,27%, kalah dengan Kalbe Farma (KLBF) yang mencapai 40,91% dan Sido Muncul (SIDO) 53,26%.
Demikian pula, marjin laba usaha (OPM) Kimia Farma sangat mini, Cuma 1,12%, jauh di bawah KLBF (14,61%), SIDO (39,93%), hingga TSPC (9,67%).
Apalagi marjin laba bersih (NPM) dan rasio tingkat pengembalian investasi (ROE,ROA) yang 0%, tentu jauh di bawah rule of thumb dan peers.
Masih Kemahalan
Dengan kinerja keuangan yang kurang oke, valuasi saham KAEF juga kemahalan alias overvalued.
Tidak tanggung-tanggung, metrik populer price-to earnings ratio (PER) KAEF mencapai 3.112,2 kali. Ini artinya harga saham KAEF diperdagangkan lebih dari 3.000 kali di atas laba per saham (EPS) perusahaan.
Angka tersebut terlalu mahal dibandingkan rerata industri yang hanya 19,66 kali dan peers dengan fundamental lebih baik macam KLBF yang sebesar 29,44 kali dan SIDO 19,98 kali.
Kendati memang, metrik rasio price-to book value (PBV) KAEF hanya 0,59 kali, di bawah sejumlah peers utamanya.
Bisnis Kimia Farma
Berdiri sejak era Hindia Belanda 1817 dan berganti nama beberapa kali, KAEF terakhir mengubah nama perusahaan yang semula PT Kimia Farma (Persero) Tbk menjadi PT Kimia Farma Tbk, efektif per 28 Februari 2020.
Kimia Farma memiliki sejumlah produk, mulai dari 200 produk obat generik, obat bebas (OTC) dan herbal seperti Enkasari dan Batugin, 100 produk etikal, kosmetik dengan brand Marcks dan Venus, dan lain-lain.
Kini, seluruh fasilitas produksi Kimia Farma telah dilengkapi dengan sertifikasi baik yang berlaku secara nasional maupun internasional, seperti Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), ISO 9001:2015 dan ISO 14001:2015, serta sertifikasi Halal dari lembaga independen baik di dalam dan luar negeri.
Emiten BUMN tersebut memiliki 10 fasilitas produksi yang tersebar di 6 kota di Indonesia. Kelima fasilitas produksi tersebut telah mendapat sertikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), sertifikat Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), sertifikat Cara Pembuatan Bahan
Baku Obat yang Baik (CPBBAOB) dan sertikat ISO 9001 dan ISO 14001 dari Llyod's, SGS dan TUV.
Selain itu, kegiatan usaha Kimia Farma di bidang ritel farmasi yang meliputi apotek, klinik kesehatan, dan laboratorium diagnostik yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, perseroan telah memiliki lebih dari 1.232jaringan Apotek yang tersebar di seluruh Indonesia.
Untuk melengkapi ekosistem farmasi, Kimia Farma memiliki PT Kimia Farma Diagnostika dalam jasa layanan laboratorium klinik dan klinik kesehatan, sebagai anak perusahaan dari PT Kimia Farma Apotek.
Perusahaan juga telah mengembangkan bisnisnya, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga memasuki perdagangan tingkat internasional.
Produk Kimia Farma yang meliputi obat-obat dan sediaan farmasi serta bahan baku obat seperti Yodium dan Kina telah memasuki pasar Eropa, India, Jepang, Taiwan dan Selandia Baru.
Produk Jadi dan Kosmetik telah dipasarkan ke Yaman, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Vietnam, Sudan, dan Papua Nugini. Demikian pula proses registrasi produk herbal berbahan alami juga telah disiapkan untuk memasuki pasar baru, seperti Filipina, Myanmar, Pakistan, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain dan Bangladesh.
Produk herbal menjadi target utama perusahaan untuk periode berikutnya, karena sejumlah besar pembeli potensial dan mereka yang tertarik telah menunjukkan minatnya untuk melakukan hubungan bisnis dengan perusahaan.
Prospek Industri Farmasi
Secara keseluruhan, industri farmasi Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang stabil selama 2023.
Pertumbuhan ini akan didorong oleh beberapa faktor, termasuk meningkatnya permintaan akan layanan kesehatan, populasi yang semakin bertambah, dan kelas menengah yang semakin meningkat dengan pendapatan yang lebih tinggi.
Kondisi makro di era normalisasi pandemi Covid-19 berpotensi mendukung kinerja emiten farmasi selama tahun ini, seiring meningkatnya anggaran kesehatan dan perlindungan asuransi kesehatan nasional yang tumbuh.
Anggaran kesehatan mencapai Rp169,8 triliun pada 2023, naik 30,2% dibandingkan dengan 2022.
Sementara, total peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini sudah mencapai 86,1% dari total populasi RI.
Selain itu, sejumlah regulasi pemerintah yang cenderung, contohnya percepatan peningkatan produk dalam negeri dalam pelaksanaan pengadaan barang pemerintah, menguntungkan industri farmasi.
Adapun, mengutip data Statista, pendapatan pasar farmasi tanpa resep (OTC) di Indonesia diproyeksikan mencapai US$2.287 juta pada 2023, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 6,12% per tahun (CAGR 2023-2027).
Segmen terbesar dari pasar ini adalah vitamin & mineral dengan volume pasar sebesar US$670,90 juta pada tahun 2023.
Dalam perbandingan global, sebagian besar pendapatan dihasilkan di China (US$29.360 juta pada 2023). Secara perbandingan dengan jumlah penduduk, pada 2023 pendapatan per orang sebesar US$8,11 dihasilkan dari penjualan OTC Pharmaceuticals.
Pada tahun ini, sekitar 17,9% dari total pendapatan pasar obat OTC akan dihasilkan melalui penjualan online. Peluang industri farmasi masih terbuka ke depan. Namun, investor perlu memilih perusahaan mana yang lebih mampu memanfaatkan dan mengkapitalisasi prospek tersebut.
Khusus saham KAEF, investor masih harus menunggu perbaikan kinerja keuangan perusahaan, baik pertumbuhan pendapatan (top line) maupun laba bersih (bottom line).
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)