Fundamental Pundit

Pendapatan Turun, Laba TBIG Anjlok 20%! Masa Depannya Suram?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
05 May 2023 09:30
Doc. Tower Bersama
Foto: Doc. Tower Bersama
  • Laba bersih PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) mengalami penurunan sebesar 20%, menjadi Rp 332 miliar.
  • Pertumbuhan jumlah menara tidak diiringi dengan penyewa, sehingga rasio kolokasi mengalami penurunan sejak 2020-2022.
  • Utang perseroan yang tinggi dengan debt to equity ratio (DER) di atas 2,5 selama 10 tahun terakhir membatasi leverage perusahaan untuk belanja modal atau capital expenditure (capex).

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) mengalami penurunan laba bersih 20% pada kuartal I 2023 menjadi Rp 332 miliar secara tahunan. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan pendapatan dan kenaikan beban perusahaan.

Industri tower memerlukan pendanaan yang besar untuk melakukan ekspansi bisnis. Salah satu teknik yang dipilih TBIG melalui penerbitan surat utang senior notes. Sejak tahun 2013, TBIG mulai menerbitkan senior notes senilai Rp 3,7 triliun. Per kuartal I 2023, nilai senior notes tersebut sudah menyentuh Rp 17 triliun.

Surat utang tersebut menyebabkan beban keuangan perusahaan cukup masif 446 miliar atau setara 27,5% dari total pendapatan.

Bisnis

TBIG merupakan perusahaan yang bergerak dalam penyediaan solusi dan layanan infrastruktur telekomunikasi. Fokus dari perusahaan adalah menyediakan menara yang akan digunakan sebagai pemancar sinyal dari operator telekomunikasi.

Perusahaan telah didirikan sejak 8 November 2004. Kemudian, listing di bursa (IPO) pada 26 Oktober 2010 pada harga Rp 2025 per lembar. Saat ini, pemegang saham terbesar perseroan adalah Bersama Digital Infrastructure Asia Pte Ltd sebesar 74,97%, Wahana Anugerah Sejahtera 9,26%, dan masyarakat 15,77%

Segmen Bisnis

Bisnis perseroan terbagi menjadi tiga yaitu menara telekomunikasi, serat optic, dan property investasi. Perseroan mendiversifikasi pelanggannya pada beberapa operator besar.

Mayoritas pendapatan perusahaan berasal dari Menara telekomunikasi atau setara 97,13% dari total pendapatan. Pendapatan terbesar berasal dari PT Telekomunikasi Selular, atau bagian dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

Hal ini menjadi risiko bisnis perusahaan, mengingat anak usaha TLKM yang bergerak di bidang menara baru saja terdaftar di bursa yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL). Hal tersebut, berpotensi menyebabkan penurunan pelanggan dari TBIG yang direbut oleh pesaingnya, MTEL.

Kinerja Operasional

Peningkatan jumlah menara TBIG tidak dapat melampaui ataupun sama dengan pertumbuhan penyewa. Hal tersebut menyebabkan tenancy ratio atau rasio kolokasi perusahaan mengalami penurunan sejak 2020-2022.

Peningkatan jumlah tower yang tidak diikuti dengan rasio kolokasi akan berpotensi menurunkan margin pendapatan perseroan. Peningkatan beban-beban seperti depresiasi dapat menurunkan kinerja.

Secara finansial, penurunan kinerja telah tercermin dari laba bersih kuartal I 2023 yang terendah sejak secara kuartalan sejak kuartal ke-II 2021.

Kinerja Finansial

Laba bersih perusahaan pada kuartal pertama 2023 menyentuh titik terendah sejak kuartal II-2022. Perusahaan mengalami penurunan kinerja kuartalan disebabkan net profit margin (NPM) perusahaan yang menyentuh titik terendahnya pula berada di 21%. Padahal, tahun sebelumnya TBIG mampu membukukan NPM berkisar di 25%.

Penurunan NPM disebabkan oleh pendapatan perusahaan yang mengalami penurunan, sedangkan beban perusahaan mengalami kenaikan. Faktor tersebut menyebabkan laba bersih kuartalan perusahaan Rp 332 miliar, menurun 20% dibanding kuartal sebelumnya (qoq).

Utang

Utang perusahaan terus mengalami pertumbuhan yang disebabkan oleh bisnis menara telekomunikasi memerlukan belanja modal atau capex yang besar. Utang perusahaan terus bertumbuh sejak 2009 senilai Rp1,3 triliun menjadi Rp32,2 triliun (2022).

Tingginya utang perusahaan dikontribusikan oleh pinjaman senior notes yang berperan 52,7%. Selain itu, beban keuangan perusahaan berperan sebesar 27,6% dari total pendapatan.

Metrik yang dapat digunakan untuk melihat utang perusahaan juga dapat melalui perbandingan utang dan modal atau Debt to equity ratio (DER). DER perusahaan cukup tinggi berada di 2,95 (2022).

Sejak 2012, rasio DER perusahaan konsisten berada di atas 2,5. Hal ini mengindikasikan utang perusahaan 2,5 kali lebih besar dibanding modalnya. Risiko perusahaan yang memiliki DER tinggi adalah ketidakmampuan membayar utangnya di masa mendatang,

Titik tertinggi rasio DER perusahaan terjadi pada 2015 dan 2016. DER TBIG tembus 13x. Hal tersebut disebabkan oleh modal perusahaan yang mengalami penurunanan 61% menjadi Rp1,6 triliun. Perusahaan kemudian mampu mengelola asset dengan baik, sehingga rasio DER bisa kembali menurun pada tahun-tahun selanjutnya.

Industri tower dapat dikategorikan sebagai emiten capital intensive karena eksapansi bisnis memerlukan dana besar. Sehingga, tingginya DER perusahaan saat ini menyebabkan leverage perusahaan dalam mengembangkan bisnisnya terbatas.

Valuasi Komparasi

TBIGTOWRMTEL
Valuasi
PE29.8816.8728.35
PBV3.953.341.66
EV/EBITDA12.9910.2611.12
Efisiensi dan Efektivitas
GPM73%72%53%
NPM21%26%24%
ROA4%5%3%
Kesehatan Finansial
DER2.633.360.67
Quick Ratio0.350.290.78

Secara valuasi, TBIG menunjukkan dirinya memiliki harga termahal dibanding pesaingnya, baik secara PER, PBV, maupun EV/EBITDA.

Efisiensi dan efektivitas perusahaan terbaik dari segi GPM, namun NPM perusahaan berada pada nilai terendah. Pengelolaan aset untuk memperoleh laba bersih perusahaan berada di bawah TOWR.

Perbandingan utang dan modal perseroan berada di peringkat kedua terbaik setelah MTEL. Kas perusahaan untuk membayar utang jangka pendek perusahaan juga berada di level kedua setelah MTEL.

Layakkah investasi?

Peningkatan jumlah tower yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan penyewa akan menyebabkan rasio kolokasi mengalami penurunan. Faktor tersebut dapat mengakibatkan penurunan margin laba bersih perusahaan.

Kinerja yang menurun tercermin dari laba bersih perusahaan pada kuartal I 2023 yang menurun 20% secara tahunan, menjadi Rp322 miliar. Nilai tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal ke-II 2022.

Selain itu, tingginya utang perusahaan menyebabkan keterbatasan leverage dalam penggunaan dana belanja modal atau capital expenditure (capex). Mahalnya akuisisi lahan dan juga pembangunan menara mengharuskan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan.

Namun, utang perusahaan yang terus mengalami pertumbuhan menyebabkan rasio DER terus berada di atas 2,5 sejak 2013. Selain itu, valuasi perusahaan juga terhitung paling mahal dibanding kompetitor. Faktor-faktor tersebut menjadikan investor perlu berhati-hati dalam berinvestasi di TBIG.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation