FX Insight

Dilema Pasar Tenaga Kerja Amerika, Rupiah Kena Getahnya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 May 2023 08:13
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
  • Rupiah sepanjang pekan lalu melemah tipis 0,03%, tetapi sempat menyentuh Rp 14.560/US$ yang menjadi level terkuat sejak Juni 2022. 
  • Pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih kuat, padahal inflasi sudah mulai menurun dan pertumbuhan ekonomi melambat. 
  • Pasar tenaga kerja yang kuat berisiko membuat inflasi sulit turun, ada kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunganya.

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada Kamis pekan lalu sempat melesat ke Rp 14.560/US$ yang merupakan level terkuat sejak Juni 2022. Sayangnya penguatan tersebut gagal dipertahankan. Posisi rupiah dan penguatannya yang sekitar 6% sepanjang tahun ini tentunya memicu koreksi teknikal.

Mata Uang Garuda menutup pekan lalu Rp 14.670/US$, melemah tipis 0,03%.

Melihat posisi rupiah, risiko berlanjutnya koreksi teknikal masih besar pada pekan ini. Apalagi, data dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan pasar tenaga kerja yang masih kuat.

Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.

Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.

Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.

Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi "perang" melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.

Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.

The Fed yang sebelumnya mengindikasikan akan menghentikan kenaikan suku bunganya kini muncul lagi "benih-benih" pengetatan lebih lanjut.

Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Probabilitas tersebut memang masih kecil, tetapi bisa semakin meninggi jika data inflasi di AS kembali menunjukkan kenaikan.

Kuatnya pasar tenaga kerja AS cukup membuat pelaku pasar bingung. Dengan kenaikan suku bunga The Fed yang sangat agresif, pasar tenaga kerja harusnya melemah.

Sejak Maret 2022 lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 10 kali dengan total 525 basis poin.

Inflasi di Amerika Serikat sudah mulai melandai, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2023 juga mulai melambat. Tetapi pasar tenaga kerja masih sangat kuat.

Jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, tentunya pasar finansial bisa kembali gonjang-ganjing, yang juga berdampak ke dalam negeri.

Selain itu dari dalam negeri, data cadangan devisa (Cadev) bisa mempengaruhi pergerakan rupiah.

Pada bulan lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari. Cadev tersebut sudah naik lima bulan beruntun dengan total US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar.

Kenaikan Cadev artinya BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak. Stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia, sebab risiko kerugian kurs menjadi bisa diminimalisir.

Posisi cadangan devisa juga bisa menunjukkan seberapa sukses instrumen operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang diterapkan BI sejak awal Maret sukses menarik dolar AS milik eksportir yang diparkir di luar negeri.

Kabar baiknya, operasi moneter tersebut mulai menunjukkan hasil positif. Dalam lelang yang dilakukan BI, eksportir sudah mulai memasukkan valas mereka ke tenor 6 bulan. Artinya, dengan tenor panjang yang semakin diminati, maka dolar AS milik eksportir akan lebih lama parkir di dalam negeri. Stabilitas rupiah pun bisa lebih terjaga.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal

Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR saat ini berada jauh di bawah rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100 dan MA 200 yang tentunya memberikan tenaga rupiah menguat.

Penguatan Mata Uang Garuda semakin terakselerasi setelah sukses menembus Rp 15.090/US$ yang sebelumnya menjadi support kuat.

Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.

Rupiah bahkan mampu menembus ke bawah Fib. Retracement 61,8% pada pekan lalu.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv 

Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian kini mulai masuk wilayah jenuh jual (oversold).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Stochastic yang mulai masuk oversold artinya ada risiko rupiah akan mengalami koreksi.

Fib. Retracement 61,8% di kisaran Rp 14.730/US$ menjadi menjadi resisten terdekat. Jika ditembus, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.780/US$ sebelum menuju Rp 14.830/US$. Resisten selanjutnya di pekan ini berada di kisaran Rp 14.930/US$.

Sementara selama mampu bertahan di bawah Rp 14.730/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.650/US$ hingga Rp 14.620/US$. Tidak menutup kemungkinan rupiah bisa menembus lagi Rp 14.600/US$ menuju Rp 14.550/US$ - Rp 14.530/US$ di pekan ini.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com


(pap/pap) Next Article Dolar AS Milik RI "Ditilep" Tetangga, Rupiah Bisa Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular