Dedolarisasi Makin Marak, Dolar AS Bakal Tak Berharga Lagi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 May 2023 13:47
U.S. dollar and Euro banknotes are seen in this picture illustration taken May 3, 2018. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin marak terjadi. Banyak negara-negara kini mulai menerapkan kebijakan penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan bilateral.

Indonesia juga cukup gencar menjalin kerja sama Local Currency Settlement (LCS). Bank Indonesia (BI) sudah melakukan kerja sama tersebut sejak 2018 dengan Bank Sentral Malaysia dan Thailand. Kini, kerja sama LCS semakin banyak dilakukan dengan negara tetangga, termasuk dengan China.

"Pelaksanaan kerjasama LCS sudah dilaksanakan sejak tahun 2018 dengan Malaysia dan Thailand. Pada tahun 2021 implementasinya meluas menjadi 4 negara dengan tambahan Jepang dan China," jelas Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (18/4/2023).

Sementara itu, aliansi negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) berencana membentuk mata uang baru. Pengembangan mata uang tersebut akan dilakukan lebih lanjut pada pertemuan BRICS di Afrika Selatan pada Agustus mendatang.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka permintaan dolar AS tentunya akan berkurang. Hukum ekonomi pun bekerja, jika permintaan semakin sedikit maka nilai dolar AS akan semakin melemah.

Namun, kondisi tersebut tentunya bisa menjadi ancaman bagi Amerika Serikat. Bahkan, Frank Giustra, co-chair International Crisis Group mengatakan pemerintah AS bisa menganggap aksi dedolarisasi bisa mengancam keamanan nasional, sehingga tentunya akan mengambil tindakan.

"Dedolarisasi akan tetap ada, sebab banyak negara non-Barat ingin memiliki sistem perdagangan yang tidak membuat mereka rentan terhadap dolar AS yang dijadikan senjata atau hagemoni. Ini bukan lagi sebuah pertanyaan, tetapi kapan (akan terjadi)," kata Giustra sebagaimana dilansir Business Insider, Rabu (3/5/2023).

Ketika permintaan dolar AS mendadak turun tajam, maka berisiko memicu inflasi yang sangat tinggi, bahkan hiperinflasi.

Amerika Serikat tentunya tidak ingin itu terjadi, dan akan mempertahankan dominasi dolar AS.

Menurut Giustra, gagasan dolar AS akan kehilangan dominasinya tidak pernah terpikirkan oleh negara-negara maju, sampai akhirnya Amerika Serikat dan Sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dan mengeluarkannya dari SWIFT akibat perang dengan Ukraina.

Banyak yang memandang langkah Amerika Serikat tersebut menjadikan dolar AS senjata, sehingga dedolarisasi kini semakin marak.

"Sistem finansial dibangun dengan kepercayaan, jika digunakan sebagai senjata, mereka akan kehilangan kepercayaan yang diperlukan untuk mempertahankan dominasinya," kata Giustra.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

(pap/pap)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation