
Cek Fakta, Sri Mulyani Sebut Dominasi Dolar Luntur

- Fenomena dedolarisasi yang semakin marak dilakukan banyak negara mendapat sorotan banyak pihak, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
- Dominasi dolar AS di dunia pun semakin menurun, terlihat dari pangsanya di cadangan devisa dunia.
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena dedolarisasi atau pengurangan penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) yang sedang marak di berbagai negara menjadi perhatian semua pihak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti hal tersebut saat rapat dengan Badan Anggaran DPR.
"Dengan adanya fragmentasi, dominasi dolar menjadi juga terpengaruh," ungkap Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Jika melihat porsinya di cadangan devisa global, dominasi dolar AS memang mulai luntur, tapi masih jauh dari kata tumbang.
Berdasarkan data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, pada kuartal IV-2021, nilai dolar AS di cadangan devisa global mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar.
Secara pangsa, pada 2021 sebesar 58,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 58,4%. Pangsa tersebut menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir.Pada awal 1999 pangsa dolar AS lebih dari 70%.
Penurunan pangsa tersebut bukan digerogoti oleh euro, poundsterling atau yen Jepang, tetapi mata uang non-tradisional sebagai cadangan devisa. Mata uang tersebut seperti dolar Australia, dolar Kanada, krona Swedia dan won Korea Selatan, yang mengambil sepertiga dari pangsa dolar.
Dedolarisasi tersebut sebenarnya terjadi sudah sejak awal 2000-an, tetapi semakin masif terjadi sejak tahun lalu.
Perang Rusia dengan Ukraina membuat dedolariasi semakin terakselerasi. Amerika Serikat dan sekutunya membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Banyak yang melihat dolar AS bisa menjadi senjata bagi Amerika Serikat guna menekan negara lain. Dedolarisasi pun semakin masif terjadi.
Brasil menjadi negara di Amerika Latin yang paling getol mengurangi dolar AS. Bersama BRIC (Brasil, India, Rusia, China, dan Afrika Selatan), Brasil mulai mengindikasikan pembentukan mata uang baru. Uang ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.
Brasil dan China pada akhir Maret 2023 juga membuat kesepakatan untuk 'membuang' dolar dalam transaksi perdagangan mereka.
Dari banyak negara tersebut, China tentu yang menjadi sorotan utama. Maklum saja, Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, China memliki pengaruh besar di sektor perdagangan.
China merupakan eksportir terbesar di dunia, berdasarkan data dari International Trade Center pada 2022 nilainya mencapai US$ 3,6 triliun. Nilai tersebut jauh di atas Amerika Serikat sebesar US$ 2,1 triliun.
Maka tidak salah jika China terus berusaha mendorong yuan menjadi mata uang internasional.
Presiden Xi saat berkunjung ke Riyadh Desember lalu mengatakan China dan negara-negara Teluk Arab seharusnya menggunakan Shanghai Petroleum and Natural Gas Exchange sebagai platform menyelesaikan transaksi minyak dan gas.
"China akan terus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari negara-negara Arab, memperbanyak impor LNG, memperkuat kerjasama pengembangan hulu minyak dan gas, layanan teknik, penyimpanan, transportasi, dan penyulingan serta memanfaatkan sepenuhnya Shanghai Petroleum and National Gas Exchange sebagai platform settlement perdagangan minyak dan gas dengan menggunakan yuan," kata XI pada Desember 2022 lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Upaya tersebut pun mulai menunjukkan hasil. China kini juga bertransaksi dengan menggunakan yuan dalam perdagangan liquefied natural gas (LNG) dengan Uni Emirat Arab.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)