
Dilema Pasar Tenaga Kerja Amerika, Rupiah Kena Getahnya?

- Rupiah sepanjang pekan lalu melemah tipis 0,03%, tetapi sempat menyentuh Rp 14.560/US$ yang menjadi level terkuat sejak Juni 2022.
- Pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih kuat, padahal inflasi sudah mulai menurun dan pertumbuhan ekonomi melambat.
- Pasar tenaga kerja yang kuat berisiko membuat inflasi sulit turun, ada kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunganya.
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada Kamis pekan lalu sempat melesat ke Rp 14.560/US$ yang merupakan level terkuat sejak Juni 2022. Sayangnya penguatan tersebut gagal dipertahankan. Posisi rupiah dan penguatannya yang sekitar 6% sepanjang tahun ini tentunya memicu koreksi teknikal.
Mata Uang Garuda menutup pekan lalu Rp 14.670/US$, melemah tipis 0,03%.
Melihat posisi rupiah, risiko berlanjutnya koreksi teknikal masih besar pada pekan ini. Apalagi, data dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan pasar tenaga kerja yang masih kuat.
Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi "perang" melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.
Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.
The Fed yang sebelumnya mengindikasikan akan menghentikan kenaikan suku bunganya kini muncul lagi "benih-benih" pengetatan lebih lanjut.
Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Probabilitas tersebut memang masih kecil, tetapi bisa semakin meninggi jika data inflasi di AS kembali menunjukkan kenaikan.
Kuatnya pasar tenaga kerja AS cukup membuat pelaku pasar bingung. Dengan kenaikan suku bunga The Fed yang sangat agresif, pasar tenaga kerja harusnya melemah.
Sejak Maret 2022 lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 10 kali dengan total 525 basis poin.
Inflasi di Amerika Serikat sudah mulai melandai, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2023 juga mulai melambat. Tetapi pasar tenaga kerja masih sangat kuat.
Jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, tentunya pasar finansial bisa kembali gonjang-ganjing, yang juga berdampak ke dalam negeri.
Selain itu dari dalam negeri, data cadangan devisa (Cadev) bisa mempengaruhi pergerakan rupiah.
Pada bulan lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari. Cadev tersebut sudah naik lima bulan beruntun dengan total US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar.
Kenaikan Cadev artinya BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak. Stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia, sebab risiko kerugian kurs menjadi bisa diminimalisir.
Posisi cadangan devisa juga bisa menunjukkan seberapa sukses instrumen operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang diterapkan BI sejak awal Maret sukses menarik dolar AS milik eksportir yang diparkir di luar negeri.
Kabar baiknya, operasi moneter tersebut mulai menunjukkan hasil positif. Dalam lelang yang dilakukan BI, eksportir sudah mulai memasukkan valas mereka ke tenor 6 bulan. Artinya, dengan tenor panjang yang semakin diminati, maka dolar AS milik eksportir akan lebih lama parkir di dalam negeri. Stabilitas rupiah pun bisa lebih terjaga.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal
