Newsletter

Pekan Ramai dan Jam Bursa Lebih Lama, IHSG Bakal Berjaya?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
03 April 2023 06:00
bursa saham
Foto: ist
  • IHSG memperoleh kinerja buruk pada kuartal pertama 2023 imbas dari ketidakpastian ekonomi global terutama karena krisis perbankan AS. Namun krisis itu membuat rupiah menguat pekan lalu.
  • Berbagai sentimen luar negeri dan dalam negeri patut dicermati investor. Diantaranya adalah inflasi dan PMI Manufaktur di berbagai negara seperti Indonesia, China, India, dan AS.
  • Hari ini ada perubahan jadwal perdagangan pasar di mana kembali ke jadwal pre Covid. Jam perdagangan pun lebih panjang dari masa Covid hingga pekan lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia meraih kinerja negatif sepanjang kuartal pertama 2023 dikarenakan kondisi ekonomi global yang tidak pasti. Di sisi lain rupiah mampu mengakhiri kuartal pertama di level Rp14.000-an/US$1.

Hingga penutupan perdagangan kuartal pertama, Jumat (31/3/2023) Indeks Harga Saham Gabungan terpantau melemah 0,66% ke level 6.805,28. Hasil ini lebih buruk dibandingkan dengan periode yang sama 2022 yang mampu melesat 7,44%.

Meskipun demikian, kinerja IHSG dibandingkan bursa regional cukup baik. Di mana di kawasan ASEAN performa IHSG berada di urutan ketiga dan urutan ke 9 Asia. Penyebabnya adalah kinerja saham regional yang turut tumbang.

Krisis perbankan menjadi sentimen negatif yang mempengaruhi pergerakan pasar saham regional.

Krisis perbankan yang semulanya terjadi di AS membuat volatilitas pasar saham menjadi semakin meninggi karena para pelaku pasar yang khawatir efeknya menyebar luas hingga terjadi krisis keuangan global seperti 2008.

Krisis yang terjadi di Silicon Valley Bank (SVB) menjadi permulaan dari ketakutan krisis perbankan di AS, kemudian merambah ke Eropa dalam waktu singkat. Kejatuhan SVB merupakan salah satu dampak dari agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Dengan sikap hawkish The Fed yang akhirnya memakan korban yakni perbankan, pasar pun sebelumnya sempat menduga bahwa The Fed akan lebih bersikap melunak ke depannya.

Namun, efek yang berbeda dirasakan oleh sang nilai tukar rupiah. Krisis perbankan malah jadi tumpuan sang Garuda untuk menjejakkan kaki di level Rp14.990/US$1 di akhir kuartal pertama 2023.

Survei CME FedWatch menunjukkan pasar kini bertaruh 50-50% jika The Fed akan mempertahankan suku bunganya pada pertemuan Mei mendatang.

Ekspektasi pasar tersebut membuat dolar AS melemah. Indeks dolar pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (31/3/2023) ditutup di posisi 102,51. Indeks turun 0,59% dalam sepekan sehingga menguntungkan bagi pergerakan rupiah.

Selain itu, ekspektasi akan melunaknya The Fed juga membuat aliran modal asing masuk dengan deras ke pasar keuangan Indonesia.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), transaksi pada 27-30 Maret 2023 menunjukkan investor asing mencatat beli bersih atau net buy sebesar Rp 10,97 triliun.

Net buy di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 8,37 triliun sementara di pasar saham menyentuh Rp 2,6 triliun. Dari awal tahun hingga 30 Maret 2023, net buy investor asing tercatat Rp 54,11 triliun.

Penguatan rupiah hingga menembus di bawah Rp 15. 000/US$1 pada akhir kuartal I juga membuat mata uang rupiah menjadi yang terbaik di Asia

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Mendingin, Wall Street Melesat

Indeks utama Wall Street menguat lebih dari 1% pada perdagangan akhir pekan lalu didorong oleh Fed akan dovish karena inflasi mendingin.

Mengutip Reuters pada Jumat (31/3/2023), Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup naik 1,26%, menjadi 33.274,15. Indeks S&P 500 naik 1,44%, menjadi 4.109,31 dan Nasdaq menguat 1,74%, menjadi 12.221,91.

Indeks S&P 500 mencapai level tertinggi sejak 15 Februari dan membukukan kenaikan kuartal terbesar sejak Juni 2020.

Inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) tumbuh 0,3% pada Februari dari bulan sebelumnya, lebih rendah dari prediksi Dow Jones 0,4%. Sementara secara tahunan, tumbuh 4,6% juga lebih rendah dari prediksi 4,7%.

Inflasi PCE merupakan acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter. Pertumbuhan yang semakin rendah menguatkan ekspektasi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga lagi.

"Pasar ekuitas tampaknya senang dengan sedikit penurunan inflasi, sebagaimana mestinya. Ini menggarisbawahi bahwa kampanye Fed, pada kenyataannya, bekerja, meskipun lambat," kata Quincy Krosby, kepala strategi global di LPL Financial di Charlotte. , Karolina utara.

Data ekonomi dari Amerika Serikat kemarin menunjukkan klaim tunjangan pengangguran dalam sepekan yang berakhir 25 Maret sebanyak 198.000 klaim, naik 7.000 dibandingkan pekan sebelumnya, dan sedikit di atas ekspektasi 195.000 klaim.

Klaim tunjangan pengangguran tersebut memberikan gambaran pasar tenaga kerja AS yang masih kuat meski bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Selain itu, data yang dirilis hari ini menunjukkan data produk domestik bruto (PDB) final AS kuartal IV-2022 tumbuh sebesar 2,6%, lebih rendah dari rilis sebelumnya 2,7%.

Pada kuartal pertama 2023, pertumbuhan ekonomi AS diprediksi masih akan berakselerasi. Berdasarkan data GDPNow milik Fed Atlanta, PDB diprediksi tumbuh 3,2%.

Kuatnya perekonomian AS sebenarnya memberikan kebingungan di pasar. Dalam kondisi normal, hal tersebut bagus, tetapi saat "berperang" melawan inflasi tinggi akan menjadi buruk.

Di sisi lain, pejabat Fed masih kukuh terhadap pendirian mempertahankan tren suku bunga tinggi untuk memerangi inflasi yang masih jauh dari target 2%.

Presiden Fed Boston Susan Collins berpendapat bahwa suku bunga harus dipertahankan guna mendinginkan inflasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Pekan ini pasar tampaknya akan terus mencermati perkembangan dari data tenaga kerja Amerika Serikat (AS). Adapun pekan ini rilis beberapa data seperti pembukaan kerja JOLTS, data penyerapan tenaga kerja non-pertanian (non-farming payroll/NFP), dan tentunya klaim mingguan akan dirilis.

Asal tahu saja, data tenaga kerja tersebut akan menjadi penentu apakah The Fed sudah perlu bersikap dovish dengan memangkas suku bunga atau justru masih akan bersikap hawkish.

Selain itu, data aktivitas manufaktur dan jasa di AS juga patut dicermati oleh investor. Data ini juga menjadi tolok ukur sektor manufaktur di AS di tengah tren suku bunga tinggi dan ukuran kekuatan kekuatan ekonomi AS.

Selain dari AS, rilis beberapa data ekonomi dari China juga perlu dicermati oleh pasar, seperti data aktivitas manufaktur China versi Caixin.

Data aktivitas manufaktur versi pemerintah (NBS) tercatat melandai ke angka 51,9, pada Maret lalu, dari sebelumnya di angka 52,6 pada Februari lalu. Meski melandai, tetapi manufaktur China masih berada di zona ekspansif.

Data ekonomi China juga akan dipantau oleh pasar, terutama di kawasan Asia-Pasifik, mengingat saat ini pemulihan ekonomi China masih berlangsung.

Adapun dari dalam negeri, data aktivitas manufaktur dan inflasi periode Maret 2023 juga akan dirilis hari ini.

Data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi S&P Global pada bulan lalu diprediksi melandai menjadi 50, meski masih berada di zona ekspansif.

Sementara yang utama yakni inflasi pada periode Maret 2023, yang diperkirakan kembali melonjak, bulanan, yakni menjadi 0,3%. Namun secara tahunan, inflasi RI diprediksi turun menjadi 5,3%, berdasarkan survei Trading Economics.

Data inflasi di RI juga akan dipantau, mengingat bulan Ramadan sudah dimulai pada pertengahan bulan lalu. Namun, kenaikan inflasi fenomena Ramadan diprediksi berdampak pada inflasi periode April, karena pada periode ini fenomena Ramadan dan Idul Fitri berlangsung.

Perlu dicatat, per hari ini Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan normalisasi jam perdagangan sebagaimana kondisi sebelum pandemi yang akan efektif pada Senin, 3 April 2023.

Pada siaran Pers yang dilakukan 30 Maret 2023, BEI telah mengumumkan normalisasi kebijakan relaksasi pandemi BEI.

Dalam Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-52/PM.01/2023 tanggal 29 Maret 2023 perihal "Persetujuan atas konsep Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Perihal Peraturan Nomor II-A perihal Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dan konsep Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Perihal Peraturan Nomor II-E perihal Perdagangan Kontrak Berjangka" serta merujuk empat surat keputusan direksi BEI menyampaikan kebijakan normalisasi.

Adapun jam perdagangan akan dikembalikan seperti saat sebelum pandemi terjadi. Untuk perdagangan hari Senin hingga Kamis di pasar reguler, sesi pra-pembukaan (pre-opening), akan berlangsung pada pukul 08:45 - 08:59.

Sedangkan untuk perdagangan sesi I Senin hingga Kamis, dimulai pukul 09:00 - 12:00. Kemudian sesi II akan berlangsung pada 13:30 - 15:49:59. Sementara untuk sesi pra-penutupan (pre-closing) dimulai pukul 14:50 - 15:00:59. Terakhir sesi pasca-penutupan (post-closing) pada pukul 16:01 - 16:15.

Khusus hari Jumat di pasar reguler, ada sedikit perbedaan, di mana perdagangan sesi I berlangsung dari pukul 09:00 - 11:30. Sedangkan sesi II dimulai pukul 14:00 - 15:49:59.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Tankan Large Manufaktur Index Jepang (06.50 WIB)
  • S&P Global Manufacturing PMI Indonesia (07.30 WIB)
  • Caixin Manufacturing PMI (08.45 WIB)
  • Inflasi tahunan, bulanan, inti Indonesia (11.00 WIB)
  • S&P Global Manufacturing Index India (12.00 WIB)
  • Data kedatangan turis Indonesia (12.00 WIB)
  • ISM Manufacturing PMI AS (09.00 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • RUPST AALI (09.00 WIB)
  • Jam Perdagangan baru IHSG (09.00 WIB)
  • PT Jasa Marga akan menggelar konferensi pers terkait kesiapan mudik 2023 (09:00 WIB)
  • Konferensi pers hasil rapat bulanan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Bulanan (14:30 WIB)
  • RUPST ASGR (13.30 WIB)
  • Cum Date Stock Split BMRI
  • Cash Dividend ADMF

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Februari 2023 YoY)

5,47%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Januari 2023)

0,43% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY)

US$4,7 miliar

Cadangan Devisa (Februari 2023)

US$140,3 miliar

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular